CERPEN: Menyesal Tak Kukatakan Cinta

 

BARU saja pertandingan olah raga antar kampus selesai. Laura yang ikut pertandingan voli tampak mengusap keringatnya di dahi. Tampak dia kelelahan. Diapun menuju ke tempat minum di sebelah saya.

“Mau minum, Laura?” Sapa saya.
”Iya…!” Singkat jawabnya. Sambil terus mengusap keringatnya dengan handuk kecil.
“Selamat ya, atas kemenangannya,” sayapun berdiri sambil menyalaminya. Laurapun menyambut uluran tangan saya.
“Terima kasih. Tapi, semua karena kerja tim yang baik.” Laurapun duduk di sebelah saya. Sementara itu pemain-pemain lain yang sudah selesai bermain juga sibuk antri mengambil minuman. Kebetulan, saya merupakan ketua panitia pertandingan antar kampus. Saya mewakili kampus saya, Akademi Bahasa Asing “Metropolitan”.

Tampak suasana kampus ramai sekali. Maklum, di dalam satu halaman ada lima akademi berdiri. Hari itu memang saatnya pertandingan voli. Sedangkan kemarin pertandingan bulu tangkis. Besok pertandingan basket. Tim kampus saya sudah meraih lima kejuaraan.

Laura adalah adik kelas saya. Dia cewek Manado, berkulit putih dan cantik. Terus terang saja saya naksir dia sejak dia mengikuti ospek. Sudah tentu saya mengenalnya secara baik. Laura termasuk mahasiswi tercanik dari lima mahasiswi tercantik lainnya.

Sudah satu tahun saya ngapel ke rumahnya. Tentu malam Minggu. Sedangkan hari Minggu saya tidak penah ke rumahnya karena Laura dan ayah ibunya serta saudara-saudaranya ke gereja. Jadi kalau Minggu, saya suka jalan-jalan sendiri ke mana saja saya suka.

Boleh saja teman-teman mengira saya sudah berpacaran dengan Laura. Bagaimana tidak. Kalau di kampus, di mana ada Laura, di situ pasti ada saya. Meskipun demikian, tak jarang mahasiswa dari kampus lain mencoba mendekati Laura. Bahkan kadang-kadang mereka malam Minggupun mereka datang ke rumah Laura. Tetapi karena tiap malam Minggu saya selalu di rumah Laura, maka satu persatu cowok-cowok itupun akhirnya mengundurkan diri.

Walaupun sudah satu tahun saya bersahabat dengan Laura, namun saya belum pernah mengajaknya jalan bersama. Misalnya, nonton bioskop bersama, ke kafe bersama, jalan-jalan bersama atau ke mana saja bersama. Padahal, saya saat itu punya mobil pribadi. Persolannya adalah kedua orang tuanya agak galak. Saya dan Laura hanya boleh ngobrol-ngobrol di kamar tamu rumahnya saja. Atau paling-paling saat pulang kuliah saya bisa mengantarkan Laura pulang ke rumahnya.

“Bagaimana? Sudah kamu nyatakan cinta?” Tanya Ruddy, sahabat baik saya yang suka melucu. Tentu, dia tahu benar sejauh mana hubungan saya dengan Laura.
”Belum…” Singkat jawab saya.
”Kenapa, sih? Nggak berani, ya? Padahal sebelumnya kamu sudah ganti-ganti pacar…”
“Iya, Rud. Tapi, kali ini saya ragu-ragu. Soalnya saya beragama Islam. Sedangkan Laura beragama Kristen”.
“Kan bisa menikah di kantor catatan sipil.”
”Justru itu yang saya tidak mau. Saya maunya Laura pindah ke agama Islam. Tetapi, itu tidak mungkin terjadi.” Saya mengeluh.
”Kenapa tidak mungkin?”
“Ya tak mungkinlah. Laura dan keluarganya fanatik dengan agamanya.”
”Lha, kamu maunya maju atau mundur?” Sergah Ruddy.
“Serius, sih”
“Kalau serius, tanya dong ke Laura. Mau nggak pindah ke agama Islam”.

Sampai di situ pembicaraan saya dengan Ruddy, karena Lisda mendatangi saya.
”Mas Harry. Laporan nih, bola volinya rusak satu, nih. Kena paku….” Katanya sambil menunjukkan bola voli yang terkena paku. Lisda adalah salah satu pemain voli satu tim dengan Laura.
”Oh, ya. Taruh saja di ruang senat…”. Ujar saya. Kebetulan, saat itu saya menjadi sekretaris senat mahasiswa. Laurapun meninggalkan saya.
”Bagaimana kalau Lisda saja? Dia juga cewek Jawa. Juga beragama Islam. Dia orangnya juga baik dan enak diajak bicara. Cantik lagi”.

Salah saya. Waktu itu saya termakan ucapan Ruddy. Saya pikir, daripada repot-repot bersahabat dengan Laura yang berbeda agama dan suku, leih baik melakukan pendekatan ke Lisda. Dan itu benar-benar saya lakukan.

Malam Minggu berikutnya saya datang ke rumah Lisda di kawasan Bintaro. Kedua orang tuanya sangat baik menyambut saya. Ramah. Bahkan kadang-kadang ikut nimbrung ngobrol dan bercanda. Tertawa bersama-sama. Bahkan, Lisda yang pandai bermain gitar dan juga pandai bernyanyi, kadang-kadang mengajak saya juga bernyanyi. Bahkan timbul ide mengarang lagu sendiri.

“Rasa-rasanya saya lebih cocok dengan Lisda, Rud,” suatu hari saya bicara dengan Ruddy sebelum kuliah dimulai.
”Ya, iyalah. Saya kan tahu betul siapa Lisda itu. Dulu saya bertetangga dengan dia di Bntaro. Kemudian ayah dan bu saya pindah ke Jl. RS Fatmawati. Jadi, saya kenal betul perilaku, Lisda.” Begitulah Ruddy meyakinkan saya.

Sayapun, tiap malam Minggu tak lagi ke rumah Laura, tetapi ke rumah Lisda. Memang saya akui, Lisda juga cantik. Tidak kalah cantiknya dengan Laura. Tetapi, rasa-rasanya ada satu perasaan yang berbeda. Dengan Lisda, saya punya rasa suka. Tetapi terhadap Laura, saya punya rasa cinta. Tak heran, saya dilanda kebimbangan antara Laura dan Lisda. Siapa yang harus saya pilih? Padahal, sebagai mahasiswa, saya harus punya pacar tetap. Tidak perlu ganti-gant lagi seperti ketika saya masih SMA.

Waktu terus bejalan. Hubngan saya dengan Lisda semakin akrab. Bahkan, kedua orangtuanya tak pernah melarang jika saya mengajak Lisda jalan-jalan, nonton bioskop bersama, ke kafe bersama. Bahkan ketika ada acara berkemah di Jawa Baratpun kedua orangtuanya tidak melarang. Kelihatan kedua orangtuanya sangat demokratis.

Setahun kemudian, Ruddy memberi informasi kalau Laura sudah ada yang mendekati. Seorang mahasiswa yang sedang kuliah di Universitas Atmajaya. Mahasiswa fakultas kedokteran. Saat itu hati saya terasa tersentak. Entah kenapa, saya merasa cemburu mendengar informasi itu.

Malam Minggu berikutnya saya mencoba mencek kebenaran nformasi itu. Saya datangi rumah Laura. Ternyata benar. Sudah ada seorang cowok yang ternyata benar mahasiswa dari Unversitas Atmajaya. Saya tidak lama-lama, Terus pamit dan meluncur ke rumah Lisda. Sepanjang perjalanan hati saya panas. Saya benar-benar cemburu. Saya baru merasakan bahwa saya sesungguhnya sangat mencintai Laura. Sedangkan terhadap Lisda cuma rasa suka saja.

Dan selanjutnya. Dalam kegalauan, selama berbulan-bulan saya disibukkan menyusun skripsi. Tak sempat lagi ke rumah Laura maupun Lisda. Bahkan saya berubah menjadi pendiam. Saya menjadi serba salah. Ingin kembali ke Laura, ternyata sudah ada cowok lain. Ingin serius dengan Lisda, tetapi saya tidak mencintainya.

Tanpa terasa. Malam wisudapun tiba. Tak terasa, telah tiga tahun saya kuliah di Akademi Bahasa Asing Metropolitan. Malam itu, kedua orang tua saya yang di Jawa Timur tak bisa datang. Bahkan saudara-saudara saya yang ada di Jakarta juga tidak hadir karena ada acara sendiri-sendiri.

Usai wisuda, sayapun berfoto dengan teman-teman seangkatan yang juga diwisuda. Terutama dengan Ruddy. Tiba-tiba Laura dan Lisda datang mengucapkan selamat atas lulusnya saya dari akademi itu. Kemudian juga berfoto bersama saya Namun yang mengejutkan adalah, mereka berdua juga menyampaikan dua buah amplop yang rasa-rasanya bukan surat cinta. Sesudah mereka berdua meninggalkan saya, maka saya didampngi Ruddy membuka kedua amplop itu.

“Apa, Harry?” Tanya Ruddy.
“Undangan pernikahan Laura dan Lisda, masing-masing akan menikah…” jawab saya setelah membuka kedua amplop itu.
”Yah, mungkin bukan jodohmu, Harry. Sabar sajalah. Masih banyak cewek lain yang cantik…” Ruddy memberi semangat.

Beberapa minggu kemudian, saya mendapat kabar dari Ruddy, bahwa Laura telah pindah agama. Dari Kristen masuk Islam. Sebuah berita yang sangat mengejutkan. Bagaimana tidak? Keluarga Laura adalah keluarga yang sangat fanatik pergi ke gereja.

“Huh…Saya menyesal. Kenapa dulu saya tak mempunyai keberanian untuk menyatakan cinta kepada Laura? Kenapa saya tak mempunyai keberanian untuk mengajak Laura untuk pindah ke agama Islam dan menikah dengan saya secara Islam?” Saya menyesal. Tetapi, penyesalan yang tidak ada gunanya lagi.

Hariyanto Imadha
Facebooker & Blogger

Semua komentar otomatis akan dihapus