CERPEN: Misteri Kali Alfamart di BSD Nusaloka

SUDAH empat mobil terjerumus di depan mini market Alfamart belakang kantor pos, yang ada di BSD Nusaloka, BSD City,Tangerang Selatan. Padahal situasi di situ wajar-wajar saja. Antara jalan aspal dan kali juga ada beton pembatas. Semua pengemudinya juga sudah berpengalaman mengemudi minimal lima tahun. Kenapa bisa terjadi kecelakaan seperti itu dan mengakibatkan pengemudi dan penumpangnya luka parah?

Suatu saat ketika saya naik ojek dan melewati Alfamart tersebut, maka sayapun mulai mengorek informasi.

“Katanya sudah empat kali masuk kali ya, Bang?” tanya saya

“Oh, ya. Semua pengemudinya luka parah,” jawabnya sambil terus mengemudikan motornya. Saya membonceng di belakangnya.

“Memangnya, dulunya di situ merupakan daerah apa?”

“Kalau Tangerang Selatan, dulu merupakan hutan karet. Dan sekitar Alfamart dulu merupakan persawahan”

“Tidak ada perumahan penduduk?”

“Ada,sih. Jumlahnya sekitar ratusan rumah”

“Tidak ada tempat pemakaman umum?”

“Ada sih. Tapi ketika pembangunan BSD City dimulai, semua makam dipindahkan. Cuma, saat itu ada yang aneh”

Mendengar kata “aneh”, saya mulai penasaran.

“Anehnya di mana, Bang?” saya terus bertanya.

“Ya, ada salah satu makam tiba-tiba hilang tanpa bekas, Pak” katanya kepada saya.

“Tahu namanya, makam siapa?”

“Kalau nggak salah, namanya Ranggi”

“Siapa itu?” saya semakin penasaran.

“Dulu, cerita orang-orang, Ranggi itu saudara kembar Rangga. Keduanya laki-laki”

“Siapa mereka?”

“Mereka anak dari petani bernama Danu Rengga”

“Siapa Danu Rengga?”

“Dia seorang petani, juga punya hobi memelihara kuda.”

“Bagaimana kehidupan Danu Rengga, Rangga dan Ranggi?”

“Sebelum ibunya meninggal, mereka akur-akur saja. Tapi setelah ibunya meninggal, mereka kelihatannya kehilangan kasih sayang dan suka bertengkar”

“Bertengkar soal apa saja?”

“Kata ayah saya, mereka bertengkar saat orangtuanya beli satu kuda lagi. Jadi total ada dua kuda. Satu khusus untuk ayahnya. Satu lagi untuk Rangga dan Ranggi. Masalahnya, mereka berdua sering rebutan untuk menunggang kuda itu”

“Terus?”

“Ya, suatu saat mereka berkelahi hebat. Hari pertama mereka masih berkelahi tangan kosong. Hari kedua, mereka berkelahi menggunakan golok.”

“Oh, ada yang tewas?”

“Itulah. Ranggi kalah dan lehernya kena tebas golok”

“Terus? Bagimana?”

“Menurut ayah saya yang kebtulan menyaksikan kejadian itu, sebelum Ranggi menghembuskan nafasnya yang terakhir, sempat bersumpah”

“Bagaimana sumpahnya?”

“Ranggi bersumpah. Jika Rangga atau siapapun yang melewati tempat dia meninggal, akan dibikin celaka. Sesudah itu Ranggi menghembuskan nafasnya yang terakhir”

“Di mana lokasi Ranggi meninggal?”

“Ya, di kali tepat di depan mini market Alfamart itu”

“Oh, mungkinkah kecelakaan-kecelakaan itu ada hubungannya dengan sumpah Ranggi?”

“Wah, saya bukan paranormal,Pak. Saya kurang tahu. Yang pasti, jalan di depan Alfamart itu memang sangat rawan dan sudah empat kali ini ada mobil tercebur ke kali”

“Oh,ya. Dulu, ketika makam Ranggi tiba-tiba menghilang tanpa bekas, apakah tidak ada usaha-usaha supranatural untuk menemukannya kembali?”

“Usaha sih ada. Tapi hasilnya tidak ada. Nol semuanya. Sampai hari ini, di mana makam Ranggi, tidak ada yang tahu. Namun, sebenarnya juga ada cerita lain zaman dulu”

“Apa itu?”

“Dulu, di kali itu, ada sumur. Namanya Sumur Gobak. Entah kenapa dinamakan Gobak dan apa artinya Gobak, saya tidak tahu”

“Ada apa dengan sumur Gobak?”

“Dulu, sumur itu digunakan untuk bunuh diri seorang pemuda yyang patah hati. namanya Randu Dan sejak itu, air sumur itu tidak boleh diminum”

“Ada keanehannya?”

“Ada. Tiap malam Jum’at, ada suara-suara yang mengancam. Kalau ada perawan lewat di dekat Sumur Gobak itu, apalagi naik delman, akan dibuat celaka.”

“Oh, begitu? Kalau begitu, kira-kira kecelakaan mobil itu akibat ulah Ranggi atau Randu?”

“Hahaha…Saya kan bukan paranormal, Pak. Mungkin Ranggi dan Randu bersatu dan bersama-sama membalas dendam”

“Apakah jenasah Randu sudah dimakamkan secara baik-baik saat itu?”

“Nah itu dia,Pak. Sekitar 40 hari dimakamkan, tiba-tiba, makamnya hilang tanpa bekas”

“Oh, sama dengan kasus hilangnya makam Ranggi?”

“Begitulah, Pak”

Sayang, tanya jawab terpaksa berhenti karena saya telah sampai di rumah saya di Jl. Bintan 2 Blok S1/11, BSD Nusaloka Sektora XIV-5, BSD City, Tangerang Selatan.

Catatan:

Cerpen ini merupakan cerita fiiktif.

Sumber foto: antarafoto.com

Hariyanto Imadha

Penulis cerpen

Sejak 1973

CERPEN: Ongkek’ane Roen…!

FACEBOOK-CerpenOngkekaneRoen

BOJONEGORO sekitar 1965. Seperti biasa, pagi-pagi saya berangkat sekolah. Saat itu kelas enam SR atau SD. Rumah saya di Jl.Trunojoyo No.4 yang sekarang dipakai sebagai Kantor Pelayanan Pajak, sekitar 300 meter Utara kantor pos. Berangkat lewat halaman belakang. Tembus Jl. Diponegoro, depan rumah Gandhi (nama di Facebook: Dhitos Mbombok). sampai perempatan “bangjo” ke kiri, Jl. Teuku Umar.

Tepat di pertigaan Jl.RA Kartini-Jl.Teuku Umar, sebelah barat Gedung PAKRI, ada penjual es serut. namanya Pak Roen. Kalau pagi sudah buka tetapi masih sepi. Tapi kadang-kadang kalau lagi malas, tidak jualan. Kata teman Facebook saya, Koes Haryono, dulu Pak Roen sering tidur-tiduran di empernya Toko Bata, toko sepatu. Sering membawa foto ada bingkainya. Foto isterinya yang sudah meninggal dunia. Sejak isterinya meninggal, Pak Roen memang agak gemblung (setengah sakit jiwa). Itulah, sekila tentang Pak Roen, laki-laki paruh baya.

Saya terus menyusuri Jl.Teuku Umar, belok kanan ke Jl.Dr.Wahidin menuju ke sekolah. Dulu, sekolah saya namanya SDN 3 Kepatihan 1. Saya masih ingat, guru yang mengajari saya belajar membaca dan menulis namanya Bu Nanik. Rumahnya di Jl. Tri Tunggal, Karang Pacar. Guru lainnya, Bu tatik dan Pak Ridwan. Sewaktu kelas 4, saya pernah ditawari kepala sekolah supaya langsung ke kelas 6, tanpa duduk dibangku kelas 5. Soalnya, nilai rapot saya rata-rata nilainya 10. Sayang, saya orangnya terlalu jujur, saya tidak mau.

Yang tidak bisa saya lupakan yaitu, tiap jam istirahat, saya dapat tugas sukarela, yaitu menjual goreng-gorengan. Kalau laku tiap lima goreng-gorengan, saya dapat bonus sayu goreng-gorengan. Saya tawarkan ke kelas 1 hingga kelas 6. Laku 25 goreng-gorengan. Dapat bonus lima goreng-gorengan. Wah, senang sekali. Tidak tiap hari sih, tetapi diganti teman lainnya secara sukarela. Tujuannya, mendidik pelajar untuk mencari uang sendiri.Para pelajar juga diajari berkebun di halaman kgusus kebun. Antara lain diajari cara menanam jagung, ubi, singkong dan lain-lain. Saat panen, para pelajarpun menikmatinya. makan-makan jagung bakar atau ubi bakar. Tujuannya, supaya para pelajar kelas 1 hingga kelas 6 bisa saling mengenal. Kenangan yang tidak akan terlupakan.

Pulang sekolah, melewati jalan yang sama. Yaitu, jalan Dr.Wahidin, belok kiri Jl. Teuku Umar. Tepat di depan warung es Pak Roen, saya lihat banyak orang berkerumun.

“Ada apa, ya?” pikir saya ingin tahu. Sayapun menyeberang jalan menuju ke warung itu. Saya melihat Pak Roen mukanya babak belur. Dan di dalam rumahnya yang sederhana, ada cewek TK sedang menangis.

“Bawa ke kantor polisi!” kata seorang warga. Saya masih belum faham apa yang telah terjadi.

“Laki-laki bejat…!” ujar yang lainnya lagi. Beberapa warga kemudian menggiring Pak Roen ke kantor polisi. Sedangkan beberapa orang ibu-ibu membawa cewek TK itu ke rumah sakit dekat sekolah saya.

“Ada apa, ya?” saya masih saja bengong. Akhirnya, saya terpaksa memberanikan tanya ke seorang bapak. Tapi justru saya dibentak. Katanya, saya anak kecil. Tidak boleh tahu. Agak tersinggung juga saya. Tapi saya diam saja.

Hasil dari nguping pembicaraan para warga yang hadir, maka saya bisa merangkaikan peristiwa itu. Kabarnya, sejak Pak Roen ditinggal isterinya yang meninggal, Pak Roen mengalami stres. Sering kemana-mana membawa foto isterinya yang diberi bingkai. Sering tidur-tiduran di depan toko sepatu Bata mengenang masa lalunya yang indah. Maklum, isterinya dulu bekerja di toko sepatu itu dan Pak Roen mengenal isterinya yang bernama Darmi di toko sepatu itu. Tapi kalau dalam keadaan normal, Pak Roen berjualan es serut atau es campur.

Sebagai penjual es serut, cukup laris. rasanya enak dan harganyapun murah. Apalagi benar-benar menggunakan air kelapa muda dan juga memanfaatkan kelapa mudanya yang benar-benar empuk. Pelanggannya cukup banyak. Tak heran kalau nama Pak Roen yang katanya merupakan kependekan dari kata Haroen, terkenal ke seluruh kota Bojonegoro.

Kabarnya, siang tadi, Pak Roen sedang melayani  Rani, cewek TK yang membeli es serutnya. Sebetulnya Rani anak yang berani. Berangkat sekolah dan pulang sekolah sendiri. Dan pulang sekolah mampir ke warung es Pak Roen.

Rani memang cewek cantik. Mungkin Pak Roen tertarik dengan kecantikan Rani. Kebetulan saat itu warung agak sepi. Pak Roenpun mengajak Rani masuk ke rumahnya yang sangat sederhana. Katanya, dia punya permen dan cokelat banyak. Tentu, Rani yang masih lugu, setelah menghabiskan segelas es, mau saja diajak masuk ke rumah Pak Roen. Pak Roenpun menutup pintu rumahnya.

Di luar, datang tiga calon pembeli. Bapa-bapak muda. Mau membeli es, tapi kok masih sepi. Mereka bertiga duduk-duduk sambil menunggu. Mengira Pak Roen sedang membeli es balok di Mbombok. Biasanya memang begitu.

Tiba-tiba ketiga bapak itu mendengar suara cewek kecil menangis keras. Menangis kesakitan. Karena curiga, ketiga bapak muda itupun mencoba mengintip ke dalam rumah Pak Roen, melalui lubang kecil yang ada. Betapa terkejutnya ketiga bapak muda itu.

“Kurang ajar! Kita dobrak saja pintunya…!” serentak ketiga bapak muda itu mendobrak pintu. Begitu terbuka, mereka bertiga melihat Pak Roen sedang menggagahi Rani di mana tangan kirinya membekap mulut Rani. pak Roen terkejut dan langsung cepat-cepat memakai celananya. Ketga bapak itupun menghajar habis-habisan. Muka Pak Roenpun babak belur.

Dalam tempo sekejap, waring es Pak Roen penuh dengan orang. Salah seorang dari ketiga bapak itupun bercerita. Untuk istilah “hubungan intim”, bapak itu menggunakan istilah “ongkek”. Ongkek itu artinya memasukkan benda ke dalam sebuah lobang kemudian digerak-gerakkan. Orang-orangpun tertawa mendengar kata “ongkek” itu. Salah seorang nyeletuk “Ongkek’ane Roen” disambut tertawa orang-orang lain. Sejak itulah, kalimat “Ongkek’ane Roen” menjadi terkenal. Bahkan beberapa hari setelah Pak Roen bebas dari penjara, orang-orang sering meledeknya dengan ledekan “Ongkek’ane Roen. Biasanya Pak Roen marah dan akan mengejar siapa saja yang meledeknya.

Bagaimana nasib Rani? Tak seorangpun tahu. Andaikan Rani masih ada, mungkin sekarang masih hidup. Paling tidak sekarang mungkin berusia sekitar 50 tahun. Eh, siapa tahu juga punya akun di Facebook. Yang pasti, Rani sebagai korban “Ongkek’ane Roen” pasti mengalami trauma berkepanjangan.

Kasus-kasus “Ongkek’ane Roen” tidak terbatas pada kasus pemekosaan saja. Persoalankumpul kebopun menggunakan istilah “Ongkek’ane Roen”. bahkan kalau ada cowok berhasil memperawani pacarnyapun akan bilang “Saya berhasil Ongkek’ane Roen cewek saya…”. Artinya, istilah atau kalimat itu juga digunakan untuk hubungan intim sukarela.

Apa yang dilakukan Ahmad Fathonah terhadap Maharani juga bisa digolongnkan sebagai perbuatan “Ongkek’ane Roen” atau “Ongkek’ane Fathanah”. Mharani itu baru yang ketahuan. Tentunya masih banyak cewek yang diongkek sama Ahmad Fathanah.

Kembali ke warung es Pak Roen. Setelah saya berhasil mengumpulkan informasi dan merangkai cerita, maka sayapun mulai mengerti apa yang telah terjadi siang itu di warung es Pak Roen. Sesudah itu, sayapun melangkah menuju pulang ke rumah.

“Ongkek’ane,Roen…” kata-kata itu masih terngiang-ngiang di pikiran saya.

Catatan:

Cerpen ini berdasarkan kejadian yang sesungguhnya tetapi sudah dimodifikasi. Yang pasti, inti ceritanya yaitu Pak Roen telah “memperkosa” cewek kecil. Penulis mengharapkan masukan-masukan yang bersifat melengkapi ataupun mengoreksi cerpen ini agar di kemudian hari bisa disempurnakan lagi.

CERPEN: Ketika Sapi Berpeci dan Berjenggot

FACEBOOK-CerpenKetikaSapiBerpeciDanBerjenggot

JAKARTA 2013. Siang itu saya sedang menunggu bus TransBSD di halte depan Ratu Plasa.

“Harry…!” tiba-tiba ada yang memanggil seseorang dari jendela mobil yang baru saja berhenti di depan halte. Saya tengok kanan-kiri, siapa tahu bukan saya yang dipanggil. Lagipula, kelihatannya saya tidak kenal dengan yang memanggil saya.

“Harry…!” sekali lagi, orang itu memanggil. Karena saya diam saja, orang yang di dalam mobilpun membuka pintu, turun dan mendekati saya. Sayapun terkejut. Ternyata dia Gunawan, dulu teamn satu kampus yang sudah puluhan tahun tidak bertemu.

“Oh! Gunawan, ya?” saya bediri dan langsung menyalaminya. Akhirnya kamipun ngobrol ke sana ke mari.

“Oh, ya. Bisnis apa kamu sekarang?” saya tanya ke Gunawan.

“Bisnis sapi. Di Bogor. Saya punya 100 sapi. Punya peternakan. Dekat Sentul City…” Gunawan menjawab.

Singkat cerita, karena hari Minggu itu saya tidak punya acara, sayapun diajak Gunawan ke peternakannya di Kabupaten Bogor.

Sampai di peternakannya, langsung saya diajak jalan-jalan melihat satu persatu sapi yang dipeliharanya. Cukup banyak. Kira-kira sekitar 100 ekor sapi. Entah jenis sapi apa, saya tidak tahu. Saya juga merasa tidak perlu tanya.

Sampai akhirnya saya melihat kandang sapi agak kecil dan isinya hanya tiga ekor. Anehnya, ketiga sapi itu berpeci dan berjenggot.

“Kok, kamu punya sapi aneh, sih?” tentu saya bertanya ke Gunawan. Gunawan tertawa.

“Jaman sekarang memang banyak yang aneh. Ceritanya, saya dulu pernah bermimpi didatangi orang tua berpakaian serba putih. Katanya, kalau bisnis sapi atau bisnis daging sapi saya ingin lancar, maka saya saya harus memberi peci putih kepada tiga ekor sapi yang berjenggot. Begitu bangun tidur, saya langsung mencari tiga ekor sapi berjenggot. Ternyata benar-benar ada. Sungguh, saya hampir tidak percaya…” cerita Gunawan lancar sekali dan terkesan ceritanya memang serius.

Sayapun memandangi ketiga sapi berpeci dan berjenggot itu dengan serius.

“Yang ini, namanya Tifagami,” Gunawan menunjuk sapi yang pertama. “Yang ini, namanya Lutfigami,” menunjuk sapi kedua,” Dan yang ketiga namanya Anisgami,” sabil menunjukk sapi ketiga,” Semuanya sapi jantan” Gunawan mengakhiri kalimatnya.

“Kok ada kata gami. Memangnya ada hubungannya dengan poligami?” saya bercanda. Tapi ternyata benar.
“Betul. Ketiga sapi ini memang suka berpoligami. Ketiganya pejantan sejati. Kebetulan semua sapi saya adalah sapi yang dagingnya enak dimakan. Tiga pejantan ini cepat sekali menghamili sapi-sapi betina sehingga dalam waktu singkat sapi-sapi saya banyak yang beranak,” Gunawan menjelaskan. Saya hanya mengangguk-angguk.

Saya tetap merasa aneh. Kok ada sapi punya jenggot. Apalagi dipakaikan peci putih. Gejala apa ini? Isyarat jaman apa ini? Apakah ini merupakan isyarat jaman edan seperti yang pernah diramalkan Jayabaya atau Ronggowarsito? Bukankah pernah diramalkan pada jaman edan agama hanya akan merupakan simbol? Banyak orang rajin beribadah, tetapi suka sekali berpoligami. Bukan poligami demi kemanusiaan tetapi poligami demi syahwat berkedok agama.

“Kok, melamun, Harry. Memangnya ada apa?” Gunawan menyadarkan saya dari lamunan.

“Saya benar-benar heran. Kok ada sapi punya jenggot. Pertanda jaman apa ini?”

“Betul. Itu pertanda jaman edan banyak orang menjadi edan. Agama, terutama agama Islam, hanya dijadikan kedok saja. banyak orang merasa suci, membesar-besarkan dan membangga-banggakan agama Islam, tapi ternyata dia seorang yang doyan main perempuan, doyan politik dan doyan korupsi…” Gunawanpun jujur menafsirkan keanehan sapi berjenggot itu.

” Ya,ya, ya. Poligami jaman sekarang memang berbeda dengan jamannya nabi Muhammad SAW. kalau jamannya Nabi, beliau berpoligami karena atas dasar kemanusiaan. Kalau poligami di Indonesia atas dasar syahwat. Atas dasar nafsu berahi, buktinya yang dipilih wanita-wanita yang seksi, montok dan semok. Kenapa kok tidak menikahi janda-janda tua banyak anaknya dan miskin?” sayapun berpendapat. Gunawan mengangguk-angguk.

Saya terus menatap ketiga wajah sapi yang berpeci dan berjenggot itu. Jenggot, kebanyakan merupakan simbol laki-laki Arab Saudi atau laki-laki Timur Tengah. Artinya, budaya poligami berdasar syahwat sebenarnya datang dari negara-neagara Arab. Di negara-negara tersebut para pemimpinnya suka hidup foya-foya, bermewah-mewah, suka doyan main perempuan dan berpoligami. Sedangkan sapi berpeci melambangkan agama terutama agama Islam yang cuma dijadikan kedok saja. hanya untuk menutupi perbuatan busuknya. hanya supaya dianggap bersih dan suci. Padahal, sok suci.

“Terus, kenapa Gunawan memberi nama ketiga sapinya dengan nama Tifagami, Lutfigami dan Anisgami?” saya masih penasaran.

“Singkat saja. Itu sesuai petunjuk orang tua berbaju serba putih di dalam mimpi saya”.

“Ada artinya?”

“Hmmm, kurang tahu. Mungkin suatu saat nanti ada tiga orang dengan nama-naama mirip itu akan menjadi terkenal karena kasus-kasus poligaminya…”

“Masuk akal…” saya menjawab singkat.

Gunawan kemudian terus mengajak saya putar-putar di peternakannya. Kemudian melihat karyawan-karyawannya yang sibuk memerah sapi.

“Wah, sapinya montok-montok, ya? Payudaranya besar, padat dan sintal…” komentar saya.

“Ya, sapi-sapi betina yang payudaranya besarlah yang disukai Tifagami, Lutfigami dan Anisgami…”

Saya cuma bisa mengangguk-angguk.

“Kok, seperti manusia, ya?” gumam saya.

“Ya, manusia dan binatang kan sama-sama punya nafsu seks, sama-sama punya syahwat, sama-sama punya birahi…”

“Kalau berpoligami, berarti banyak uangnya, dong. Memangnya dapat uang dari mana? “

“Kalau orang politik sih, biasanya dari korupsi. Kalau dari usaha tidak mungkin langsung untung bermilyar-milyar rupiah. Orang-orang politik yang berpoligami rata-rata punya rumah mewah, mobil mewah dan uangnya di bank banyak sekali. Hidupnya berfoya-foya dan bermewah-mewah…” celoteh saya.

“Ya, mungkin mau mencontoh budaya Arab” kata Gunawan.

“Wah, kalau orang Indonesia semakin banyak yang meniru budaya Arab, lama-lama Pancasila nanti bisa diganti Syariat Islam, nih. Indonesia bisa jadi negeri khilafah…”

“Ha ha ha…! Negeri khilafah? Nabi Muhammad SAW saja nggak pernah mendirikan negeri khilafah. Itu kan khayalan politisi-politisi yang tidak faham Pancasila. Pancasila itu harga mati. Sampai kiamat Qubro, Indonesia nggak bakalan jadi negeri khilafah, Harry…Percayalah…!” Gunawan mencoba meyakinkan.

“Ya, saya sangat percaya. TNI dan polri tidak akan berdiam diri jika ada usaha-usaha untuk mengganti Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI,” jawab saya serius.

Sayapun terus melihat sapi-sapi yang sedang diperah susunya.

“Oh, ya. Sapi betina itu namanya Mahagami, Vitagami dan Darigami,” ujar Gunawan.

“Apalagi tuh artinya?”

“Artinya, ketiga sapi betina itu merupakan sapi yang montok dan semok. Disukai sapi-sapi jantan macam sapi yang berpeci dan berjenggot tadi.Ketiga sapi betina itu sangat disukai sapi jantan bernama Ahmagami, suka main sapi betina yang montok dan semok.”

“Ooo, ya,ya,ya…Saya faham…”

Sore harinya, sayapun diantarkan Gunawan pulang ke rumah saya di BSD City, Tangerang Selatan. Dan sepanjang perjalanan saya mengambil kesimpulan bahwa, sapi berpeci dan berjenggot adalah merupakan pertanda jaman, bahwa agama, terutama agama Islam banyak yang menyalahgunakan sebagai kedok saja untuk menutupi aibnya. Juga ada hikmah bahwa, kalau kita menilai orang tidak dari predikat ulamanya, dari predikat ustadznya, dari rajin ibadahnya, dari gelar hajinya, dari pecinya, dari jenggotnya, tetapi dari perilakunya.

“Hati-hati dengan politisi atau orang-orang yang berniat mengganti Pancasila dengan sistem khilafah, Harry. Mereka adalah anthek-antheknya pemimpin-pemimpin Arab. Sebab, kalau Indonesia jadi negeri khilafah, para pemimpinnya huga akan hidup foya-foya, bermewah-mewah dan suka main perempuan seperti para pemimpin di negara-negara Timur Tengah. Hati-hati kalau memilih parpol yang berkedok agama Islam…” Gunawan menasehati saya.

Akhirnya sayapun tiba di rumah dan Gunawanpun meneruskan perjalanannya ke rumahnya di kawasan Permata Hijau, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Adzan Maghribpun berkumandang.

Sumber foto: caricarainfo.blogspot.com

—ooOoo—

CERPEN: Darin-ku Montok Darin-ku Semok

FACEBOOK-CerpenDarinkuMontokDarinkuSemok

JAKARTA 1980. Saat itu saya telah menyelesaikan semester terakhir di sebuah akademi komputer di Jakarta dan sedang menyusun skripsi dalam rangka ujian akhir atau ujian komprehensif. Kebetulan saya, Rudy Rayadi, Armi Helena dan Inggah Silanawati, teman-teman seangkatan dipercaya oleh pihak yayasan atau pihak akademi  untuk menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru.

Saat itu hari ke sepuluh bertugas sebagai panitia. Tersedia empat meja di teras kampus bagian depan. Targetnya hanya menerima 120 mahasiswa atau untuk tiga kelas saja. Tiap hari selalu ada calon mahasiswa yang datang, sebagian baru meminta informasi dan meminta brosur, namun sebagian lagi ada yang langsung mendaftar. Saat itu saya sedang sibuk merapikan formulir-formulir pedaftaran yang telah masuk beberapa hari sebelumnya.

“Maaf, Mas. Di sini tempat pendaftaran mahasiswa baru?” tiba-tiba saya dikejutkan sapaan dari arah depan saya. Saya lihat, ada cewek di depan saya. Agak gagap sedikit saya persilahkan cewek itu duduk. Sekilas saya lihat cewek itu cantik sekali. Sebagai cowok yang normal, tentu saya mengagumi cewek di depan saya itu. Namun, saya tetap harus melayani semua pertanyaan cewek itu tentang akademi kmputer tempat saya kuliah.

“Kalau serius, silahkan mengisi formulir pendaftaran,” saya menawarkan formulir sekaligus mempromosikan bahwa semua lulusan akademi komputer tempat saya kuliah, tidak ada yang menjadi pengangguran. Ternyata, cewek itu serius ingin mendaftar. Diapun mulai mengisi formulir pendaftaran sambil sesekali bertanya.

Nah, saat cewek itu mengisi formulir pendaftaran, sayapun memperhatikannya dengan cermat. Rambutnya pendek, bulu matanya lentik, bibirnya mungil, tubuhnya putih, langsing, dan…aduhai, payudaranya cukup montok dan tubuhnya cukup semok. Sebagai cowok normalpun saya merasa benar-benar kagum melihatnya. Tak lama kemudian cewek itu selesai mengisi formulir dan melampirkan semua persyaratan termasuk fotokopi surat kelulusan SMA, KTP, fotokopi lainnya dan tiga buah pasfoto berwarna ukuran 3 cm X 4 cm. Kemudian menyerahkannya ke saya.

“Lengkap. Jangan lupa, Senin depan mengikuti tes atau seleksi masuk…,” ucap saya ke cewek itu. Cewek itu mengangguk, berdiri, kemudian menyalami saya.

“Insya Allah, saya Senin akan datang,” katanya. Telapak tangannya yang saya pegang terasa halus sekali. Bergetar hati saya melihat cewek secantik itu. Sekilas mirip artis Nia Daniati. Diapun kemudian meninggalkan tempat pendaftaran. Saya hanya bisa memandanginya dengan rasa kagum. Rudy, Armi dan Inggah-pun ramai-ramai menggoda saya dan mengatakan cewek itu cocok jadi pacar saya. Saya cuma tersenyum kecut.

Sayapun melihat formulir pendaftaran cewek itu. Ternyata dia bernama Darin Syahwati berasal dari Kota Cirebon. Alamatnyapun saya catat. Kemudian, saya disibukkan oleh calon-calon mahasiswa lainnya yang sudah antri untuk saya layani.

Senin berikutnya, tes atau seleksi masukpun diadakan. Memerlukan enam kelas. Panitia pengawasnyapun cukup banyak. Sayapun mencari Darin. dari kelas ke kelas lainnya saya masuki. Saya perhatikan satu persatu wajah cewek-cewek peserta tes. Namun kenyataannya, Darin tidak ada. Benar-benar tidak ada. Bahkan sampai tes selesaipun Darin tidak ada. Tentu, saya kecewa berat.

Akhirnya, tepat Minggu pagi, sayapun menuju ke Cirebon naik bus. Lima jam kemudian tiba di terminal Cirebon. Langsung naik becak menuju alamat rumah Darin. Ternyata, sebuah rumah bertingkat yang cukup mewah. Sesudah membayar becak, sayapun mengetuk pintu rumah itu. Muncul seorang tante. Sayapun memperkenalkan diri dan menanyakan Darin. Katanya, Darin sedang ke salah satu kampus di Cirebon.

“Tunggu sebentar, deh. Katanya sebentar,kok. Cuma mengantarkan formulir pendaftaran ke kampus…” ujar tante itu sambil mempersilahkan saya duduk di teras rumah yang cukup luas dan sejuk. Sayapun menunggu Darin sambil mengagumi taman depan rumah yang dipenuhi bunga aneka warna. Sebuah kolam ikan kecil, air mancur dan beberapa pohon cemara kecil. Sebuah taman yang bagus.

Sekitar lima belas menit kemudian, masuklah sebuah mobil Honda putih. Kemudian berhenti di depan garasi. Pengemudinyapun turun dan menuju ke tempat saya. Sayapun berdiri. Darin agak terkejut melihat saya.

“Oh, dari kampus akademi komputer, ya?” sapanya sambil menyalami saya. Diapun kemudian duduk di depan saya. Sayapun langsung menanyakan ke Darin, kenapa kok tidak mengikuti tes seleksi. Darin menjawab bahwa dia akhirnya memutuskan kuliah di Cirebon saja supaya dekat dengan mamanya. Maklum, dia anak tunggal dan papanya sudah lama meninggal. Saya mengangguk-angguk memakluminya. Lagi-lagi, saya sebagai cowok yang normal, tertarik dengan payudara Darin yang montok dan tubuhnya yang semok. Apalagi, Darin mengenakan rok mini yang cukup seksi.

Darinpun bercerita bahwa sebenarnya tiap Sabtu dan Minggu selalu pergi ke Jakarta, menginap di rumah tantenya di Cijantung. Darinpun menyebutkan sebuah alamat dan tentu saya mencatatnya atas seijin Darin. Rupa-rupanya saya tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab, Darin mempersilahkan saya bertemu dengannya di rumah tantenya yang ada di Cijantung. Tentu, sebagai cowok yang belum punya pacar, sayapun merasa dapat angin segar.

Begitulah, akhirnya tiap Sabtu malam atau Minggu pagi saya bertemu Darin di Cijantung. Bahkan kalau Minggu mengajak Darin jalan-jalan. Kadang naik motor Honda 90 , kadang naik angkot, kadang naik taksi. Tanpa terasa, hubungan saya dengan Darin telah berlangsung satu bulan. Namun, rasa-rasanya saya sudah mengenal Darin puluhan tahun lamanya. Darin enak diajak bicara, selalu nyambung, wawasannya luas, cukup dewasa, suka humor dan tahu apa yang saya suka.

Hari Senin, saya ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi, yaitu Pak Firdaus Jamaluddin. Sayang, menurut bagian tata usaha, beiau hari itu tidak bisa datang karena mengantarkan ibunya ke rumah sakit.

“Kok, cepat?” tiba-tiba ada yang menyapa saya. Ternyata Tata Suhata yang juga sedang menunggu dosen pembimbingnya. Siang itu ada sekitar 10 teman-teman seangkatan saya sedang berkumpul. Sayapun duduk di samping Tata.

Ngobrol punya ngobrol, Tatapun tanya tentang Darin. Tentu, saya cerita apa adanya. Mulai kunjungan saya ke rumah Darin di Cirebon hingga kunjungan saya ke rumah tantenya Darin di Cijantung. Juga cerita tentang acara saya dengan Darin. Bahkan sayapun menunjukkan foto-foto saya bersama Darin.

“H e he he…,” Tata tertawa .

“Kok, tertawa?” tanya saya terheran-heran. Semula Tata cuma tertawa saja. Tidak mau membalas pertanyaan saya. Namun sesudah saya desak, akhirnya Tata yang juga berasal dari Cirebonpun mau bercerita. Sebuah cerita yang sangat mengejutkan.

Kata Tata, nama Darin Syahwati di Cirebon sudah cukup terkenal. Pernah terpilih sebagai Ratu Pariwisata Cirebon saat masih duduk di SMA. Pacarnya anak seorang pejabat di kota itu. Namun…kemudian dihamili hingga melahirkan anak. Dan anak pejabat itu tidak mau menikahi  Darin. Anak haramnya dititipkan di sebuah yayasan penampung bayi-bayi terlantar. Dan kata Tata, Darinpun menjadi cewek “begituan” dengan bayaran yang sangat tinggi.

Sayapun tertegun mendengar cerita Tata. Karena Tata adalah sahabat saya yang jujur, maka sayapun percaya. Hampir saya tidak mampu berkata-kata. Maksud hati saya membanggakan Darin di depan Tata, tetapi yang saya dapatkan justru sebaliknya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Darin yang montok dan semok itu.

CERPEN: Vitalia Sesat

Gambar

SIAPA sih yang tidak kenal Vitalia Ramona? Dia pernah jadi Ratu Kampus 1974 saat dia duduk di semester tiga di Fakultas Ekonomi, Universitas Kiyai Tapa, Jakarta Barat. Dia mahasiswi yang cantik, pandai dan cukup gaul. Tidak membedakan mana mahasiswa kaya dan mana mahasiswa miskin. Oleh karena itu, Vitalia sangat disukai teman-teman sekampus. Temannya banyak. Kebetulan saya waktu itu satu angkatan dan bahkan dia menjadi anggota kelompok belajar saya. Kebetulan lagi Vitalia dan saya sama-sama tinggal di Kebayoran Baru, tetangga lagi. Saya di Jl.Prof Djoko Sutono SH dekat STM Penerbangan, dia di Jl. Cikajang dekat Gudeg Bu Tjitro. Kalau saya pulang bawa mobil dan dia tidak bawa, pasti numpang di mobil saya. Begitu juga sebaliknya. Saya tahu benar, Vitalia cewek baik-baik dan rajin beribadah. Bahkan ada rencana akan umroh.

“Eh, ngalamun aja, Mas Harry ini!” tegur Vitalia mengejutkan saya ,yang saat itu sedang duduk santai sendirian di taman kampus.

“Ah, enggaklah!” singkat jawaban saya. Vitalia yang datang sendiripun duduk di sebelah saya, kemudian pesan es kacang ijo kesukaannya. Seperti biasa pesan dua gelas, satu buat saya. Vitalia memang suka traktir teman-temannya, termasuk saya tentunya. Maklum, dia punya usaha butik yang cukup besar di kawasan Mampang. Saat itu ada matakuliah kosong ,karena dosen saya, Pak Mintohardjo sedang dirawat di RS Pertamina, entah sakit apa.

Itulah Vitalia Ramona yang saya kenal pada semester pertama  hingga semester ketiga. Pada semester keempat, ada perubahan yang agak drastis pada diri Vitalia. Pergaulanpun mulai pilih-pilih. Hanya mau bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa yang tergolong mampu. Suka pesta. Kuliahnyapun sering ditinggalkan. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah belajar bersama di kelompok belajar saya. Sebetulnya saya tidak peduli. Tapi, karena Vitalia merupakansahabat baik, sayapun berusaha mencari tahu, ada apa dengan Vitalia yang cantik jelita itu?

Belakangan saya dapat informasi dari Donny, kabarnya usaha butik Vitalia bangkrut karena tempat usahanya kena gusur, bayar pajak mahal dan terakhir mobilnya hilang dicuri orang. O, kalau itu persoalannya, saya bisa memakluminya. Cuma sayangnya, Vitalia tidak pernah menceritakan semuanya itu kepada saya. Tapi, tak apalah. Itu masalah Vitalia. Lagipula sudah terlanjur terjadi. Sayapun tidak bisa membantu apa-apa.

“He! Harry! Kamu tahu nggak, bagaimana khabar Vitalia sekarang?” tanya Gaguk pada semester kelima di mana Vitalia sudah tak pernah kuliah lagi. Kabarnya ambil cuti satu tahun karena mau umroh dan sibuk dengan shooting film.

“Sibuk shooting? Betul, tapi Harry tahu nggak berita-berita dari mulut ke mulut tentang Vitalia?” tanya Gaguk yang saat itu kebetulan sedang makan siang bersama saya di kantin kampus.

“Kabar apa?” saya ingin tahu.

“Astaga! Harry teman baik Vitalia kok sampai tidak tahu, sih? Vitalia sekarang kan sering dipesan pejabat?”

“Maksudmu?”

“Biasalah! Cari duit! Jual tubuh!”

“Ah! Mudah amat Gaguk percaya? saya tahu Vitalia rajin beribadah. Apalagi mau umroh.Nggak mungkinlaaah,” bantah saya.

“Hidup di Jakarta ini segala kemungkinan bisa terjadi, Harry”

“Dari mana Gaguk tahu?”

“Namanya juga kabar burung. Ya dari mana-manalaaah…Gak penting. Tinggal Harry mau percaya atau tidak?”

Lagi-lagi, semula saya tidak peduli. Tapi, naluri keingintahuannya semakin lama semakin besar. Saya berusaha mencari informasi dari teman-teman dekat Vitalia. Ternyata, semua menjawab tidak tahu. Maklum, merekasudah lama tidak bertemu dengan Vitalia.

Nah, suatu hari secara tidak sengaja saya bertemu dengan teman lama. Teman se-SMA dulu. Saya tak sengaja bertemu di Wisma Nusantara, Jl.MH Thamrin. Saat dia turun dari lift dan saya akan naik lift. Saat itu saya akan menemui sahabat saya di salah satu kantor di gedung itu. Dan yang membuat saya terhenyak yaitu, teman saya, namanya Jeffry, turun bersama Vitalia. Ada apa ini? Akhirnya sayapun ngobrol-ngobrol sebentar. Ternyata, Jeffry punya kantor di gedung itu. Punya usaha sendiri. Siang itu dia mengajak Vitalia makan siang di salah satu resto di Jakarta Pusat. Saya tak sempat bicara dengan Vitalia. Jeffry langsung menuju ke mobl Mercy-nya bersama Vitalia. Untunglah, saya sempat minta kartu nama Jeffry.

Malam harinya saya telepon Jeffry. Maklum, jaman dulu belum ada HP atau ponsel. Saya di rumah dan Jeffrypun di rumah. Biasalah, ngobrol-ngobrol jamannya masih sekolah di SMA. Terus bicara soal perkuliahan dan pekerjaan. Jeffry tidak kuliah karena lulus SMA langsung mendirikan perusahaan di bidang ekspor-impor. Sudah jadi pengusaha sukses dan kaya raya.

Saat saya tanya tentang Vitalia, awalnya hanya mengaku Vitalia sebagai sahabat bisnis saja. Namun, sesudah saya pancing, akhirnya Jeffry berkata jujur bahwa dia saat itu memang punya acara kencan dengan Vitalia dengan tarif Rp 3 juta short time. Itu tarif tahun 1974. Cukup mahal.

“Astaga!” gumam saya tak percaya. Kenapa Vitalia melakukan itu? Apakah karena usaha butiknya bangkrut? Bukankah honor dari main filmnya cukup banyak? Lantas, apa motivasinya Vitalia seperti itu?

Esok harinyapun saya langsung bercerita ke teman-teman sekampus. Sebagian terperangah tidak percaya. Namunada satu dua yang percaya bahkan mengiyakan. Katanya, Vitalia beberapa bulan itu memang tersesat karena bangkrut dan terpengaruh ajakan Renny, teman kuliah yang sudah lama terkenal  sebagai “ayam kampus”. Sayapun mulai percaya bahwa Vitalia memang tersesat.

Tapi, lagi-lagi buat apa saya peduli dia? Pacar bukan. Saudara bukan. Hanya sahabat biasa saja. Kenapa saya mengurusi yang begituan? Bukankah fokus ke dunia perkuliahan itu lebih baik? Urusan Vitalia adalah urusan Vitalia. Tidak ada hubungannya dengan urusan saya. Sejak saat itu, teman-teman sekampus menjuluki Vitalia Ramona dengan sebutan Vitalia Sesat. Kabarnya, Vitalia telah keluar dari Universitas Kiyai Tapa dan kuliah di ASMI, Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia.

Tanpa terasa. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan.Tahun berganti tahun. Saya sudah lulus sebagai sarjana dan bekerja pada sebuah perusahaan konsultan manajemen di kawasan Jl.MH Thamrin. Tepatnya di Wisma Nusantara. Sama dengan kantor Jeffry. Bedanya, Jeffry di lantai 4 sedangkan saya di lantai 9.

Hari pertama kerja saya kerja, saya terkejut. Ternyata saya satu kantor dengan Vitalia.

“Vitalia?!” sapa saya hampir tak percaya. Vitaliapun berdiri dan menyalami saya.

“Kaget,ya? Saya membaca lamaran kerja Mas Harry dan saya usulkan ke pimpinan supaya Mas Harry bekerja di sini…” jawab Vitalia. Sayapun tertegun.

Sejak itulah, hubungan saya dengan Vitalia kembali akrab. Karena rumah saya dan rumah Vitalia di Kebayoran berdekatan, maka sayapun selalu bersama-sama berangkat dan pulang kantor. Maklum, sejak bangkrut, Vitalia tidak punya mobil lagi.

Entahlah. Mungkin tiap hari saya bertemu dengan Vitalia, sedikit demi sedikit, sayapun jatuh cinta kepada Vitalia. Apalagi Vitalia juga masih hidup sendiri. Tapi, saya punya konflik batin yang cukup berat. Apakah saya harus menikah dengan Vitalia yang dijuluki teman-teman sebagai Vitalia Sesat degan tarif Rp 3 juta short time?

Setahun saya bekerja di perusahaan itu. Akhirnya Vitaliapun mengaku bahwa dulu memang dia tersesat karena butuh uang banyak untuk biaya hidup sehari-hari. Diapun menyatakan telah bertaubat dan jika bersedia, Vitalia mengajak saya umroh bersama, bulan depan. Niat umroh Vitalia yang bertahun-tahun tertunda.

Begitulah, bulan berikutnya saya dan Vitalia menjalankan umroh. Dan di sana, kami berdua berjanji akan menjadi suami istri yang baik. Akan menjadi ayah dan ibu yang baik bagi anak-anak. Akan menjadi umat beragama yang taat. Dan memang benar. Beberapa bulan kemudian saya menikah dengan Vitalia. Dengan ikhlas, saya memaafkan masa lalu Vitalia yang kelam. Apalagi, Vitalia sudah bertaubat.

PUISI: Republik Kafir

FACEBOOK-PuisiRepublikKafir

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya ada jual-beli pasal

nyatanya penyidik bisa dibeli

nyatanya jaksa bisa dibeli

nyatanya hakim bisa dibeli

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya ada penjara mewah

nyatanya ada tv ada radio ada kulkas ada ac di penjara

nyatanya ada jual-beli narkoba di penjara

nyatanya siang di rumah malam di penjara

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya ada jual-beli remisi

nyatanya ada saksi palsu bayaran

nyatanya ada sumpah-sumpah palsu

nyatanya ada bap rekayasa

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya hukum bisa ditawar

nyatanya hukum buatan manusia

nyatanya hukum kafir

 

Sumber gambar: img.photobucket.com

 

Hariyanto Imadha

Penulis puisi

Sejak 1973

CERPEN: Di Antara Daun-daun Kering

FACEBOOK-CerpenDiAntaraDaunDaunKering

SAYA dan istri bersimpuh di depan sebuah makam. Daun-daun kering berserakan di sekeliling makam. Sudah tiga hari petugas kebersihan makam tidak masuk kerja karena sakit. Saya bersihkan sendiri batu nisan yang kotor itu. Saya pandangi namanya “Yunita”. Dia meninggal pada usia  15 tahun. Usia yang masih muda. Itu terjadi lebih dari 35 tahun yang lalu.

Ya, lebih dari 35 tahun yang lalu saya duduk di bangku SMAN kelas 1 dan Yunita kelas 3 SMPN di Palembang. Singkat cerita, semuda itu saya sudah berpacaran. Masa remaja memang masa yang sangat menyenangkan. Tak jarang pulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah, melainkan jalan-jalan dulu dari toko ke toko. Atau sekadar makan bakso dan minum es kelapa muda. Sore baru pulang.

“O, ya. Jangan lupa Minggu nanti Cherry ulang tahun” Yunita mengingatkan saya. Ceri adalah teman sekelasnya.

“O,ya. Kita pasti datang. Kado apa ya yang cocok untuk dia?”. Ujar saya sambil minum es kelapa muda. Saat itu Yunita tengah menghabiskan baksonya.

“Kalau menurut saya sih, Cherry suka boneka-boneka yang lucu begitu”

“Ah, sudah besar kok suka boneka?”

“Dia kan punya hobi koleksi boneka-boneka lucu”

“O” Saya baru mengerti kalau Cherry punya hobi seperti itu. Sehabis makan bakso, saya dan Yunita segera ke salah satu toko untuk mencari boneka yang lucu. Sesudah pilih-pilih akhirnya kami memilih boneka yang diberi nama pussycat. Boneka kucing yang mengenakan pita berwarna merah jambu. Lucu dan menggemaskan. Hampir seperti kucing asli.

Dan memang Minggunya saya dan Yunita hadir di pesta ulang tahun Cherry. Hampir semua teman Cherry di SMPN hadir. Bahkan beberapa guru juga hadir, antara lain Pak Partono, Pak Mulyoso, Bu Niniek, Bu Wahyu dan lain-lain.

“Hallo Cherry. Selamat hari ulang tahun” Ucap Yunita sambil mencium pipi Cherry. Kemudian menyerahkan bungkusan berisi boneka pussycat. Setelah saya memberi ucapan selamat, saya dan Yunita segera mengambil makanan yang sudah dipersiapkan.

Kebetulan, selama makan, Yunita lebih banyak ngobrol dengan guru-guru. Sedangkan saya lebih banyak ditemani Cherry. Entah kenapa, sikap Cherry begitu ramah terhadap saya. Mungkin dia tahu kalau yang membelikan kado pussycat itu saya, sehingga Cherry menghargai kehadiran saya? Yang pasti saya tidak mau gede rasa. Walaupun dalam hati saya mengakui Cherry lebih cantik daripada Yunita.

Ternyata Yunita cemburu juga. Sepulang dari acara ulang tahun Yunita marah-marah.

“Kenapa sih, berduaan terus sama Cherry?” Begitu dia mulai marah.

“Wah, dia kan yang punya rumah. Wajar dong kalau saya dihargai. Apalagi saya satu-satunya yang bukan dari SMPN. Saya satu-satunya teman baru Cherry. Dia Cuma tanya tentang pelajaran di SMAN. Sulit atau tidak. Dia juga tanya, enaknya masuk IPA atau IPS. Cherry meminta pertimbangan,kok” Penjelasan saya cukup panjang lebar. Memang, Cherry menanyakan semua itu. Tampaknya Yunita mengerti. Meskipun demikian wajahnya tetap mendung.

Nah, seminggu kemudian, ganti ketika saya ulang tahun, sayapun mengundang teman-teman SMA saya. Hanya dua anak SMPN yang saya undang, yaitu Yunita dan Cherry. Rumah saya cukup ramai. Dihadiri sekitar 50 teman-teman akrab.

Tampak Cherry yang berpakaian kontemporer itu menjadi primadona pesta. Banyak teman-teman pria saya se SMAN yang menanyakan nama Cherry. Bahkan minta tolong dikenalkan. Ya, semua saya jawab apa adanya. Bahkan dua tiga teman saya perkenalkan dengan Chelsea.

Yang membuat masalah adalah, ketika saya memotong kue tart. Di luar kesadaran saya, potongan pertama saya berikan ke Cherry. Kontan teman-teman SMAN bersorak riuh dan bertepuk tangan meriah. Mereka Cherry adalah pacar saya.

Nah di situlah tragedinya. Yunita tak tahan menahan emosi, kue tart yang sudah saya serahkan ke Cherry direbutnya. Cherry mempertahankan kue itu. Perkelahian tak terhindarkan. Jambak menjambak rambutpun terjadi.

“Kamu mau merebut cowok saya ya?” Bentak Yunita.

“Bukan salah saya dong kalau saya diberi kue tart yang pertama” Bantah Cherry. Pertengkaran dan perkelahian itu hanya berlangsung singkat. Teman-teman dan dua guru saya yang hadir ikut melerainya. Sayang, Yunita langsung keluar ruangan dan langsung pulang naik sepeda motor. Kebetulan kami berangkat memakai sepeda motor masing-masing.

Ketika saya akan mengejar Yunita, tangan saya dipegang Cherry.

“Hargai dong kedatangan saya”. Anehnya, saya menurut saja. Sejak hari itu Cherry sering datang ke rumah saya. Ceritanya, Cherry sering bertengkar dengan Yunita di sekolah. Di pihak lain, tiap kali saya menjemput Yunita, Yunita selalu menghindar. Bahkan tiap kali saya datang ke rumah Yunita, dia tak mau menemui saya. Akhirnya, Cherry benar-benar menjadi pacar saya.

Tiga bulan kemudian, saya dikejutkan berita yang di luar dugaan. Yunita bunuh diri dengan cara meminum obat serangga. Dia meninggalkan surat untuk saya dan Cherry. Isinya singkat. Cuma ucapan semoga saya dan Cherry berbahagia.

Itu sudah terjadi lebih dari tigapuluh tahun yang lalu. Saya hanya bersimpuh di depan makam Yunita. Selesai berziarah, saya dan istri saya, yang tak lain adalah Cherry, segera meninggalkan makam Yunita. Kami hanya berdoa semoga arwah Yunita bisa diterima di hadirat Allah swt.

Saya dan Cherry menuju ke mobil diiringi jatuhnya beberapa daun kering.

Hariyanto Imadha
Penulis cerpen
Sejak 1973

HUMOR: Rhoma Irama dan Humor Lagu-Lagunya

RhomaIrama-voa-islamcom

Sumber foto : voa-islam.com

 RHOMA IRAMA nyapres? Boleh-boleh saja, itu hak setiap warganegara. Yang pasti 135 JUTA rakyat Indonesia  tahu itu. Dan awal kampanyenya pasti Rhoma akan menyapa APA KABAR, HALLO-HALLO , MARI-MARI dan APA KABAR? Rhoma mencapreskan diri karena merasa bukan ANAK KERA. Dia yakin akan didukung GENERASI MUDA dan KAWULA MUDA . Sebab, AKU SAUDARAMU. Dia serukan, BERSATULAH. Baginya nyapres merupakan HAK AZASI. Dan dia pasti menjunjung tinggi KATA PUJANGGA agar JANGAN MENGKHAYAL. Dan pencapresannya membuat Rhoma TAK DAPAT TIDUR sebab nyapres butuh RUPIAH yang sangat banyak. Juga, perlu PERJUANGAN DAN DOA, meski nanti banyak BADAI DI AWAL BAHAGIA, yang jelas bang haji ingin PEMILU yang luber. Pokoknya syaratnya ada 1001 MACAM. Kalau dipikir-pikir bisa keluar AIR MATA DARAH. Otak HAMPIR SAJA bisa BEKU.

Kampanye hari pertama di IBUKOTA. Selama kampanye, Rhoma dalam kondisi BAJU SATU KERING DI BADAN. Para pesaing bagaikan ANJING DAN SAMPAH. Visi dan misi harus di-BACA tanpa rasa BIMBANG. Visi misinya antara lain yaitu JANGAN BERJUDI, hidup harus KAYA HATI, jangan hidup PENUH KESOMBONGAN, jangan mengobral JANJI jangan dikuasai NAFSU SERAKAH dan NARKOTIKA, TAKWA dan usahakan bisa naik HAJI. LAA  ILAAHA ILLALLAH . SETAN PASTI KALAH. Anggap saja semua pesaing itu BUTA atau BUTA TULI. Berkampanya sambil menyanyi DO MI SOL  sambil memetik GITAR TUA dan suasananya penuh EUPHORIA. HAYO, pilihlah Rhoma Irama. Seluruh DUNIA-pun tahu. HAI ORANG ASING, dengarkan kampanyeku, kata Rhoma. Wanita tidak HARAM memilih Rhoma, karena itu bentuk EMANSIPATI WANITA. Para peserta  kampanyepun BERJOGET sambil menikmati GULALI. Kampanye dilanjutkan KE MONAS dan KE BINA RIA.

Dan ketika jadi presiden, Rhoma ternyata BEGADANG melulu. Siang hari main PIANO melulu. Dan hari-hari kerjanya digunakan untuk BERKELANA untuk mencari BAHTERA CINTA dan JANDA KEMBANG. Katanya, itu merupakan obat AWET MUDA. Dan tiap hari menyatakan CINTA LEWAT TELEPON. Pokoknya yang dipikir cuma AKU DAN DIA, namanya ANI, dia ANAK PERTAMA. Yang lainnya namanya CAMELIA.Yang pasti, Rhoma ingin BERBULAN MADU.  Bagi Rhoma, wanita adalah BUNGAKU. Untuk itu Rhoma telah menyiapkan CINCIN KAWIN. Baginya, ANI yang memakai KERUDUNG PUTIH adalah CINTA PERTAMA dan CINTA ABADI-nya. Tiap malam Minggu suka COLAK-COLEK dan mengatakan HANYA KAMU.Maklumlah, Rhoma masih BUJANGAN dan suka CEMBURU BUTA. Maklum, masih ber-DARAH MUDA. Hidupnya diwarnai DAWAI ASMARA. Gaya pacarannya DATANG UNTUK PERGI dan kadang-kadang mengalami DUKA DALAM CINTA. Di depan pacar-pacarnya dia selalu menyanyikan lagu DANGDUT, terutama BERDENDANG tentang DANGDUT TERAJANA dan MELODI CINTA. Rhoma ingin menjadikannya ISTRI SOLEHAH. Tidak mau mengalami KEGAGALAN CINTA maupun PATAH HATI.

Keuangan negarapun GALI LUBANG TUTUP LUBANG. Ternyata, Rhoma merupakan INSAN YANG RUGI. Rakyatpun hidup dalam DERITA, DERITA DALAM TAWA. Banyak rakyat menjadi GELANDANGAN dan INSAN YANG RUGI. Hidupnya menjadi gelap dan HITAM. Indonesiapun mirip menghadapi BENCANA, LAPAR  bagai orang tua KEHILANGAN TONGKAT. PENGANGGURAN di mana-mana.Satu persatu rakyat menghadapi KEMATIAN. Kehidupan menjadi PUING-PUING dan tidak punya MASA DEPAN. Kehidupan rakyat bagaikan HARI KIAMAT dan HARI BERBANGKIT. MASYA  ALLAH…TERLALU! (Oleh: Hariyanto Imadha).

CERPEN : Namaku Bukan Imadha

FACEBOOK-CerpenNamakuBukanImadha

JAKARTA,Senin 11 Februari 1985.Baru saja peristiwa itu terjadi.Di kantorku,Pusat Pelayanan Manajemen PLN Pusat Jakarta.Hari itu mendadak saya emosi,saya membanting gelas.Geger!Lantas saya ditangkap satpam karena tangan saya sebelah kiri kebetulan sedang memagang pisau.Lantas kemudian saya dituduh mengancam akan membunuh salah seorang kepala dinas di situ.

Heran,padahal pisau kecil itu saya gunakan untuk memotong kertas akibat beberapa hari yang lalu beberapa “cutter” milik saya hilang entah ke mana.Saya membanting gelas karena kesal beberapa bulan kerja tapi tak ada “job descriptions” yang jelas.Lantas peristiwa kecil itu didramatisir.Saya akan di-PHK.Hari itu saya memang sedang apes.Terkena fitnah!

Agak sore saya pulang kantor,karena saya dibawa ke kantor satpam dan memberikan penjelasan panjang lebar tentang urut-urutan peristiwa kecil itu.Dari situlah saya tahu,ada seseorang menelpon satpam yang mengatakan dirinya akan saya bunuh.Fitnah memang selamanya lebih kejam daripada pembunuhan.

Hari sudah sore.Saya bersiap-siap untuk pulang.Ketika saya akan memasukkan “clock card” (kartu waktu) ke “time recorder” (mesin pencatat waktu) hati saya terasa tertusuk pisau dan tergores pecahan gelas.Kenapa? Karena di “clock card” itu namaku ditulis lengkap:”Hariyanto Imadha”.Sedih sekali rasanya.Tampaknya orang-orang sekantor belum mengerti asal-usul nama itu.Memang,antara kejadian hari itu tak ada hubungannya dengan nama saya.

BOJONEGORO,1 Januari 1970.Beberapa tahun yang lalu,saya aktif di PPSMA (Persatuan Pelajar SMA) atau OSIS SMA menurut istilah sekarang.Saya pada tahun 1970 masih duduk di kelas 1 SMA Negeri 1,Bojonegoro,Jawa Timur.

“Jangan lupa,nanti sore siaran!”,kata saya suatu saat sewaktu saya mengantarkan Rohandha pulang ke rumahnya di Jl.Diponegoro No.29A.Nama lengkapnya yaitu Yudha Rohandha,sahabat se SMA sekaligus sahabat seorganisasi.Juga,sama-sama penyiar radio amatir ARMADA-151 yang berlokasi di rumah saya di Jl.Netral No.151A (sekarang Jl.Ade Irma Suryani Nasution No.5A).

“Beres”,jawabnya sambil tersenyum.Tak lupa dia mencium pipiku seperti biasa.Seminggu kemudian,tepatnya tanggal 10 Januari 1970,saya merasa gelisah.Sudah sepuluh hari Yudha tidak masuk sekolah.Kabarnya dia sakit.Pembawaanku sejak kecil,jika dalam keadaan gelisah,pasti melampiaskan kegelisahan itu dengan cara membanting gelas!Rapat PPSMA yang waktu itu saya adakan pun bubar!Rapat saya tutup atau kutunda meninggu sampai Yudha sembuh.

Malam hari,pukul 23:00 giliran saya untuk siaran,mengisi acara “Parade Call & Song”,pesan dan lagu.

Kriiing…Telepon berdering.Diterima Erry Amanda yang pada waktu itu bertugas sebagai operator.

“Harry,ada telepon dari papanya Yudha”,kata Erry.Aneh saya pikir,selama ini papanya Yudha tidak pernah menelepon saya.Tapi,telepon saya terima juga.

Alangkah terkejutnya saya,setengah tak percaya,rasa sedih pun bangkit menggelegak.

“Kenapa Harry?”,Erry ingin tahu.Saya diam tak bisa menjawab.Gagang telepon saya taruh pelan.Saya diam.Mata saya berkaca.Air mata hampir jatuh.

“Erry,kau mau antarkan saya…? Ke rumah Yudha?”,tanya saya.Kemudian,pemancar radio saya matikan.

“Malam-malam begini? Memangnya ada apa?”,Erry penasaran.Dipandangi saya dengan penuh keheranan.

“Kamu tahu bukan selama ini Yudha mengidap penyakit leukemia?Lima menit yang lalu…Yudha telah pergi.Pergi untuk selama-lamanya..”,terbata-bata saya berkata.

Detak jantung berpacu.Sedih,perih,luka menganga.Saya terobos gelap malam.Pipi terasa dingin.Setetes air membasahi pipi.

Saya masih terlalu muda untuk menerima beban yang berat ini.Apalagi,hanya kepada Yudha lah pertama kali saya mengenal keakraban sejati.

Yudha Rohandha.Saya tak akan melupakan nama ini.Nama seorang gadis yang cantik,cerdas,suka berorganisasi,ramah,menyukai seni rupa seperti saya.

Hampir sebulan saya terbaring di rumah sakit.

————————————————————————————————————

SURABAYA 1971.Akhirnya,saya memutuskan untuk pindah sekolah ke Surabaya.Di kota ini saya melanjutkan di SMA Negeri 6,Jl.Pemuda.Di SMA ini saya tetap aktif di organisasi SMA seperti sebelumnya.Kali ini saya mengelola buletin ELKA atau LK (Lingkaran Kreasi).Saya aktif membuatvignet,cerpen,kritik sosial,menggambar,artikel-artikel ilmiah pop,dll.

Kesibukan-kesibukan di SMAN 6 menyebabkan saya sedikit demi sedikit bisa melupakan almarhumah Yudha Rohandha.

Suatu pagi cerah,langit biru muda,rombongan SMAN 6 mengadakan “study tour” ke Pulau Bali.Tak saya sangka,di Pantai Kuta saya saya berkenalan dengan gadis cantik siswi SMAN 5 Jl.Wijaya Kusuma Surabaya.

“Namaku Ika…”,jawabnya ketika saya menanyakan namanya.

“Lengkapnya?”,saya ingin tahu.

“Ika Asokawati Putri Pertiwi”,jawabnya sambil tersenyum.Saya lihat bulu matanya lentik indah.Kenangan indah itu terjadi tanggal 4 Juli 1971 hari Minggu.

Tahun 1973 saya ke Bali lagi.Cuma bedanya,kali ini saya sudah berstatus mahasiswa dari Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti,Jakarta angkatan 08.Ika yang waktu itu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga turut bergabung dengan saya ke Bali.

Memang,saya tak pernah menyangka bahwa hubungan saya dengan Ika telah berlangsung selama tiga tahun (1971-1973) telah menumbuhkan benih-benih kasih cinta yang ceria.

Kemudian di pantai Kuta kami bergamit tangan sepanjanga pantai yang indah itu.Persis seperti kami bertemu tiga tahun yang lalu.

Kelelahan menyusuri pantai menyebabkan saya merebahkan diri di bawah pohon,sementara itu Ika bermain air menantang ombak.

Tiba-tiba saya dikejutkan suara Ika berteriak meminta tolong.Saya gugup.Saya pun berteriak meminta tolong ke orang-orang yang ada di sekitar pantai itu.Puluhan orang segera mencebur ke laut,tetapi kemudian kembali lagi.Tak berani meneruskan lebih jauh .Laut terlalu ganas.Lantas laut sepi.Pantai ribut.Saya panik.Bahkan tim SAR dari Universitas Udayana tak berhasil menemukan Ika.

Hari kedua saya baru menerima kabar bahwa Ika diketemukan di Pantai Kuta jauh ke Selatan.Ika telah tiada.Saya menggigit bibir.Saya berteriak histeris.Enam gelas saya banting.Pecah.Hati saya pun pecah.Saya masih ingat,hari itu hari Minggu,13 Juli 1973.Tidak mungkin saya akan melupakan tanggal tersebut.

————————————————————————————————————

YOGYAKARTA 1973-1975.Untuk melupakan kepergian Ika,maka saya sering mondar-mandir Jakarta-Yogyakarta.Di Yogya ini saya punya teman baik,seorang pemuda berbakat seni,namanya Erry Amanda.Kepadanyalah saya sering berdiskusi tentang hidup,penghidupan dan kehidupan.Kepadanyalah saya sering saya sering mengemukakan masalaha-masalah pribadi.

“Kamu tak usah putus asa.Lupakan saja Yudha dan Ika.Mereka tak mungkin kembali.Memang pahit,tetapi itu kenyataan.”,Erry menasehati sambil tangannya coret-coret di kanvas.Dia sedang mencoba melukis dengan aliran kubisme.

Saya hanya bisa diam.

“Saya juga pernah mengalami peristiwa serupa.Nungkie dan Rensalitawati juga tiada.Kita ini punya nasib sama.Cuma bedanya,saya mencoba melupakannya peristiwa itu dengan cara menumpahkan kepedihan ke atas kanvas.Kamu?”,tanyanya.

“Saya mengadakan sublimasi dalam bentuk cerita pendek,kartun,vignet,puisi,dan lain-lain”,jawab saya sambil meminum teh celup Sariwangi.

Sore harinya saya pamit pulang.Erry mengantarkan saya sampai di setasiun kereta api.Ternyata saya hampir terlambat,kereta telah merangkak berangkat.Saya bergegas.Setengah berlari saya mengejar kereta.Tanpa sengaja seorang gadis yang mengantarkan temannya naik kereta tersenggol.Dia hampir terjatuh.Entah kenapa,bukan saya yang meminta maaf,tetapi malahan tanya alamat rumah saya.

“Kamu tinggal di mana”,justru saya balik bertanya.Lantas gadis itu menyebutkan alamatnya dengan lengkap.Alamatnya mudah dihafal.Entah kenapa,gadis itupun menyebutkan namanya.

“Saya Erna.Mas siapa…?”,pertanyaannya tak sempat saya balas.Saya sudah berada di atas kereta yang terus melaju semakin cepat.

“Saya akan berkirim surat untukmu…!”,saya setengah berteriak.Saya lambaikan tangan kearahnya.Dia membalasnya.

Aneh.Perkenalan saya dengan Erna memang aneh.Perkenalan yang tidak sengaja.Tapi,begitulah kenyataannya.

Sesampai di Jakarta sayapun memenuhi janji.Saya kirimkan surat untuk Erna di Yogya.Isinya biasa-biasa saja.Dari balasan suratnya saya baru tahu kalau Erna merupakan primadona di Fakultas Psikologi UGM.Katanya,di kampus dia sering dipanggil Maya.Ternya Erna punya nama yang cukup panjang,yaitu Umariyah Fransiska Erna Purnamasari.Namanya unik.Maklum,dia memeluk dua agama sekaligus,Islam dan Kristen.Setiap hari shalat lima waktu,sedangkan kalau Minggu ke gereja.Dulu,sewaktu masih sekolah di SMA,dia sering dipanggil Erna Stella.Soalnya,dulu Erna merupakan gadis paling cantik di asrama putri Stella Duce.

“Kenapa Mas Harry mencintai Erna? Saya orang miskin,tidak punya apa-apa”,tanya Erna atau Maya pada suatu hari saya menjemputnya di Kampus Bulaksumur.

“Cinta tak pernah membedakan kaya atau miskin.Kalau saya dari keluarga mampu,itu kebetulan saja”,saya meyakinkan.

Sayang,keindahan demi keindahan yang kureguk bersama Maya hanya berlangsung beberapa saat saja.Mendung gelap segera menyelimuti kota Yogya dan hati saya.Sore itu Nia,salah seorang sahabat Maya yang jadi pramugari Garuda datang ke Hotel Maerakaca tempat saya menginap.Dia membawa kabar buruk.Katanya,Maya mengalami kecelakaan berat.Meninggal langsung di Jl.Malioboro di depan restoran Hellen.Hari itu Selasa 11 Maret 1975.

Dengan demikian,saya telah mengalami tiga kali tragedi menyedihkan,yaitu meninggalnya Ika,Maya dan Yudha.Tiga nama itu : (I)ka,(Ma)ya dan Yu(dha) dan saya singkat menjadi Imadha.Nama ini sering saya pakai setiap saya membuat cerpen,dll.Akhirnya saya gabung dengan nama asli saya menjadi: Hariyanto Imadha.

CERPEN: Ksatria Gemblung dari Desa Cikampret

PAK Kades sebenarnya punya nama asli, yaitu Pak Keboyono. Dia terpilih sebagai kades  pertamakali karena ada kongkalikong dengan salah seorang oknum panitia pemilihan. Caranya yaitu, memanipulasi data perolehan suara. Dan sebagai imbalannya, oknum panitia pemilihan tersebut diangkat sebagai sekdes atau sekretaris desa.

“Pak Keboyono itu borosnya bukan main. Masak untuk proyek pembangunan desa, sudah dapat bantuan dari pemerintah, masih juga berhutang ke bank. Kekayaan desa dijadikan jaminan. Celakanya warga desa Cikampret yang harus membayar utang-utang itu beserta bunganya…,” begitu gerutu salah seorang warga Desa Cikampret bernama Pak Singodimejo.

“Betul. Lagipula warga juga curiga. Jangan-jangan sebagian uang pinjaman dari bank itu dikorupsi. Soalnya. hidup Pak Keboyono mewah sekali. Uang kas desa juga dibelikan mobil mewah. Masak sih, mobil kades harganya milyaran rupiah? Sementara kehidupan warga desa masih banyak yang miskin,” sahut Mbok Marginem.

Begitulah selentingan omongan warga yang sedang makan di warung Mbok Tulkiyem. Kebetulan saat itu saya juga sedang makan siang di warung itu. Saya termasuk warga baru di desa tersebut. Pindahan dari Desa Sumbang, Kecamatan Mbegudul, Jawa Tengah. Saya agak kagum melihat pembangunan didesa itu. Banyak berdiri rumah-rumah mewah, tetapi kabarnya kebanyakan milik orang kota. Pegawai-pegawai kantor Pak Kades juga hidupnya mewah. Semua pegawainya punya mobil.

“Iya, sih. Hidupnya mewah. Tetapi warga dibebani utang bank yang sangat besar. Mungkin sampai tujuh turunan juga tidak akan lunas,” kata Bu Mintuk kepada saya yang saat itu juga sedang makan siang di warung Mbok Tulkiyem. Saya hanya bisa manggut-manggut prihatin.

“Kabarnya banyak tanah desa yang dijual ke orang-orang kota, ya Bu,” tanya saya ke Bu Mintuk.

“Oh, iya,Pak Harry. Tanah-tanah desa dijual itu saat Pak Keboyono mau menghadapi pemilihan kades yang kedua. Uangnya dibagi-bagikan ke rakyat sebagai money politic. Juga, kabarnya dia juga menyuap oknum panitia pemilihan untuk memanipulasi data perolehan suara. Hasilnya, dia menang lagi. Dan sebagai imbalannya oknum tersebut diangkat sebagai bendahara desa…” jawab Bu Mintuk. Lagi-lagi saya hanya bisa manggut-manggut.

“Tapi, kenapa Pak Keboyono diolok-olok sebagai Ksatria Gemblung?” saya ingin tahu.

“Ha ha ha…! Ceritanya, Pak Keboyono dapat penghargaan dari Pak Gubernur karena dianggap telah berhasil memajukan desanya. Gelar aslinya sih Ksatria Padesan. Karena banyak warga di sini tidak suka, maka warga di sini menjulukinya sebagai Ksatria Gemblung. Karena perut pak kades gendut seperti orang terkena penyakit kembung. Ha ha ha…” cerita Bu Mintuk.

“Ha ha ha…!” sayapun ikut tertawa terpingkal-pingkal.

“Warga curiga, jangan-jangan Ksatria Gemblung ini korupsi besar-besaran, tetapi warga mengalami kesulitan untuk membuktikannya. Soalnya kalau ada warga yang bernada menuduh, pasti akan dipukul babinsa, aparatnya Pak Kades. Bahkan Pak Kades juga didukung preman-preman bayaran. Jadi, warga berada di pihak yang tidak bisa berbuat banyak…” Bu Mintuk menjelaskan.

“Wah, korupsi ada di mana-mana, ya? Bukan hanya di jakarta, tetapi sudah melanda Desa Cikampret.”

“Betul! Ada sih warga yang membentuk komunitas anti korupsi. Tetapi tidak bisa berbuat banyak karena terus dapat intimidasi dari preman-preman bayaran itu. Atau ada oknum komunitas anti korupsi yang disuap. Warga dalam posisi yang lemah…”. Tak henti-hentinya Bu Mintuk bercerita tentang kebusukan-kebusukan Pak Keboyono alias Ksatria Gemblung.

Walaupun saya tinggal di Desa Cikampret, namun dari masukan-masukan warga desa, saya tahu watak-watak Pak Keboyono. Antara lain pesolek seperti hombreng. Suka curhat kemana-mana. Tidak tegas alias peragu. Bahkan penakut. Kabarnya, pernah mau berkunjung ke desa sebelah, Desa Cikesah, karena akan didemo, akhirnya Pak Keboyono membatalkan rencananya berkunjung.

Pak Keboyono termasuk kades yang sangat boros. Suka melakukan perjalanan ke berbagai kota, terutama kota-kota besar. Alasannya macam-macam. Menghadiri rapat inilah rapat itulah. Bahkan senang sekali mengumpulkan penghargaan dan pujian-pujian dari para bupati dari berbagai kota yang dikunjungi.

Di samping boros, praktek-praktek korupsi di kantor desa juga bukan main. Uang apa saja yang dibayarkan warga, pasti dikorupsi. Besarnya korupsi sekitar 30%, begitu hasil audit dari pihak kabupaten. Namun sayangnya tidak ada tindakan lebih lanjut. Rupa-rupanya korupsi memang sudah berjamaah. Jangan-jangan yang mengaudit juga sudah disuap.

“Semua proyek ditangani antek-anteknya Pak Keboyono…” sambung Bu Mintuk. Lagi-lagi saya cuma bisa manggut-manggut. Berbeda sekali dengan desa saya sebelumnya, bersih, jujur, aman dan tidak ada korupsi. Toh desa saya sebelumnya juga bisa maju pesat.

Memberantas korupsi memang sulit. Apalagi kalau sudah berjamaah. Apalagi melibatkan oknum aparat penegak hukum, melibatkan oknum tentara, melibatkan orang-orang politik. Hampir tidak mungkin memberantasnya. Semuanya sudah gila harta. Ingin hidup mewah. Agama hanya merupakan simbol saja. Ibadahnya hanya basa-basi saja, hanya untuk memberi kesan mereka itu orang suci. Padhal moralnya sudah bejat. Semua warga Desa Cikampret tahu semua itu, tetapi tetap tidak berdaya.

“Lantas, bagaimana mengatasi masalah ini?” tanya saya.

“Ya, kita hanya berharap bahwa pemilihan kades mendatang akan menghasilkan kades yang bersih, jujur dan tegas. Untuk itu warga harus mengamati dengan cerdas siapa saja yang akan duduk di panitia pemilihan. Juga harus cerdas melihat kualitas para calon kades. Maklum, kades dipilih langsung oleh warga”. Cukup panjang Bu Mintuk menjelaskan.

“Ya, semoga warga akan mendapatkan calon kades yang amanah, fatonah, shidiq dan tabliq…Jangan sampai dapat kades seperti Ksatria Gemblung lagi…,” ujar saya. Sesudah membayar makanan, sayapun meninggalkan warung Bu Tulkiyem. Segera menuju ke motor dan mengendarainya berputar-putar ke pelosok desa. Melihat kehidupan nyata warga desa yang kebanyakan masih hidup miskin, sementara pak kades dan para aparatnya hidup bermewah-mewah.

Di zaman edan ini memang sulit mencari pemimpin yang jujur, bersih, cerdas, berwibawa, nisa dipercaya dan merakyat. Zaman yang penuh kepalsuan, penuh penipuan, penuh kecurangan, penuh kedholiman. Orang menjadikan agama hanya sebagai aksesori kehidupan. Ibadahnya hanya basa-basi saja. Di mana ada kesempatan korupsi, maka korupsilah mereka. Mereka lebih mengikuti bisikan-bisikan setan daripada bisikan-bisikan malaikat.

Di negeri ini cukup banyak pemimpin-pemimpin yang layak mendapat predikat sebagai “Ksatria Gemblung”. Gemblung bisa berarti tidak waras atau gila atau sinting. Kelihatannya waras, tetapi jiwanya sudah sakit parah. Moralnya bejat. Mereka tidak takut lagi hukuman yang akan dijatuhkan Tuhan. Mereka tak percaya dan tidak peduli neraka. Yang penting korupsi, hidup mewah, bersenang-senang, urusan belakangan. Kalau diadili, mereka kan menyuap atau mengintimidasi para penegak hukum. Andaikata dipenjara, mereka bisa membeli remisi. Bisa keluar masuk penjara kapan saja asal membayar. Zaman edan memang masih berlangsung lama.

“Dasar gemblung…,” gerutu saya sambil mengendarai motor menuju ke kota karena ada urusan bisnis dengan rekan bisnis saya. Bisnis modif motor.

—ooOoo—