CERPEN: Cintaku di Era Cutbrai

JAKARTA 1974. Saya saat itu duduk di semester tiga di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta. Saat itu merupakan era cutbrai. Apa itu cutbrai? Cutbrai yaitu model celana yang bagian bawahnya cukup lebar. Sepertinya cocok buat menyapu lantai. Hehehe…Ditambah lagi sepatunya memakai sol tebal antara lima hingga 10 cm. Ada lagi, ikat pinggang besar atau lebar. Gila. Oh, ya. Satu lagi, rambut gondrong. Hahaha…Betul-betul mirip wong edan. Masalahnya adalah, siapa yang tidak mengikuti mode cutbrai, akan dianggap ndeso atau katrok. Apa boleh buat, sayapun ikut-ikutan pakai celana cutbrai.

Di fakultas itu saya sedang melakukan pendekatan dengan seorang cewek yang bernama Narulita. Tidak cantik tetapi simpatik. Hidung mancung, buku mata lentik, langsing. kalau diajak bicara enak sekali. Selalu nyambung. Tampaknya dia mahasiswi cerdas. Kebetulan satu angkatan dengan saya. bahkan satu ruangan kuliah.

Tapi terus terang saja. Sulit melakukan pendekatan ke Narulita. Berkali-kali saya berusaha mendekati, tetapi selalu menghindar.

“Brengsek amat cewek ini. Nggak cantik jual mahal. Entar gue pelet,lu!” gerutu saya dalam hati. Tapi, lama-lama saya justru tertantang dengan cewek yang jual mahal seperti dia. Hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya bulan keempat saya baru berhasil menundukkan hatinya. Mak “plong” rasanya. Meskipun demikian, belm bisa dikatakan dia pacar saya. Lha wong saya belum pernah menyatakan cinta. Cuma, dia mau saja saya ajak ke mana saja. Ke resto, nonton bioskop, ke tempat rekreasi dam ke mana saja, deh. Pokoknya, di mana ada Narulita, di situ pasti ada saya. Begitulah.

“Jadi kita ikut rekreasi ke Karang Bolong?” Narulita memulai pembicaraannya saat saya dan dia makan siang di kantin.

“Ikut,dong! Kapan lagi. Selagi kita masih muda. Apalagi, kita belum pernah lihat, Karang Bolong Jawa Barat seperti apa,sih? Iya,kan?” saya mengungkapkan keinginan saya untuk ikut rekreasi yang diadakan senat mahasiswa.

“Kita nanti juga pakai cutbrai,ya?” ujar Narulita.

“Hahaha…Ya,iyalah. Wong sekarang eranya cutbrtai…” saya tertawa. Saat itu memang era cutbrai sedang melanda Indonesia. Korban mode. Apa boleh buat daripada dikatakan ndeso atau katrok. Saat itupun saya memakai celana cutbrai, sepatu sol tinggi, ikat pinggang besar dan rambut gondrong.Ha ha ha….! Saya Cuma bisa tertawa saja mengikuti era itu.

Begitulah, saat arekreasi, saya dan Narulitapun ikut. Total ada sepuluh buah bus Big Bird bus AC. Cuma ramai juga,ya? masa muda memang masa yang sangat menyenangkan.

Sesampai di Karang Bolong, saya manfaatkan untuk mengatakan cinta saya ke Narulita. Semula diam saja. Namun sesudah saya ulangi tiga kali, akhirnya secara diplomatis menyatakan kesediaannya menjadi pacar saya. Dibuktikan, dia mau saya cium bibirnya.

Oh, indahnya cinta saat itu. Alangkah indahnya hari itu. Alangkah gembiranya hati saya. Cinta memang indah dan saya benar-benar merasakan itu. Semua yang saya lihat, saya dengar, serba indah. Warna merah, warna biru, warna kuning, warna apa saja terasa indah. Lagu apapun yang saya dengar, semuanya indah.

Karena sudah satu tahun saya berkenalan, sayapun bermaksud memperkenalkan Narulita dengan ibu saya. Saat itu ayah saya sudah meninggal.

“Mau ke Yogya? Saya ingin memperkenalkan Narulita ke ibu saya,” begitulah ajakan saya suatu ketika. Lho, kenapa bukannya saya ingin berkenalan dengan orang tua Narulita? Oh, itu nanti. Sebab, kedua orang Narulita ada di Medan. Terlalu jauh ke kota itu. Dulu, kedua orang tua saya juga pernah tinggal di Medan. bahkan, sayapun lahir di Medan.

Ternyata, Narulita mau saya ajak ke Yogyakarta. Dengan naik kereta api, kami berdua menuju ke Kota Gudeg. Kebetulan sedang liburan semester. Dan tanpa banyak cingcong, kereta telah tiba di Yogyakarta. Dengan naik becak langsung menuju ke rumah ibu saya. Ibu tinggal sendiri.

Ibu sayapun menyambut kedatangan saya dan Narulita dengan wajah yang ceria. Sesudah mandi pagi, saat sarapanpun saya memperkenalkan Narulita ke ibu saya.

“Aslinya dari mana nak, Narulita?” ibuku ingin tahu.

“Dari Medan,Bu..” sahut Narulita.

“Lho, Medannya di mana?’ ibu masih ingin tahu sambil terus menyantap makanan di depannya. Selanjutnya ibu saya menanyakan nama kedua orang tua Narulita dan tanya segala hal yang berhubungan dengan Narulita.

Tiga hari Narulita menginap di rumah ibu saya. Tentu, tidurnya satu kamar dengan ibu saya. Itupun sudah sepengetahuan RT/RW setempat. Wah, rasa-rasanya senang sekali saya bisa memperkenalkan Narulita ke ibu saya. Memang sih, kalau saya bandingkan dengan pacar-pacar saya sebelumnya, Narulita kalah cantik. Namun Narulita punya kelebihan, yaitu enak diajak bicara, cerdas, gaul dan suka bercanda.

Suatu hari saat Narulita mandi, ibu memanggil saya di teras rumah.

“Harry. Ibu ingin bicara dengan kamu,” begitu ibu memulai bicara.

“Ada apa,Bu?”

“Kamu serius mencintai, Narulita?”

“Iya,Bu. Memangnya kena apa?”

Akhirnya ibupun bercerita. Semua tentang Narulita. Katanya, ibu terkejut mendengar alamat rumah Narulita di Medan. Lebih terkejut lagi mendengar nama kedua orangtuanya.

“Memang kenapa,Bu?”

“Ternyata, saya mengenal kedua orang tua, Narulita”

“Maksud ibu?”

“Itu bukan orang tua kandung, tetapi orang tua angkat”

“Maksud ibu? Ceritanya bagaimana?” saya penasaran.

“Waktu Narulita lahir, ibunya langsung meninggal.”

“Terus, ayahnya bagaimana?”

“Itulah persoalannya. Ayah kandungnya tidak jelas”

“Kok, bisa begitu?”

“Begini Harry. Kamu kan sudah dewasa.Semoga kamu bisa bersabar. Ibu akan bercerita, tapi jangan ceritakan ke Narulita,” kalimat ibu semakin membuat saya semakin penasaran.

Akhirnya, dengan setengah berbisik, ibu bercerita bahwa ibu kandung Narulita adalah seorang janda yang kemudian menjadi pelacur panggilan. Jadi, Narulita itu anak siapa, tentu tidak jelas sebab banyak laki-laki yang menggauli ibunya. Saat Narulita lahir, ibunya langsung meninggal. Tetangganya, lalu mengangkat Narulita sebagai anak angkatnya hingga sekarang.

“Oh Tuhan!” sayapun terkejut.

“Tolong, Harry. jangan teruskan hubunganmu. Tolong juga, jangan ceritakan hal ini ke Narulita. saya tahu, kedua orang tua angkatnya pasti merahasiakannya. Kedua orang tuanya dulu teman sekolah saya, jadi saya kenal betul kedua orang tua angkatnya” pesan ibu.

Betapa hancur hati saya mendengar cerita itu. Namun, sebagai anak tunggal, saya berjanji harus taat kepada ibu. Saya harus mencintai ibu. Akhirnya sayapun menjadi memahami petrsoalan yang saya hadapi. Ya, saya harus tabah. Saya harus sabar.

Puas di Yogyakarta, saya dan Narulitapun kembali ke jakarta. Dan sikap saya ke Narulita tetap biasa-biasa saja. dan saya benar-benar tetap memegang janji saya ke ibu untuk tidak menceritakan asal usul Narulita.

Tiga bulan kemudian, hubungan pacaran saya dengan Narulita putus. Putus secara baik-baik karena saya punya pacar baru : Dewi Ayodya, yang juga teman sekuliah.

Oh, cintaku di era cutbrai. Penuh misteri yang tak pernah terduga.

Selamat tinggal Narulita.

 

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger

CERPEN: Satpam Ngesot

MALAM Jumat itu di Apartemen Dahlia memang ada yang akan merayakan ulang tahun. namanya Zaskia Metasari. Masih muda. Baru 16 tahun. Dia mengundang teman-teman sekolahnya SMA Pribadi Luhur, Bandung.

Malam itu di apartemennya memang belum ada yang datang. Maklum, baru pukul 19:00 WIB. Sedangkan undangannya pukul 20:00 WIB dan direncanakan semalam suntuk. Zaskia cuma dibantu Merry, Dini dan seorang pembantu. Merry dan Dini juga teman se-SMAnya tetapi lain kelas. Semua temannya duduk di kelas yang sama, yaitu kelas tiga.

“Apa acaranya nanti malam, Zas?” Merry ingin tahu sambil terus menyiapkan makanan bersama Dini.

“Ah, biasa saja. Paling menyanyi bersama dan tiup lilin kue tart,” sahut Zaskia sambil menyiapkan kue tartnya di meja yang telah disediakan.

“Bikin acara yang menarik dong!” usul Dini sambil memasang balon-balon warna-warni di tempat-tempat yang telah disediakan. Pita-pita warna-warni juga sudah berseliweran di kamar itu menghiasi indahnya malam itu.

“Apa, dong?” Zaskia ingin tahu sambil sesekali menyemprotkan pengharum ruangan berbentuk spray.

“Hmmm, apa ya?” Merrypun bertanya pada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian Merry bisik-bisik ke telinga Zaskia.

“bagaimana? Setuju?” Merry menunggu jawaban.

“Apa sih? Pakai bisik-bisik segala? Kasih tahu,dong!” protes Dini/

Akhirtnya Merrypun menceritakan idenya. Rencananya, akan menakut-nakuti Si Bawel. Si bawel adalah teman se-SMA yang memang benar-benar bawel di sekolah. Merry punya gagasan untuk menakut-nakuti Si Bawel apabila Si Bawel yang punya nama asli Dewi Purnamasari memasuki apartemen Zaskia.

“Oke!Oke!Oke! Setuju” serentak Zaskia dan Dini menyetujui gagasan Merry. Yaitu, salah satu di antara mereka nanti ada yang menyamar jadi hantu pocong yang keluar dari dapur saat  semua teman-teman, termasuk Si Bawel sudah datang. Dan dalam hal ini, Merry dan Dini bersedia menjadi hanto pocongnya. Atas dasar itu zaskiapun menyiapkan dua lembar seprai putih dan dua gulung tali rafia.

Tepat pukul 20:00 WIB, teman-temannyapun mulai berdatangan satu persatu, termasuk Dadang Permana, pacar Zaskia yang jago karate itu. Satu persatu mereka memberi ucapan selamat atau bercipika-cipiki dengan Zaskia. Cukup merah acara malam itu. Apalagi saat itu mereka dalam situasi libur semester.

Yang datang dibatasi maksimal 50 orang saja, terutama teman-teman yang dianggap paling dekat dengan Zaskia yang ternyata rata-rata dari golongan keluarga kaya di Bandung. Jadi, tak heran kalau mereka yang datang berpakaian mewah.

Satu persatu teman-temannya menyumbangkan acara. Di awali berkaraokean, terus baca puisi, menyanyi bersama diiringi gitar akustik , tebak cermat atau teka-teki, berbalas pantun dan berbagai acara lainnya yang cukup memeriahkan suasana.

Tanpa terasa, waktu telah menunjukkan pukul 23:00 WIB, namun belum satupun teman Zaskia yang pulang. Bahkan di tengah malam itu, masih ada juga teman-temannya yang datang. Maklum mereka tahu, acara akan dilakukan sampai dini hari.

Sedang asyik-asyiknya mereka tertawa, bersendau gurau bahkan ada juga yang asyik berpacaran, tiba-tiba listrik atau lampu di apartemen Zaskia padam. Tentu, ini skenario dari Zaskia, Merry dan Dini.

“Wah! Gelap,nih…! Belum bayar listrik,ya…?” begitu komen teman-teman Zaskia.

“Aduh, maaf,deh. Nggak pernah ada kejadian seperti ini. Sabar,ya? Paling cuma sebentar…” Zaskia pura-pura membujuk teman-temannya.

Untunglah, lilin di kue tart masih menyala dan hanya sedikit kue tart saja yang dipotong. Sinar lilin dari kue tart menyebabkan suasana di apartemen seperti senja temaram.

Nah, saat itulah muncul dua pocong dari dapur.

“Hantu…!Hantu…!Hantu…” serentak teman-teman Zaskia yang penakut, terutama Si Bawel, beryeriak histeris. Merekapun berhamburan lari mencari pintu keluar apartemen. Ada yang menabrak, kursi, meja dan menabrak apa saja. Bayngkan, sekitar 50 teman Zaskia serentak lari ke luar melalui pintu apartemen. Hanya pacar Zaskia saja yang tetap tinggal di dalam apartemen, sebab sudah mengetahui skenario itu.

Ketika dua hantu pocong itu hampir mendekati pintu keluar apartemen, tiba-tiba masuk seorang satpam dengan menyalakan senternya ke arah dua hantu pocong itu.

“Jangan bikin ribut,ya?” teriaknya sambil terus memukul Merry dan Dini. Kemudian menendang sekuat tenaga terhadap Merry dan Dini. Tentgu, Merry dan Dini menjerit kesakitan.

Melihat penyiksaan itu, Dadang Permana, pacar Zaskia, yang juga jago karate itupun segera membela Merry dan Dini. Akibatnya, terjadi perkelahian seru antara satpam dan Dadang. Melihat ada ribut-ribut di dalam, teman-teman Zaskia yang cowokpun segera membantu Dadang. Satpam itupun dikeroyok dan dihajar habis-habisan oleh puluhan teman-teman Zaskia. Saat itu, Zskiapun menyalakan lampu.

Terlihat, satpam itu terkapar di lantai. Dari kepala keluar darah segar. Entah siap yang memukul. Acara pesta itupun berubah menjadi tragedi. Apalagi, sesudah dicek denyut nadinya, ternyata satpam itu telah tewas. Kaki kirinyapun terus keluar darah seperti terkena tusukan pisau. Entah siapa pelakunya.

Dalam hitungan menit, apartemenpun gempar. Lima orang petugas polisi yang punya pos di dkat apartemenpun segera datang ke apartemen. Saat polisi datang, semua teman zaskia sudah kabur. Pertama, kabur sejak ada hantu pocong buatan. Kedua, kabur karena tak mau jadi saksi atas peristiwa itu. Ketiga, kabur karena memang ingin segera pulang karena sudah mengantuk.

Di apartemen malam itu hanya ada Zaskia, Merry, Dini dan Dadang. Sesudah satpam yang tewas itu diperiksa polisi dan digambar posisinya di lantai, maka segera dibawa ke rumah sakit untuk mengetahui kepastian tewasnya satpam itu.

Akhirnya, semalam suntuk, hingga dini hari, beberapa petugas polisi meminta keterangan Zaskia, Merry, Dini dan Dadang.

Beberapa bulan kemudian, sesudah melalui beberapa persidangan, akhirnya Zaskia, Merry, Dini dan Dadang terpaksa harus dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan dengan jumlah lama hukuman yang berbeda sesuai dengan berat ringannya kesalahan.

Sedangkan pelaku pemukulan kepala dan penusukan kaki kiri satpam, sampai berbulan-bulan tidak terungkap.

Peristiwa itu terjadi tahun 2004. Apartemen itu memang jarang ditempati. Maklum, kedua orang tua Zaskia sehari-hari tinggal di Jl.Dago, Bandung. Aapartemen ditempati hanya sewaktu-waktu saja.

Namun, tiga bulan sesudah kejadian itu, penghuni apartemen tetangga Zaskia, sering ketakutan karena sering melihat ada satpam ngesot. Bahkan mereka sering menemuinya di dalam lift, tetapi hanya sebentar kemudian satpam ngesot itu menghilang. Sejak saat itu, apartemen milik orang tua Zaskia diiklankan untuk dijual, tetapi tidak laku. Sebab masyarakat Bandung sudah tahu peristiwa satpam ngesot itu. Bahkan, sudah berkali-kali prang tua Zaskia memanggil paranormal, namun apartemen itu masih sering ada penampakan satpam ngesot.

 

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger

CERPEN: Barbara dan Natal di Kopenhagen 1979

KOPENHAGEN 1979. Sesudah lulus SMAN 6 Surabaya pada 1972, saya tak pernah bertemu lagi dengan Barbara Daisy Laura.Dia pacar saya semasa di SMA. Begitu lulus, dia langsung pindah ke Skandinavia mengikuti orang tuanya yang bertugas sebagai duta besar dan melanjutkan kuliah di negara itu.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 1979 saya nekat menyusul ke Kopenhagen. Dari bandara, saya menuju stasiun kereta api. Sampai di stasiun Kopenhagen Hovedbanegard alias stasiun pusat Kopenhagen, pukul dua lebih lima menit. Turun dari kereta api, saya disambut Barbara.

Saya dan Barbara  langsung berfoto di bawah papan bertulis Kobenhavns H. Rata-rata stasiun di Skandinavia berkerangka kayu. Tujuannya,agar lebih hangat. Terutama di musim dingin.

Suasana di stasiun hiruk pikuk suara penumpang yang naik-turun kereta api. Di bagian tengah banyak berdiri toko atau mini kafe. Ada toko bunga, souvenir, money changer, serta loket informasi. Juga banyak mesin-mesin penjual tiket dan telefon umum. Saya punya kesan,stasiun  ini terasa suram. Hanya sedikit cahaya masuk lewat atap dan jendela kaca di sana.

“Yuk, kita langsung ke hotel!” ajak Barbara yang cantik itu sambil menggandeng tangan kiri saya. Sayapun menuju ke mobil yang dikendarai oleh Barbara sendiri. Ternyata, hotel itu letaknya  tak jauh dari belakang stasiun. Namanya Hotel Saga, di pinggir jalan bernama Colbjornsensgade. Berdinding batu bata merah.

Kami masuk, mendaftarkan diri ke resepsionis dan mengambil brosur dan peta Denmark dan Kopenhagen. Kemudian saya dan Barbara menuju ke kota terdekat Swedia, Malmo.

Malam, sepulang dari Malmo, saya dan Barbara sempat berbelanja untuk persiapan merayakan Natal. Tentu, Barbara yang akan merayakannya, sedangkan saya yang beragama Islam tentu tak akan merayakannya di gereja.

Tujuan saya dan Barbara yaitu menuju gerbang Tivoli. Lampu-lampu gemerlapan  menyemarakkan suasana malam di depan gerbang. Ada sebuah kolam air muncrat tak berair berada di tengah Axeltorv.Lagi-lagi, saya dan Barbara berfoto bersama menggunakan kamera otomatis yang dilengkapi tripod.

“Alangkah indahnya hari ini,” komentar Barbara. Saya cuma mengiyakan.

Gedung-gedung tinggi di sekitar lapangan meriah oleh lampu warna-warni. Iklan berbagai macam produk terang benderang menambah semarak suasanaKai menuju kawasan Stroget. Di situ banyak kafe dan tempat belanja Suhu saat itu 2 derajat C, Kami semua merasa sangat kedinginan di musim semi yang hangat itu. Oleh karena itu saya dan Barbara senantiasa berpelukan.Bahkan berciuman.

“Iya. Alangkah indahnya hari ini,” kali ini saya yang berkomentar.

Esok harinya saya dan Barbara berfoto bersama dengan latar belakang keren pertama adalah Galeri Nasional Denmark alias Statens Museum for Kunst di Hans Andersens Boulevard.Merupakan rumah bagi karya seni pahat dan lukis Denmark dan internasional.Koleksi mereka antara lain maha karya pelukis renaissance Tizian dan Mantegna, adi karya abad 17 oleh Rubens dan Rembrandt, serta lukisan di jaman keemasan Denmark abad 19 oleh Eckersberg dan Kobke. Tak ada rencana masuk museum, kami puas berfoto di seberang gedung megahnya.

Kemudian menuju Christiansborg, sebuah istana megah di pusat Kopenhagen .Christiansborg merupakan rumah bagi tiga kekuatan tertinggi negara : eksekutif, legislatif dan judisial. Di sini, kami berfoto bersama sambil berpose duduk di atas rantai besi besar.

Sambil bergandengan tangan, saya dan Barbara menuju ke Admiralgade, yakni Kongens Nytorv, berarti Lapangan Baru Raja. Inilah lapangan terbesar dan terelegan di seluruh Kopenhagen. Bagian tengahnya berupa taman berpagar. Patung berkuda mendiang Raja Christian V dan empat patung penjaga melengkapi suasana taman.

Saya dan Barbara istirahat sebentar.Duduk di bangku taman.Tempat istirahat asyik setelah berbelanja di daerah sekitarnya. Di sini pula berdiri sebuah resto masakan Indonesia bernama. Beberapa saat kemudian saya dan Barbarapun makan siang bersama di resto itu.

“Oh, tidak terasa, kita tujuh tahun berpisah,” saya mulai bicara, sementara Barbara memasan makanan dan minuman.

“Oh, iya. Saya juga sudah lulus dari universitas dan bekerja di salah satu perusahaan ternama,” sahut Barbara yang saat iitu menggenakan baju hangat. Sama dengan saya. Maklum, udara cukup dingin.

“Oh ya, Harry. Jangan lupa ya, besok turut merayakan Natal bersama di rumah saya,” ajak Barbara.

“Oke,” saya menyanggupinya. Hal demikian juga sering saya lakukan di Surabaya tiap kali Barbara merayakan Natal. Yang pasti saya tidak ikut masuk ke gereja. Maklum, saya seorang muslim.

Siang itu Barbara mengajak saya mengujungi objek-objek wisata. Maklum, saya belum pernah ke negara tersebut. Antara lain melanjutkan perjalanan ke Amalienborg Palads, kediaman keluarga kerajaan. Berfoto bersama di depan istana sebelum meneruskan perjalanan untuk menemui Den Lille Havrue, sang puteri duyung.Wanita paling sering difoto di Denmark, patung sang Putri Duyung berukuran seperti layaknya manusia biasa.

Juga, mengunjungi Borsen, Rosenborg, dan juga distrik perumahan Christianhavn dan Nyboder. Kemudian mencoba berkeliling kota dengan mengikuti wisata kanal. Cukup banyak pemandangan dan atraksi di Kopenhagen yang dapat dinikmati melalui transportasi air ini. Perahu melalui kanal-kanal di bagian kota lama dan melewati banyak tempat wisata yang paling terkenal seperti Little Mermaid,  Gedung Parlemen, Opera House, The Royal Palace, Amalienborg dan lain-lain. Perjalanan dimulai dan berakhir di Nyhavn (New Harbour).

Esok harinya, sayapun menepati janji untuk merayakan Natal bersama di rumah Barbara. Sebuah rumah yang sangat besar. Rumah pribadi. Kata Barbara yang asli dilahirkan di Kopenhagen, rumah itu adalah rumah ibunya sebelum pindah ke Indonesia dan menjadi warganegara Indonesia.Ibunya asli Kopenhagen, sedang ayah Barbara asli orang Indonesia, tepatnya orang Jakarta.

Di tengah ruangan berdiri pohon Natal yang cukup tinggi dan gemerlap dengan lampu-lampu kecil aneka warna. Sayapun disambut dengan senang hati oleh ayah dan ibu Barbara. Juga dikenalkan dengan kakak dan adik Barbara.

Ketika mereka berdoa bersama, saya diam saja. Maklum, agama saya Islam. Begitu pula ketika mereka menyanyikan lagu-lagu Natal, sayapun diam saja. Namun untuk acara jamuan makan, tentu saya ikut. Saat itu yang hadir cukup banyak. Sekitar 100 pengunjung. Semua kerabat dan teman-teman baik Barbara dan teman-teman dari saudara-saudara Barbara.

Namun semuanya itu menjadi seperti mimpi. Beberapa hari kemudian saya harus kembali ke Indonesia. Berat rasanya. Apalagi, Barbara adalah cinta pertama saya. Ingin rasanya tinggal bersama dengan Barbara selamanya, tapi itu tidak mungkin.

Akhirnya, di bandara pesawat sudah menunggu. Saya mengulangi pertanyaan yang pernah saya tanyakan sewaktu kami masih duduk di SMAN 6 Surabaya.

“Bagaimana, Barbara? Bersediakah Barbara mengikuti agama saya?”  Saya pegang kedua pundah Barbara. Saya pandangi kedua matanya. Dia diam tak menjawab. Lama-kelamaan, saya lihat dua butir air matanya menetes di pipinya.

“Maafkan saya, Harry. Saya harus berterus terang kepada Harry,” ujar Barbara sambil memandang saya. Akhirnya Barbarapun bercerita, bulan depan akan menikah dengan pria pilihannya. Seorang pengusaha muda dan sukses yang tinggal di Kopenhagen juga.

“Maaf, Harry. Kita punya banyak perbedaan, baik agama maupun budaya. Apalagi, kedua orang tua saya juga tidak menyetujui hubungan kita. Juga, kita terlalu lama berpisah. Maafkan saya, Harry…”

Terkejut sekali saya mendengar pengakuan Barbara. Sedih rasanya. Saya merasa kehilangan segala-galanya. Saya tak bisa marah. Saya pasrah. Saya terima kenyataan itu apa adanya, walaupunn kenyataan itu pahit.

Sesudah kami berciuman, sayapun ucapkan semoga Barbara berbahagia. saya lambaikan tangan. sayapun menuju ke pesawat yang beberaapa menit lagi akan take off.

“Selamat tinggal, Barbara,” kata saya yang terakhir kali.

“Selamat jalan, Harry,” jawab Barbara. Kalimat terakhir yang pernah saya dengarkan.

Sejak saat itu, tiap Natal, saya pasti teringat semua kenangan yang pernah saya nikmati keindahannya.

Sumber foto: tuluusey.blogspot.com

Hariyanto Imadha

Penulis cerpen

Sejak 1973

PUISI : Sondang Hutagalung

Sondang,

Api berkobar dan tubuhmu terkapar

Kau bakar diri tanpa memberi kabar

Tubuhmu terkulai dan menggelepar

Mereka yang diistana tak mendengar

.

Sondang,

Aktivis mahasiswa pembela ham

Di tengah-tengah para pemimpin yang bungkam

Sejuta aspirasimu terasa terbenam

Karena pemimpin negaramu berhati temaram

.

Sondang,

Hati nurani para pemimpin sudah mati

Pelanggaran ham mereka tak peduli

Sibuk mengurusi politik daripada negeri

Mereka sudah buta dan sudah tuli

.

Sondang,

Tubuhmu boleh saja mati

Tetapi perjuanganmu tetap abadi

Diteruskan generasi ke generasi

Sampai keadilan menjadi nyata di negeri ini.

.

CATATAN:

SONDANG : Bunuh diri atau bakar diri adalah perbuatan yang dilarang agama dan berdosa (kecuali berjihad dalam arti sesungguhnya).Dan itu tak perlu dibahas. Apa yg dilakukan Sondang cermin tersumbatnya saluran aspirasi yang dirasakan Sondang

dan masyarakat korban pelanggaran HAM berat. Sementara Pemimpin Bangsa bersikap bungkam tak peduli dan tanpa solusi. Itupun berlangsung bertahun-tahun Itulah substansi pesan yg disampaikan Sondang.

.

Sumber foto: masihangat.wordpress.com

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger

CERPEN: Isyarat Alam

SEPERTI biasa, beberapa mahasiswa fakultas filsafat berkumpul. Acaranya diskusi bebas. Tentang apa saja. yang penting ada hubungannya dengan ilmu filsafat. Ada hubungannpemikiran. Ada hubungannya dengan implikasi-implikasi pemikiran. Tujuannya mempertajam pemahaman tentang hal-hal yang didiskusikan.

“Memangnya sekarang kita diskusi tentang apa? “ tanya Marni yang sudah tidak sabar.

“Ini sajalah. Tentang fenomena alam,” usul Gunaan.

“Bisa diperjelas. Fenomena alam yang bagaimana? Fenomna alam kan banyak. Fokusnya harus jelas,dong” sahut Nurcholish.

“bagaimana kalau hal-hal yang akhir-akhir ini terjadi di negara kita. banyaknya jmbatan yang runtuh. banjir di mana-mana. Tanah longsor di mana-mana. Angin puting beliung di mana-mana. Beberapa gunung meletus hampir bersamaan. beberapa gempa bumi terjadi hampir bersamaan,” usul saya.

“Setujuuu…!” serempak  teman-teman mahasiswa menjawab.

“Kalau menurut saya sih, itu fenomena alam biasa. Sejak zaman Mojopahit juga ada banjir. Juga ada angin puting beliung. Ada banjir. Ada gempa bumi. Ada gunung meletus. kalau menurut saya itu hal yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh,” komentar Gunawan.

“Kalau saya kok melihatnya agak berbeda. Peristiwa alam itu kan akibat logika alam atau hukum alam. yaoyu, hukum sebab dan sebab. jadi, semua kejadian itu bisa dijelaskan dari sudut ilmu alam…” Marni mengomentari.

“Iya. Tapi kita kan bukan mahasiswa fakultas MIPA. Bukan pegawai BMKG. Kita ini kan mahasiswa fakultas filsafat. Kita fokus deh ke aliran-aliran pemikiran. jadi, sesuai dengan predikat kita sebagai mahasiswa fakultas filsafat,” saya mencoba mengembalikan diskusi ke fokus yang relevan.

“Setuju,” sahut Nurcholis

“Kalau saya yakin bahwa kejadian-kejadian alam itu tidak secara kebetulan saja. Memang betul ada logika alam atau hukum alam di situ. Tetapi tidak serta merta semua terjadi karena faktor kebetulan…” marni mulai berpendapat.

“Betul. bahkan saya melihat, semua kejadian alam tentu ada yang mengaturnya. Ada sutradaranya. dan tentu ada maksudnya. nah, kita sudah mengarah ke bidang metafisika nih…Hehehe…” begitu argumentasi Gunawan.

“He’eh. Ada benarnya juga. Walaupun kita tak berbicara tentang agama, tetapi kita tentu yakin bahwa semua kejadian alam pasti direncanakan Tuhan dan diketahui Tuhan. Tentu, ada maksud dan tujuannya. Bukan karena kebetulan sekarang musim penghujan saja,” ujar Munawir yang sedari tadi diam.

“Iya. Setuju. Mungkin bencana alam yang beruntun tak seperti biasanya merupakan peringatan, teguran atau mungkin juga sebagai hukuman bagi semua umat di Indonesia ini…” begitu pendapat Jayus Bharly yang juga ikut mulai berbicara.

“Memangnya apa salah bangsa Indonesia sehingga Tuhan memberikan peringatan, teguran dan hukuman sebanyak itu? “ saya memancing.

“Ah, semua kita kan tahu. Bangsa kita terkenal bangsa yang korup. Pemimpinnya korup. Menterinya korup. Anggota DPR-nya korup. Trias politika kita sudah berbau busuk. Penegak hukum menjual hukum. Hukum bisa dibeli. Koruptor dihukum ringan dan bahkan divonis bebas. Artina, Tuhan menghukum kita karena bangsa kita banyak yang kafir…” pedas komentar Marni.

“Betul juga,sih. Tapi kenapa rakyat yang tidak korup yang justru terkena bencana? banjir, gempa bumi, tanah longsor, angin putting beliun dan bencana lainnya. Mana mungkin rakyat yang jujur dan tidak korup justru yang dihukum Tuhan. bagaimana dong logikanya? Kenapa Tuhan tidak menghukum para koruptor itu?” setengah memprotes komentar Gunawan.

“Begini. Keliru kalau kamu mengatakan rakyat tidak punya asalah apa-apa. Ingat. Hasil survei menunjukkan bahwa 70% rakyat telah salah memilih pemimpin. Telah salah memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota. Telah alah memilih wakil rakyat. Hasil survei juga mengatakan bahwa 70% orang-orang politik berbakat korupsi. Jadi, Tuhan menghukum rakay karena rakyat telah salah memilih pemimpin dan wakil rakyat….” panjang argumentasi Jayus Bharly.

“Setuju…Setuju…Masuk akal. Masuk penalaran. Tetapi kenapa Tuhan tidak menghukum para koruptor? Justru divonis hukuman ringan atau bahkan bebas?” tanya Nurcholis.

“Kalau menrut saya. Hukuman tidak selalu harus saat kita hidup. Tidak saat para koruptor masih hidup. Bisa saja Tuhan menunda hukuman dan akan dihukum di akherat nanti. Bukankah hukuman di akherat lbih luar biasa menyakitkan? Siapa tahu Tuhan akan memasukkan mereka ke neraka. Sebab mereka sesungguhnya orang-orang kafir….” sayapun ikut menyumbangkan pemikiran.

“Ya,ya,ya…Boleh.Boleh. Lantas bagaimana caranya supaya bangsa ini tidak terkena bencana melulu? “ Gunawan ingin tahu.

“kalau menurut saya sih. Perlu adanya lembaga pendidikan dan pencerahan politik ke masyarakat. Bisa melalui jalur pendidikan. Bisa melalui media massa koran, majalah, radio, televisi dan semacamnya. Di negara-negara maju sudah ada lembaga pendidikan dan pencerahan semacam itu. Tujuannya agar masyarakat mampu berpikir dan berfilsafat yang benar. Agar tidak salah pilih…” itu komentarnya Marni.

“Bagus kalau itu ada di Indonesia. Sebab, maju mundurnya bangsa Indonesia tergantung kualitas pemimpinnya. kalau pemimpinnya penakut, pesolek, peragu, pemboros, pengutang, curhat melulu, mengeluh melulu, tidak tegas….mana mungkin negara kita bisa mandiri? mana mungkin mempunyai kedaulatan ekonomi? Semua didikte negara lain. Didikte negara lain. PLTN-pun sebenarnya hasil dari iming-iming negara lain. Tujuannya supaya negara kita selalu tergantung kepada staf ahli asing. Supaya tergantung kepada negara lain. Supaya kita terjebak seumur hidup. Imbalannya, kita harus menjual sumber daya alam kita dengan harga murah sampai terkuras habis. Contohnya ya, Freeport Papua itu…” kata saya.

“Iyaya. Kita sudah puluhan merdeka tetapi 55% rakyat kita cuma berpendidikan SD. Tiap warganegara tahun 2011 ini dibebani utang Rp 8 juta. Sembako impor, BBM impor dan hampir semuanya impor. Semua karena rakyat salah memilih pemimpin” panjang lebar argumentasi Jayus Bharly.

“Lantas, apakah bencana-bencana alam itu sifatnya hanya menghukum rakyat saja? Apakah tidak ada politisi yang akan terkena hukuman? “ tanya Nurcholis.

“Kalau menurut saya, sih. Apa yang terjadi di alam kita ini merupakan isyarat-isyarat alam,” Gunawan mencoba menafsirkan .

“Isyarat alam yang bagaimana?” marni ingin tahu.

“Saya yakin alam memberi isyarat kepada kita bahwa banyaknya jembatan yang runtuh, itu merupakan pertanda banyaknya pemimpin yang runtuh. Semua bisa terjadi kalau ada seorang pemimpin yang lengser, maka otomatis menteri-menternya juga lengser…”

“Ah, itu tidak ilmiah…..” Marni protes.

“Ilmiah atau tidak ilmiah tak perlu diperdebatkan. Dunia ilmu filsafat adalah dunia pemikiran. Dunia penalaran. Dunia ilmu logika……” Jayus Bharly membela Gunawan.

“Begini. Ilmu filsafat atau ilmu saja boleh saja membuat prediksi sejauh prediksi itu berdasaekan fakta. Betul atau tidaknya prediksi itu, tidak mungkin disalahkan atau dibenarkan sekarang ini. Benar atau tidaknya sebuah prediksi, itu nanti pada saatnya yang akan datang. Mungkin tahun 2012…..” saya membuat kesimpulan.

“Setujuuu…!” serentak para mahasiswa fakultas filsafat yang tergabung dalam Kelompok Belajar “Plato”.

Karena sudah saatnya shalat Ashar, maka diskusipun otomatis selesai.

 

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger.

CERPEN: Legenda Bojone Goro

DULU, sesudah Kerajaan Mojopahit terpecah, berdirlah Kerajaan Malowopati di Kecamatan Kalitidu dengan rajanya bernama Anglingdharmo. Saat itu Kota Bojonegoro belum bernama Bojonegoro. bahkan belum punya nama.

Namun di tenga-tengah kota itu, ada sebuah pasar kecil yang sekarang bernama Bombok. Pasar kecil itu ada di sela-sela pohonasam yang jumlahnya cukup banyak. Dulu, belum ada rumah di situ. Uniknya, semua yang berjualan di pasar itu perempuan dan biasa dipanggil embok-embok yang akhirnya disebut dengan nama pasar Embok-Embok atau Pasar Bombok.

Ada dua embok-embok yang terkenal cantik. Uniknya, keduanya berstatus janda muda dan keduanya juga berjualan nasi pecel yang rasanya cukup enak dan terkenal sampai kemana-mana. Orang-orang desa yang ke Pasar Bombok sudah bisa dipastikan akan membeli nasi pecel. Di amping itu juga ingin melihat dan berkenalan dengan dua embok-embok yang cantik itu. Embok yang satu bernama Anggraeni dan embok yang satunya lagi bernama Ayodhia. nama-nama yang berbau agama Hindu.

“Mau ke mana?” begitu orang-orang desa bertanya ke temannya.

“Mau ke Pasar Bombok” jawab orang-orang yang mau ke pasar tersebut.

 

Salah satu laki-laki yang betul-betul naksir embok-embok itu namanya Anggoro. Dengan alasan membeli nasi pecel, Anggoro yang tampan dan masih bujangan itupun melakukan pendekatan. karena keduanya cantik, maka Anggoropun bingung. Apalagi, kedua janda muda itu tidak punya anak. Akhirnya, keduanyapun dipacari.

Sikap Anggora yang demikian membuat dua janda itu sering cemburu.

“Mas Goro naksir saya, lho…” kata Anggraeni ke Ayodhia.

“Nggak, bisa. Mas Goro yang naksir saya. Kemarin ke rumah saya, kok,” balas Ayodhia. Mereka berduapun kadang-kadang bertengkar merebutkan Goro yang tampan itu.

Namun, akhirnya Goro mengambil keputusan untuk menikahi Ayodhia. hal ini membuat Anggraeni sakit hati.

“Awas! Hati-hati kamu,” ancam Anggraeni ke Ayodhia. Dan Anggraeni betul-betul merealisasikan ancamannya. Diapun ke Buyuddalem untuk menemui seorang dukun yang cukup terkenal. hasilnya, enam bulan kemudian, Ayodhiapun bercerai dengan Goro.

Dua bulan kemudian, Goropun terkena pelet Anggraeni dan akhirnya menikah dengan Anggraeni. Dan kemudian orang-orang desa yang pergi ke Pasar Bombokpun juga sering berkata akan pergi ke bojone Goro (isterinya Goro). Alkhirnya, muncullah sebutan kota itu dengan nama BojoneGoro atau Bojonegoro.

Satu hal, akhirnya terungkap, ternyata Anggoro, Anggraeni  dan Ayodhia masih keturunan dari kerajaan Mojopahit. Pantaslah namanya bagus. Bukan Samijan, Suminem ataupun Suminah sebagai lazimnya nama-nama orang desa.

Pernikahan antara Goro dan Anggraenipun ternyata tidak berlangsung lama. Ayodhiapun akhirnya ke dukun yang ada di Buyuddalem juga. Meminta bantuan agar Anggraeni bercerai dari Anggoro. Dan benar, beberapa bulan kemudian Anggraenipun bercerai dengan Anggoro.

“Kabarnya, bojone Goro bercerai ya?” begitulah pergunjingan di masyarakat saat itu.

Kabar perceraian itupun dengan mudah tersebar dari mulut ke mulut. Maklum, saat itu kota itu penduduknya masih sedikit. Jadi, ada berita sedikit saja, orang-orangpun akan mendengarnya.

Anggoro sendiripun sebenarnya juga heran, kenapa kok pernikahannya tidak bisa berlangsung lama. padahal, kedua janda muda itu cantik. Anggoro merasakan ada sesuatu yang aneh, sebab perceraiannya dirasakannya mengandung kejanggalan.

Kali ini, Anggorolah yang datang ke dukun yang ada di Buyuddalem. Dukun yang pernah dimanfaatkan Anggraeni dan Ayodhia. Anggoropun menceritakan percerainnya ke dukun itu yang biasa dipanggil Mbah Buyud.

“Oh, perceraian itu terjadi atas permintaan Anggraeni dan Ayodhia,” kata Mbah Buyud secara jujur. Tentu, Goro menjadi emosional mendengar pengakuan dukun itu. Diapun kemudian berjalan kaki menuju ke Pasar Bombok untuk menemui Anggraeni dan Ayodhia.

“Oh, jadi kalian berdua telah main dukun, ya?” Goro mulai marah ke kedua janda muda itu. Semula kedua janda itu saling membantah. Orang-orang di Pasar Bombok itupun berkerumun ingin tahu pertengkaran antara Goro dengan dua janda itu.

Akhirnya, Goro yang masih keturunan Mojopahit itupun bersumpah.

“ Saya bersumpah, menyumpahi kalian berdua. Jika suatu saat nanti kamu, atau siapa saja perempuan di kota ini menikah dengan laki-laki dari kota ini juga, akan berakhir dengan status janda!”. Sumpah ini didengar semua embok-embok yang ada di pasar itu.

Ternyata, sumpah Goro terbukti. Satu persatu perempuan Kota Bojonegoro yang menikah dengan pria yang asalnya dari Bojonegoro juga, ternyata pernikahannya berlangsung tidak lama. Itulah sebabnya, sejak saat itu angka perceraian di kota itu sangat tinggi. Hampir tiap bulan selalu terjadi puluhan perceraian.

Itulah asal mula nama Kota Bojonegoro dan asal mula nama Bombok yang sekarang berupa deretan toko yang berdiri di dekat perempatan lampu lalu lintas.

Itulah asal usul perceraian yang banyak terjadi di kota Bojonegoro. Di kota ini, dengan mudah kita menemukan janda-janda muda yang berwajah cantik. Korban sumpah yang diucapkan Goro.

Catatan:

Cerpen ini merupakan cerita fiktif.

 

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger

CERPEN: Rumah Tetanggaku Ternyata Sarang Gay

SAYA tinggal di Malang, Jawa Timur. Saya bekerja di sebuah bank swasta yang cukup terkenal. Baru dua tahun saya pindah ke kota ini. Sebelumnya saya ditempatkan di Surabaya. Senang tinggal di Malang,. Udaranya sejuk. Lebih senang lagi saya makan apel juga buah-buahan apel Malang.

Namun, selama setahun ini ada yang membuat saya bertanya-tanya. Saya punya tetangga baru seberang rumah. Dia baru tinggal satu tahun. Laki-laki itu berusia sekitar 35 tahun. Semula, saya mengira dia bisnis burung. Maklum, di rumahnya banyak sangkar burung. Ternyata, mungkin bukan itu. Sebab, saya tak pernah melihat ada pembeli datang membeli burung. Atau, saya tak pernah melihat tetangga saya membawa burung itu ke pasar. Nama tetangga saya Robby.

Selama satu tahun, mobilnya sudah ganti dengan mobil yang lebih bagus. Dia tinggal dengan beberapa laki-laki yang lebih muda. Semula saya mengira laki-laki muda atau cowok-cowok itu adiknya. Semua kira-kira ada tiga cowok. Namun, semuanya mukanya tidak mirip. Juga ada seorang wanita muda. Usianya sekitar 38 tahun. Kadang-kadang saja dia datang ke rumah itu. Semula, saya mengira dia istrinya. Karena tidak tiap hari ada di rumah itu, maka kemungkinannya dia kakak Si Robby. nama wanita itu Nancy. Kabarnya mengelola sebuah kafe di Malang.

Pertanyaan saya selanjutnya. Si Robby bisnis apa? Kerja di mana? Selama ini, pagi, siang, sore, malam, lebih banyak di rumah. Hanya kadang-kadang saja keluar. Lantas, apa kerja cowok-cowok itu? Kalau saya amati, jumlah cowok terkadang lebih dari lima orang. rata-rata masih remaja dan parasnya ganteng. Pakaiannya rapi. Kadang tidur di rumah itu. Tetapi kadang-kadang puku23:00 WIB atau pukul 02:00 WIB keluar rumah. Sekolah? Kuliah? rasa-rasanya tidak jelas. saya tak pernah mereka membawa buku. Cowok-cowok itu rata-rata punya motor dan motornya baru dan bagus-bagus.

Lama-lama saya curiga. Intuisi saya mengatakan kemungkinan mereka adalah para gay. kaum homoseks panggilan. Apa iya? Sayapun di rumah membuka internet. Saya buka Google. Saya ketik “gay panggilan kawasan Malang”. Ternyata, ada ratusanlink atau tautan yang muncul. rata-rata mencantumkan nomor HP. Tidak ada satupun yang mencantumkan nomor telepon kabel. bahkan, ada yang mencantumkan foto. bahkan lengkap dengan data-data fisik seperti tinggi, berat dan lain-lain. Juga, disertakan tarif perjam.

Dengan menggunakan kartu perdana HP baru yang nomornya belum diketahui siapapun, saya mencoba menelepon mereka satu persatu. Saya tanya di mana alamatnya. Tentu, tak ada satupun yang mau menyebutkan alamat. Yang pasti mereka siap datang dan bertemu ditentukan ditentukan. Dan mereka ada juga yang mau melayani hubungan intim dengan sesama laki-laki ataupun dengan perempuan-perempuan yang kesepian.

Cukup banyak nomor HP yang harus saya hubungi. Pura-pura berminat saja. Tentu, saya tak mau menyebutkan identitas saya yang sebenarnya. Dan itu saya lakukan selama satu minggu.

Secara tak sengaja, ketika saya berada di kamar depan dan mencoba menghubungi nomor HP tertentu, tiba-tiba saya mendengar dering HP. Ketika saya menengok ke arah luar jendela, ternyata Si Robby sedang berada di luar rumahnya sedang pesan bakso. HP saya matikan. Kemudian, saya coba menghubungi nomor HP tersebut. Ternyata, HP Si Robby berbunyi lagi. saya matikan HP saya. Saya tidak mau berbicara. Saya kirim SMS pura-pura cari gay muda remaja dan tanya tarifnya berapa. Ternyata, saya melihat Si Robby sedang memencet tombol-tombol HP-nya. Benar. Sayapun mendapat jawaban. Sekarang saya yakin bahwa, rumah tetangga saya telah dijadikan sarang gay. Terlalu.

Biasanya sih, komunitas begituan dekat juga dengan urusan perdagangan narkoba. Say mencoba mencari informasi lewat SMS, apakah saya bisa mendapatkan narkoba. Saya katakan saya bersedia bayar mahal. Saya butuh sekali. Ternyata, saya dapat jawaban dari SMS juga. Tentu dari nomor HP Si Robby. Tentu, Si Robby bukanlah orang bodoh. Dia bilang bahwa dia tidak melakukan bisnis itu.

Wah, bagaimana ya cara saya membuktikan bahwa Si Robby juga bisnis narkoba? Sulit. Melaporkan ke polisi tanpa bukti juga tidak akan digubris. Sampai suatu saat, ketika rumah tetangga saya sepi. Tampaknya mereka keluar semua. Setelah yakin sepi, sayapun coba-coba melihat ke tempat sampahnya. Siapa tahu ada sisa-sisa narkoba. Ternyata tidak ada. Tentu, mereka tidak sebodoh itu.

Akhirnya saya ke Ketua RT. Kebtulan saya meminta izin untuk mendirikan les privat komputer, warnet dan mini market pribadi di rumah saya. Ya, semacam Indomart atau Alfamart kecil-kecilan. Ternyata Pak RT ada. Sambil mengurus surat izin atau tepatnya meminta persetujuan tersebut, sayapun memancing-mancing Pak RT tentang kegiatan Si Robby. Ternyata, Pak RT juga punya prasangka yang sama dengan saya. Yaitu, mencurigai rumah tersebut sebagai sarang gay. Cuma, bagaimana cara membuktikannya? Tidak mudah bukan? Apalagi, cowok-cowok itu melakukan kegiatannya di tempat lain. Rumah itu hanya tempat berkumpul saja.

Sampai suatu ketika, dua bulan kemudian, terjadi kebakaran di rumah itu. Semula apinya kecil, tapi dalam waktu singkat api sudah membesar. Masih untung, rumah itu ada di seberang rumah saya. Semua wargapun keluar. Apalagi hari Minggu. Semua membawa ember berisi air. Sekitar 30 menit kemudian datang dua buah mobil pemadam kebakaran. Seperempat jam kemudian apipun padam. Meskipun demikian, lima buah rumah terlanjyr hangus terbakaar habis. Tidak ada kurban jiwa.

Belakangan saya baru tahu, diberitahu Pak RT, Si Robby di situ hanya mengontrak rumah. Dan sejak terjadinya kebakaran itu, Si Robby dan cowok-cowoknya tidak pernah kelihatan lagi. Entah kemana. Yang pasti, seminggu kemudian, saya membaca sebuat surat kabar yang terbit di Malang, bahwa Si Robby dan cowok-cowok tertangkap polisi karena di mobilnya ditemukan 50 gram narkoba. Benar dugaan saya, bahwa mereka juga diberitakan sebagai para pelaku gay yang sangat meresahkan masyarakat kota Malang.

 

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

CERPEN: Ketika Matahari Terbit dari Barat

BEGITU saya terbangun, saya merasa heran. Semula saya tidak tahu saya berada di mana. Namun setelah saya lihat, saya baru menyadari saya berada di ruang menwa salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di jakarta. Saya masih lengkap memakai pakaian wisuda.

Beberapa saat kemudian saya mulai sadar tentang apa yang terjadi sebelumnya.

-“Sudah baikan,Mas?” tanya Wulandari, adik kelas saya. Saya mengangguk kemudian mencoba bangkit dari kursi panjang. Kemudian duduk degan lemas. Entah berapa lama saya jatuh pingsan, saya tidak tahu.

Tak berapa lama kemudian, beberapa sahabat baik sayapun berdatangan. Ada Shanty, Wulan, Prabowo dan lain-lain. Mereka ingin tahu, apa sesungguhnya yang terjadi. Merekapun saya ajak ke ruang kuliah yang masih kosong. Kira-kira ada sembilan sahabat baik saya yang berkumpul.

-“Ceritanya sangat menyakitkan sekali”. Saya mulai bercerita.

Saya katakan, saya berpacaran dengan Priska Adelia sebenarnya sejak saya duduk di kelas 1 SMP Negeri II, . Masih cinta monyet. Namun, sebenarnya saya dan Priska benar-benar saling mencintai. Meskipun demikian proses belajar tidak terganggu. Justru semangat belajar semakin tinggi.

“Hubungan saya dan Priska berjalan terus. Hari demi hari yang indah saya nikmati berdua. banyak tempat kenang-kenangan. Antara lain Jembatan Kaliketek, pemandian Dander dan lain-lain. Dulu saya berpacaran Cuma bersepeda saja. Saya membawa sepeda sendiri dan Priska membawa sepeda sendiri.” Cerita saya.

“Sudah banyaklah foto keang-kenangan, baik sewaktu di sekolah atau di luar sekolah. Orang tua Priska maupun orang tua saya juga sudah tahu persahabatan saya dengan Priska. Meskipun demikian hubungan saya masih di dalam batas kesopanan. Paling Cuma berciuman saja. Tidak lebih dari itu.” Saya melanjutkan cerita.

-“Nah, di bangku SMP itulah saya dan Priska sudah berjanji tidak akan berpisah dan akan tetap bersama hingga bangku SMA dan perguruan tinggi. Sebuah janji yang indah dan tak akan pernah saya lupakan. Bagi saya Priska adalah cinta pertama dan bagi Priska saya adalah cinta pertamanya”. Saya terus bercerita.

-“Tanpa terasa, saya dan Priska lulus SMP dengan nilai yang baik. Saya dan diapun akhirnya meneruskan di SMA yang sama, yaitu SMAN 1 . Sayang, saya tidak sekelas. Tapi, tak apalah, yang penting tiap hari masih bisa bertemu.”. Saya berhenti bercerita sebentar. Sesudah minum segelas Coca Cola dingin, sayapun melanjutkan cerita. Sahabat-sahabat saya diam memperhatikan saya. Mereka ingin tahu kelanjutan cerita saya.

-“Iya, akhirnya saya dan Priskapun lulus SMA dan sama-sama pindah ke Jakarta dan kuliah di fakultas ekonomi di perguruan tinggi ini. Tentu, saya selalu satu ruang sebab mendaftarnya bersama-sama.”.

Saya berdiam sejenak. Saya masih berpikir, perlu tidaknya saya menceritakan masalah-masalah yang bersifat pribadi. Misalnya, selama kuliah sebenarnya saya sudah berulangkali melakukan hubungan intim dengan Priska. Namun, akhirnya saya putuskan tidak perlu menceritakannya.

-:Ya, kalian semua tahu. Di mana ada Priska, di situ pasti ada saya. Walaupun banyak mahasiswa yang ingin mendekati, namun Priska tetap setia terhadap saya. Walaupun banyak cowok lebih kaya dari saya, tetapi Priska tetap memilih saya. Kalau saya hitung-hitung, saya sudah berpacaran selama 11 tahun. Sebuah waktu dan perjalanan hidup yang cukup panjang.”

Saya berhenti bercerita. Saya teguk lagi minuman Coca Cola kesukaan saya. Sedangkan sahabat-sahabat saya mengajukan beberapa pertanyaan yang mereka sangat ingin tahu jawabannya.

-“Ya, memang saya dan Priska sudah saling berjanji, sesudah wisuda saya dan Priska akan resmi menikah. Tapi,…apa yang terjadi? Sungguh menyakitkan. Sesudah wisuda, di luar ruangan ternyata sudah menunggu kedua orang tuanya. Semula saya menyambutnya dengan senang hati. Dan saya katakan kedua orang tua saya tidak bisa hadir karena sibuk di Jawa Timur.”

“Namun, yang menyakitkan adalah. Kedua orang tuanya memperkenalkan seorang pria. Katanya, dia adalah calon suami Priska yang selama ini studi di Amerika. Saat itu saya melihat Priska menundukkan muka dan menangis. Saya tanyakan kenapa semua ini bisa terjadi.”

Saya menghela nafas panjang. Rasa-rasanya tak sampai hati saya meneruskan cerita. Namun apa boleh buat, mereka adalah sahabat-sahabat baik saya. Mereka harus tahu.

-“Ya, Priska mengatakan bahwa kedua orang tuanya sudah menjodohkan Priska dengan pria itu sejak Priska masih bayi. Kedua orang tua Priska adalah sahabat baik dengan kedua orang tua pria itu. Ya, itulah yang membuat saya shock dan pingsan. Saya tidak mengira hubungan yang sudah berjalan belasan tahun akhirnya kandas begitu saja…”

Saya mengambil nafas panjang. Namun sahabat-sahabat sayapun cukup memaklumi penderitaan saya itu. Tentu, mereka hanya bisa memberikan semangat.

-“Ya, sudahlah. Betapapun pahitnya kenyataan itu, terima saja. Anggap saja itu sudah kehendak Tuhan. Siapa tahu Harry akan mendapatkan pengganti Priska yang lebih cantik, lebih cerdas dan lebih setia. Jangan putus asa…” Begitu saran Shanty dan teman-teman lainnya.

Sesudah melepaskan toga dan berpakaian biasa, maka saya dan sahabat-sahabat itu segera menuju ke restoran American Hamburger di Blok M untuk merayakan kelulusan kami bersepuluh. Mereka adalah sahabat-sahabat satu kelompok belajar.

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger

CERPEN: Cewek Dua Digit

SAAT itu saya kuliah di Universitas Udayana, Fakultas Teknik, semester enam. Sebuah universitas tertua di Bali dan berlokasi di Bukit Jimbaran. Sebagai orang Jawa, saya senang kuliah di universitas ini karena bisa memahami budaya orang Bali yang merupakan masyoritas mahasiswa di kampus itu. Ada dua kampus lain, yaitu Kampus Sudirman dan Kampus Nias. Namun, kampus saya merupakan yang terbesar.

Sebagai mahasiswa, wajar saja kalau tidak hanya mengurusi buku-buku ilmiah, tetapi juga terlibat persoalan-persoalan cinta. Masalahnya adalah, hampir tiap semester saya selalu ganti pacar, sebab merasa belum menemukan pacar yang ideal.

Semester pertama saya pacaran dengan Umi, semester kedua dengan Kamelia, semester tiga dengan Nungkie, semester empat dengan Frestya dan semester kelima dengan Anggie. Semuanya mahasiswi dari kampus Sudirman maupun kampus Nias dan dari kampus lain. Sampai semester enam, saya belum menemukan pacar yang sesuai dengan yang saya idam-idamkan.

“Harry! Jangan lupa, besok ada acara ospek di Kampus Nias…!” tiba-tiba saya ditegur Paul, teman kuliah yang berasal dari Timor.

“Oh, ya. Besok kita ke sana bersama,” jawab saya yang waktu itu tepat bubaran kuliah matakuliah terakhir.

Kenapa mahasiswa fakultas teknik sering ke Kampus Nias? Maklum, kampus fakultas teknik kebanyakan cowok semua. Ceweknya sedikit. Sedangkan di Kampus Nias ada Fakultas Pariwisata yang mayoritas merupakan mahasiswi.

Esoknya, saya dan Paul, yang kebetulan satu kos, dengan masing-masing naik motor menuju ke Kampus Nias yang jaraknya lumayan jauh dari Kampus Bukit Jimbaran. Dan sesampai di Kampus Nias, saya dan Paul langsung menuju ke ruang senat mahasiswa. Saya dan Paul merupakan aktivis mahasiswa dan tidak heran kalau saya dan Paul cukup kenal baik dengan aktivis-aktivis mahasiswa Udayana.

“Hai Harry! Hai Paul….Pasti mau cari cewek,ya?” sambut Nungkie dan Laura yang menjadi panitia ospek.

“Hehehe…Tahu saja…” sahut Paul. Nungkie dan Laurapun mengajak kami berdua ke aula yang tidak begitu luas. Di situ sudah ada sekitar 100 mahasiswi baru mengenakan pakaian seragam ospek yang unik dan lucu lengkap dengan “nama bagus” di dadanya masing-masing.

Terus terang, Nungkie dulu pacar saya. Namun, saya menilai Nungkie belum memenuhi kriteria gadis ideal saya. Nilainya paling tinggi tujuh.Meskipun demikian, saya dan Nungkie putus secara baik-baik.

Di aula, tampak para panitia ospek sedang mengajarkan hymne Udayana ke para mahasiswi baru yang biasa disebut cama atau cami. Hymne tersebut antara lain berbunyi:

Pujastuti Kehadapan Tuhan Maha Esa

Udayana Kau Ksatria Kusuma Negara

Kami Kau Berikan Pusaka Widya Maha Merta

Kuberjanji Setiakan Mengabdikan Darma-Mu

Udayana Jayalah Kau, Di Persada Bu Pertiwi

Udayana Megahlah Kau Untuk Indonesia Raya

 

Hymne itu harus dihafalkan semua cama-cami. Kemudian secara sample panitia menunjuk satu persatu cami untuk maju membawakan hymne tersebut dalam bentuk lagu. Kalau salah atau lupa, pasti dikenakan hukuman versi ospek.

Tiba-tiba ketika salah satu cami ditunjuk maju, sayapun segera mendekati Laura.

“Eh, Laura. Siapa dia namanya?”

“Uh, nama aslinya saya tidak tahu. Kalau nama bagusnya ada di dada,tuh. namanya Si Cemplon…” sahut Laura.

“Yah, tolong dong, carikan nama sebenarnya,” desak saya.

“Beres. nanti saya cari di daftar penerimaan mahasiswa baru. Tapi, traktir saya,ya ?” janji Laura.

“Beres!” saya menjawab senang.

Mata saya tak berkedip melihat cami yang berpakaian ospek itu. Langsing dan semampai. Kulit putih. Sempat matanya memandang saya dan membuat saya terkesiap. Betul-betul tipe cewek yang selama ini saya cari.

“Inilah yang saya namakan cewek dua digit,” saya katakan hal tersebut ke Paul. Paul yang asyik melihat acara ospekpun melihat ke arah saya.

“Maksudnya?” dia ingin tahu.

“Ada sepuluh kriteria cewek ideal saya.Pertama, Islam taat. Kedua, Jawa. Ketiga, Tinggi sekitar 160 cm-165 cm. Keempat, mahasiswi. Kelima, enak diajak bicara. Keenam, cantik. Ketujuh, punya wawasan berpikir yang luas. Kedelapan, jujur. Kesembilan, cerdas dan kesepuluh masih perawan. Sedangkan cewek-cewek  saya sebelumnya cuma bernilai 5 untuk Umi,6 untuk Kamelia,7 untuk Nungkie,8 untuk Frestya dan 9 untuk Anggie. Cuma satu digit. Kalau ini saya nilai 10 atau dua digit.Sempurna…” saya menjelaskan ke Paul sambil menunjuk cami yang bernama bagus Si Cemplon itu.

“Ooo, itu maksudnya. Saya juga mau,tuh…” canda Paul. kami berduapun tertawa.

Siangnya, saat jam istirahat ospek, Laurapun menepati janjinya. saya, Laura, Nungkie dan Paul sehera menuju ke kantin untuk makan siang bersama. Kami duduk dan langsung memesan makanan dan minuman.

“Harry! Cewek itu namanya Monika Sandra.Lulusan SMAN 6 Surabaya. Di Denpasaar dia ikut tantenya….” Laura lantas membacakan data-data Monika, termasuk tanggal lahir dan lain-lain. Semua datanya saya ingat-ingat.

Selesai ospek, Laurapun memanggil Si Cemplon dan diperkenalkan dengan saya. Kesempatan itu saya manfaatkan secara baik-baik. Ternyata, Monika ramah dan cukup cantik. Cantik? Tentu, itu tak perlu diragukan. Ternyata, bicaranya juga banyak. Bahkan tanya saya kuliah di mana, aslinya dari mana dan seterusnya.

“Oh, Mas Harry alumni SMAN 6 Surabaya? Satu alumni dong dengan saya…” begitu kata Monika dengan ceria. Kami berduapun mengobrol tentang SMAN 6 itu, tentang es campur yang enak di seberang sekolah itu dan cerita-cerita tentang Kota Surabaya.

Akhirnya sayapun akan menawarkan untuk mengantarkan pulang.

Sayang, tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekat Monika. Pengemudinya seorang pria berjaket dan berwajah ganteng. Tampang mahasiswa. Entah mahasiswa mana. Monikapun memperkenalkan saya dengan cowok iitu. Saya lupa namanya.

“Saya pulang dulu, Mas Harry…!” pamitnya sambil naik ke boncengan motor. Tak lama kemudian, motor itupun meluncur mengantarkan Monika. Sayapun agak berkecil hati. Hati saya menduga, cowok itu pasti cowoknya. Huh! Sial betul saya ini.

Malam Minggunya saya nekat mendatangi rumah Monika. Saya datang sendiri. Ternyata, sambutan Monika baik sekali. Dan tak lama dari dalam muncul cowok yang dulu menjemput Monika.

“Kenalkan Mas Harry, ini putera tante saya…” sayapun diperkenalkan Monika.

Ternyata Dewi Fortuna berpihak ke saya. Ternyata lancar-lancar saya melakukan pendekatan ke Monika. Tidakada hambatan yang berarti. Apalagi, tantenya juga bersikap ramah terhadap saya.

Perjuangan saya untuk mencari cewek dua digit tak sia-sia. Setelah lima semester, pada semester keenam itu saya berhasil mendapatkan cewek idaman yang memenuhi sepuluh syarat. Yaitu, Islam taat,Jawa,tinggi sekitar 160 cm-165 cm, mahasiswi, enak diajak bicara, cantik, punya wawasan berpikir yang luas, jujur, cerdas dan masih perawan. Mungkin, Tuhan telah memberi jalan bagi saya untuk menemukan jodoh.

Alhamdulillah.

Hariyanto Imadha

Facbooker/Blogger

 

 

 

 

CERPEN: Golput adalah Pilihan Anita

PALEMBANG. Kota ini tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Tapi, saya cukup senang tinggal di kota ini. Sudah tiga tahun saya di kota ini karena dapat tugas kerja sebagai konsultan sebuah proyek. Kantor cabang tempat saya bekerja tidak jauh dari Hotel Sriwijaya.

Karena tiap Sabtu libur, maka sering saya gunakan untuk jalan-jalan. Antara lain ke JM, semacam mal-nya kota Palembang. Sekadar beli baju, celana atau cukup cuci mata saja.

Ketika sedang memilih-milih baju, tanpa sengaja saya melihat cewek bekas teman sekolah sewaktu SMA dulu.

-“Hei, Anita,ya?”. Saya tegur dia. Cewek itu menengok dan melihat saya dengan wajah lupa-lupa ingat. Maklum, sudah 15 tahun tidak bertemu.

-“Siapa,ya?”. Dia malahan bertanya. Akhirnya saya jelaskan kalau dulu saya dan Anita pernah satu kelas di SMA. Akhirnya dia ingat bahkan langsung cerita tentang kenang-kenangan semasa sekolah.

Sesudah saya dan Anita membeli baju, kami berdua menuju restoran khusus ice cream yang tidak jauh lokasinya dari JM. Kami berduapun akhirnya ngobrol ngalor-ngidul. Ceritanya, sudah beberapa tahun Anita berstatus janda tanpa anak karena suaminya meninggal akibat stroke. Sayapun bercerita kalau saya sudah menikah dengan gadis Palembang tetapi belum dikaruniai seorang anakpun.

Bosan bercerita masa lalu, maka pembicaraanpun berubah ke topik politik. Maklum, sejak di SMA kami berdua suka sekali bicara soal politik.

-“Sebentar lagi ada pemilu,nih. Bagamaina kira-kira prospek capres-capres kita?”. Saya mulai membuka pembicaraan.

-“Ya, yang namanya politik ya begitu. Semua ingin menang dengan berbagai cara. Bahkan kalau perlu menghalalkan segala cara”. Anita menimpali.

-“Kalau pemerintahan sekarang bagaimana? Sekarang kehidupan PNS kan lumayan. Gajinya sudah naik rata-rata Rp 2 juta per bulan”. Saya mencoba memancing pendapat.

-“ Ha ha ha…Kalau saya melihat politik sih tidak dari sudut angkanya saja. Tetapi kita harus tahu bagaimana cara mencapai angka itu, apakah angka itu bias atau tidak. Angka itu dimanipulasi atau tidak. Memang sih, gaji PNS rata-rata Rp 2 juta perbulan. Tapi itu kan sebagai konsekuensi naiknya harga BBM hingga 333,33 persen. Coba, kalau BBM dinaikkan lagi sebesar 500 persen, tentu saja gaji PNS bisa naik lagi sekitar Rp 4 juta per bulan. Itu kan trik-trik politik saja”. Begitu analisa Anita. Sebuah analisa yang bagus.

-“Kabarnya, menjelang pemilu nanti pemerintah akan menciptakan tiga juta lapangan kerja”. Saya buka dengan masalah lain.

-“Ya, lagi-lagi soal angka. Tiga juta lowongan itu kerja apa? Kalau kerja srabutan ya mudah. Tapi coba, mampukah pemerintah menciptakan lapangan kerja formal bagi satu juta sarjana yang sekarang menganggur? Tentu tidak bisa.” Anita berargumentasi dengan cukup rasional.

-“Tapi anggaran pendidikan sufdah bagus,kok. Sudah 20 persen sesuai amanat UUD 1945”. Saya memulai masalah lain lagi.

-“ Ya iyalah. Tapi itu dengan resiko APBN membengkak dan defisit bertambah.

Defisit itu akan ditutup dengan cara utang. Utang itu yang membayar rakyat. Jangankan 20 persen. Kalau 40 persen atau 60 persen juga bisa kok. Nanti kekurangannya utang ke World Bank atau ke Jepang atau bikin utang bilateral lainnya. Rakyat kok nanti yang membayar”.

-“Ya, itulah politik. Trik-trik politik. Kebetulan 60 persen pemilih di Indonesia tergolong tidak rasional. Tergolong bodoh. Mereka memilih presiden atas pertimbangan yang tidak rasional. Misalnya, karena capresnya bekas anak presiden, karena capresnya lulusan S-3, karena capresnya dari partai Islam, karena capresnya orang Makassar, dan alasan-alasan bodoh lainnya.”

-“Iya,ya. Lantas bagaimana seharusnya?”. Ganti Anita yang ingin tahu.

-“ Ya, seharusnya kita tahu dulu apa visi, misi dan rencana kerjanya nanti kalau terpilih. Bagaimana cara merealisasikannya. Juga, realistis atau tidak. Di samping itu para capres harus mengikuti tes intelligence quoitient (IQ), emotional quotient (EQ) dan leadership quotient (LQ) dulu supaya kita benar-benar memilih capres yang benar-benar berkualitas”.

-“Kalau menurut saya sih, capres-capres yang ada sekarang ini tidak ada yang berkualitas”. Komentar Anita.

-“Kalau begitu, pemilu mendatang bagaimana?”. Saya ingin tahu.

-“Tetap datang ke TPS. Tapi, tidak ada yang saya pilih. Apalagi untuk calegnya. Tidak ada satupun caleg yang saya kenal. Memilih caleg kalau asal-asalan kan seperti memilih kucing dalam karung”.

-“Jadi, pilih golput?”

-“Ya, iya lah”. Anita menjawab dengan tegas.

-“Wah, kalau begitu, sama dong”. Saya menimpali dengan tertawa.

Seusai minum-minum ice cream, kami berduapun meneruskan perjalanan masing-masing. Pulang ke rumah.

Pikir saya.

-“Iya ya, daripada asal pilih atau salah pilih, lebih baik golput”.

 

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger