CERPEN: Misteri Kali Alfamart di BSD Nusaloka

SUDAH empat mobil terjerumus di depan mini market Alfamart belakang kantor pos, yang ada di BSD Nusaloka, BSD City,Tangerang Selatan. Padahal situasi di situ wajar-wajar saja. Antara jalan aspal dan kali juga ada beton pembatas. Semua pengemudinya juga sudah berpengalaman mengemudi minimal lima tahun. Kenapa bisa terjadi kecelakaan seperti itu dan mengakibatkan pengemudi dan penumpangnya luka parah?

Suatu saat ketika saya naik ojek dan melewati Alfamart tersebut, maka sayapun mulai mengorek informasi.

“Katanya sudah empat kali masuk kali ya, Bang?” tanya saya

“Oh, ya. Semua pengemudinya luka parah,” jawabnya sambil terus mengemudikan motornya. Saya membonceng di belakangnya.

“Memangnya, dulunya di situ merupakan daerah apa?”

“Kalau Tangerang Selatan, dulu merupakan hutan karet. Dan sekitar Alfamart dulu merupakan persawahan”

“Tidak ada perumahan penduduk?”

“Ada,sih. Jumlahnya sekitar ratusan rumah”

“Tidak ada tempat pemakaman umum?”

“Ada sih. Tapi ketika pembangunan BSD City dimulai, semua makam dipindahkan. Cuma, saat itu ada yang aneh”

Mendengar kata “aneh”, saya mulai penasaran.

“Anehnya di mana, Bang?” saya terus bertanya.

“Ya, ada salah satu makam tiba-tiba hilang tanpa bekas, Pak” katanya kepada saya.

“Tahu namanya, makam siapa?”

“Kalau nggak salah, namanya Ranggi”

“Siapa itu?” saya semakin penasaran.

“Dulu, cerita orang-orang, Ranggi itu saudara kembar Rangga. Keduanya laki-laki”

“Siapa mereka?”

“Mereka anak dari petani bernama Danu Rengga”

“Siapa Danu Rengga?”

“Dia seorang petani, juga punya hobi memelihara kuda.”

“Bagaimana kehidupan Danu Rengga, Rangga dan Ranggi?”

“Sebelum ibunya meninggal, mereka akur-akur saja. Tapi setelah ibunya meninggal, mereka kelihatannya kehilangan kasih sayang dan suka bertengkar”

“Bertengkar soal apa saja?”

“Kata ayah saya, mereka bertengkar saat orangtuanya beli satu kuda lagi. Jadi total ada dua kuda. Satu khusus untuk ayahnya. Satu lagi untuk Rangga dan Ranggi. Masalahnya, mereka berdua sering rebutan untuk menunggang kuda itu”

“Terus?”

“Ya, suatu saat mereka berkelahi hebat. Hari pertama mereka masih berkelahi tangan kosong. Hari kedua, mereka berkelahi menggunakan golok.”

“Oh, ada yang tewas?”

“Itulah. Ranggi kalah dan lehernya kena tebas golok”

“Terus? Bagimana?”

“Menurut ayah saya yang kebtulan menyaksikan kejadian itu, sebelum Ranggi menghembuskan nafasnya yang terakhir, sempat bersumpah”

“Bagaimana sumpahnya?”

“Ranggi bersumpah. Jika Rangga atau siapapun yang melewati tempat dia meninggal, akan dibikin celaka. Sesudah itu Ranggi menghembuskan nafasnya yang terakhir”

“Di mana lokasi Ranggi meninggal?”

“Ya, di kali tepat di depan mini market Alfamart itu”

“Oh, mungkinkah kecelakaan-kecelakaan itu ada hubungannya dengan sumpah Ranggi?”

“Wah, saya bukan paranormal,Pak. Saya kurang tahu. Yang pasti, jalan di depan Alfamart itu memang sangat rawan dan sudah empat kali ini ada mobil tercebur ke kali”

“Oh,ya. Dulu, ketika makam Ranggi tiba-tiba menghilang tanpa bekas, apakah tidak ada usaha-usaha supranatural untuk menemukannya kembali?”

“Usaha sih ada. Tapi hasilnya tidak ada. Nol semuanya. Sampai hari ini, di mana makam Ranggi, tidak ada yang tahu. Namun, sebenarnya juga ada cerita lain zaman dulu”

“Apa itu?”

“Dulu, di kali itu, ada sumur. Namanya Sumur Gobak. Entah kenapa dinamakan Gobak dan apa artinya Gobak, saya tidak tahu”

“Ada apa dengan sumur Gobak?”

“Dulu, sumur itu digunakan untuk bunuh diri seorang pemuda yyang patah hati. namanya Randu Dan sejak itu, air sumur itu tidak boleh diminum”

“Ada keanehannya?”

“Ada. Tiap malam Jum’at, ada suara-suara yang mengancam. Kalau ada perawan lewat di dekat Sumur Gobak itu, apalagi naik delman, akan dibuat celaka.”

“Oh, begitu? Kalau begitu, kira-kira kecelakaan mobil itu akibat ulah Ranggi atau Randu?”

“Hahaha…Saya kan bukan paranormal, Pak. Mungkin Ranggi dan Randu bersatu dan bersama-sama membalas dendam”

“Apakah jenasah Randu sudah dimakamkan secara baik-baik saat itu?”

“Nah itu dia,Pak. Sekitar 40 hari dimakamkan, tiba-tiba, makamnya hilang tanpa bekas”

“Oh, sama dengan kasus hilangnya makam Ranggi?”

“Begitulah, Pak”

Sayang, tanya jawab terpaksa berhenti karena saya telah sampai di rumah saya di Jl. Bintan 2 Blok S1/11, BSD Nusaloka Sektora XIV-5, BSD City, Tangerang Selatan.

Catatan:

Cerpen ini merupakan cerita fiiktif.

Sumber foto: antarafoto.com

Hariyanto Imadha

Penulis cerpen

Sejak 1973

CERPEN: Darin-ku Montok Darin-ku Semok

FACEBOOK-CerpenDarinkuMontokDarinkuSemok

JAKARTA 1980. Saat itu saya telah menyelesaikan semester terakhir di sebuah akademi komputer di Jakarta dan sedang menyusun skripsi dalam rangka ujian akhir atau ujian komprehensif. Kebetulan saya, Rudy Rayadi, Armi Helena dan Inggah Silanawati, teman-teman seangkatan dipercaya oleh pihak yayasan atau pihak akademi  untuk menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru.

Saat itu hari ke sepuluh bertugas sebagai panitia. Tersedia empat meja di teras kampus bagian depan. Targetnya hanya menerima 120 mahasiswa atau untuk tiga kelas saja. Tiap hari selalu ada calon mahasiswa yang datang, sebagian baru meminta informasi dan meminta brosur, namun sebagian lagi ada yang langsung mendaftar. Saat itu saya sedang sibuk merapikan formulir-formulir pedaftaran yang telah masuk beberapa hari sebelumnya.

“Maaf, Mas. Di sini tempat pendaftaran mahasiswa baru?” tiba-tiba saya dikejutkan sapaan dari arah depan saya. Saya lihat, ada cewek di depan saya. Agak gagap sedikit saya persilahkan cewek itu duduk. Sekilas saya lihat cewek itu cantik sekali. Sebagai cowok yang normal, tentu saya mengagumi cewek di depan saya itu. Namun, saya tetap harus melayani semua pertanyaan cewek itu tentang akademi kmputer tempat saya kuliah.

“Kalau serius, silahkan mengisi formulir pendaftaran,” saya menawarkan formulir sekaligus mempromosikan bahwa semua lulusan akademi komputer tempat saya kuliah, tidak ada yang menjadi pengangguran. Ternyata, cewek itu serius ingin mendaftar. Diapun mulai mengisi formulir pendaftaran sambil sesekali bertanya.

Nah, saat cewek itu mengisi formulir pendaftaran, sayapun memperhatikannya dengan cermat. Rambutnya pendek, bulu matanya lentik, bibirnya mungil, tubuhnya putih, langsing, dan…aduhai, payudaranya cukup montok dan tubuhnya cukup semok. Sebagai cowok normalpun saya merasa benar-benar kagum melihatnya. Tak lama kemudian cewek itu selesai mengisi formulir dan melampirkan semua persyaratan termasuk fotokopi surat kelulusan SMA, KTP, fotokopi lainnya dan tiga buah pasfoto berwarna ukuran 3 cm X 4 cm. Kemudian menyerahkannya ke saya.

“Lengkap. Jangan lupa, Senin depan mengikuti tes atau seleksi masuk…,” ucap saya ke cewek itu. Cewek itu mengangguk, berdiri, kemudian menyalami saya.

“Insya Allah, saya Senin akan datang,” katanya. Telapak tangannya yang saya pegang terasa halus sekali. Bergetar hati saya melihat cewek secantik itu. Sekilas mirip artis Nia Daniati. Diapun kemudian meninggalkan tempat pendaftaran. Saya hanya bisa memandanginya dengan rasa kagum. Rudy, Armi dan Inggah-pun ramai-ramai menggoda saya dan mengatakan cewek itu cocok jadi pacar saya. Saya cuma tersenyum kecut.

Sayapun melihat formulir pendaftaran cewek itu. Ternyata dia bernama Darin Syahwati berasal dari Kota Cirebon. Alamatnyapun saya catat. Kemudian, saya disibukkan oleh calon-calon mahasiswa lainnya yang sudah antri untuk saya layani.

Senin berikutnya, tes atau seleksi masukpun diadakan. Memerlukan enam kelas. Panitia pengawasnyapun cukup banyak. Sayapun mencari Darin. dari kelas ke kelas lainnya saya masuki. Saya perhatikan satu persatu wajah cewek-cewek peserta tes. Namun kenyataannya, Darin tidak ada. Benar-benar tidak ada. Bahkan sampai tes selesaipun Darin tidak ada. Tentu, saya kecewa berat.

Akhirnya, tepat Minggu pagi, sayapun menuju ke Cirebon naik bus. Lima jam kemudian tiba di terminal Cirebon. Langsung naik becak menuju alamat rumah Darin. Ternyata, sebuah rumah bertingkat yang cukup mewah. Sesudah membayar becak, sayapun mengetuk pintu rumah itu. Muncul seorang tante. Sayapun memperkenalkan diri dan menanyakan Darin. Katanya, Darin sedang ke salah satu kampus di Cirebon.

“Tunggu sebentar, deh. Katanya sebentar,kok. Cuma mengantarkan formulir pendaftaran ke kampus…” ujar tante itu sambil mempersilahkan saya duduk di teras rumah yang cukup luas dan sejuk. Sayapun menunggu Darin sambil mengagumi taman depan rumah yang dipenuhi bunga aneka warna. Sebuah kolam ikan kecil, air mancur dan beberapa pohon cemara kecil. Sebuah taman yang bagus.

Sekitar lima belas menit kemudian, masuklah sebuah mobil Honda putih. Kemudian berhenti di depan garasi. Pengemudinyapun turun dan menuju ke tempat saya. Sayapun berdiri. Darin agak terkejut melihat saya.

“Oh, dari kampus akademi komputer, ya?” sapanya sambil menyalami saya. Diapun kemudian duduk di depan saya. Sayapun langsung menanyakan ke Darin, kenapa kok tidak mengikuti tes seleksi. Darin menjawab bahwa dia akhirnya memutuskan kuliah di Cirebon saja supaya dekat dengan mamanya. Maklum, dia anak tunggal dan papanya sudah lama meninggal. Saya mengangguk-angguk memakluminya. Lagi-lagi, saya sebagai cowok yang normal, tertarik dengan payudara Darin yang montok dan tubuhnya yang semok. Apalagi, Darin mengenakan rok mini yang cukup seksi.

Darinpun bercerita bahwa sebenarnya tiap Sabtu dan Minggu selalu pergi ke Jakarta, menginap di rumah tantenya di Cijantung. Darinpun menyebutkan sebuah alamat dan tentu saya mencatatnya atas seijin Darin. Rupa-rupanya saya tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab, Darin mempersilahkan saya bertemu dengannya di rumah tantenya yang ada di Cijantung. Tentu, sebagai cowok yang belum punya pacar, sayapun merasa dapat angin segar.

Begitulah, akhirnya tiap Sabtu malam atau Minggu pagi saya bertemu Darin di Cijantung. Bahkan kalau Minggu mengajak Darin jalan-jalan. Kadang naik motor Honda 90 , kadang naik angkot, kadang naik taksi. Tanpa terasa, hubungan saya dengan Darin telah berlangsung satu bulan. Namun, rasa-rasanya saya sudah mengenal Darin puluhan tahun lamanya. Darin enak diajak bicara, selalu nyambung, wawasannya luas, cukup dewasa, suka humor dan tahu apa yang saya suka.

Hari Senin, saya ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi, yaitu Pak Firdaus Jamaluddin. Sayang, menurut bagian tata usaha, beiau hari itu tidak bisa datang karena mengantarkan ibunya ke rumah sakit.

“Kok, cepat?” tiba-tiba ada yang menyapa saya. Ternyata Tata Suhata yang juga sedang menunggu dosen pembimbingnya. Siang itu ada sekitar 10 teman-teman seangkatan saya sedang berkumpul. Sayapun duduk di samping Tata.

Ngobrol punya ngobrol, Tatapun tanya tentang Darin. Tentu, saya cerita apa adanya. Mulai kunjungan saya ke rumah Darin di Cirebon hingga kunjungan saya ke rumah tantenya Darin di Cijantung. Juga cerita tentang acara saya dengan Darin. Bahkan sayapun menunjukkan foto-foto saya bersama Darin.

“H e he he…,” Tata tertawa .

“Kok, tertawa?” tanya saya terheran-heran. Semula Tata cuma tertawa saja. Tidak mau membalas pertanyaan saya. Namun sesudah saya desak, akhirnya Tata yang juga berasal dari Cirebonpun mau bercerita. Sebuah cerita yang sangat mengejutkan.

Kata Tata, nama Darin Syahwati di Cirebon sudah cukup terkenal. Pernah terpilih sebagai Ratu Pariwisata Cirebon saat masih duduk di SMA. Pacarnya anak seorang pejabat di kota itu. Namun…kemudian dihamili hingga melahirkan anak. Dan anak pejabat itu tidak mau menikahi  Darin. Anak haramnya dititipkan di sebuah yayasan penampung bayi-bayi terlantar. Dan kata Tata, Darinpun menjadi cewek “begituan” dengan bayaran yang sangat tinggi.

Sayapun tertegun mendengar cerita Tata. Karena Tata adalah sahabat saya yang jujur, maka sayapun percaya. Hampir saya tidak mampu berkata-kata. Maksud hati saya membanggakan Darin di depan Tata, tetapi yang saya dapatkan justru sebaliknya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Darin yang montok dan semok itu.

CERPEN: Vitalia Sesat

Gambar

SIAPA sih yang tidak kenal Vitalia Ramona? Dia pernah jadi Ratu Kampus 1974 saat dia duduk di semester tiga di Fakultas Ekonomi, Universitas Kiyai Tapa, Jakarta Barat. Dia mahasiswi yang cantik, pandai dan cukup gaul. Tidak membedakan mana mahasiswa kaya dan mana mahasiswa miskin. Oleh karena itu, Vitalia sangat disukai teman-teman sekampus. Temannya banyak. Kebetulan saya waktu itu satu angkatan dan bahkan dia menjadi anggota kelompok belajar saya. Kebetulan lagi Vitalia dan saya sama-sama tinggal di Kebayoran Baru, tetangga lagi. Saya di Jl.Prof Djoko Sutono SH dekat STM Penerbangan, dia di Jl. Cikajang dekat Gudeg Bu Tjitro. Kalau saya pulang bawa mobil dan dia tidak bawa, pasti numpang di mobil saya. Begitu juga sebaliknya. Saya tahu benar, Vitalia cewek baik-baik dan rajin beribadah. Bahkan ada rencana akan umroh.

“Eh, ngalamun aja, Mas Harry ini!” tegur Vitalia mengejutkan saya ,yang saat itu sedang duduk santai sendirian di taman kampus.

“Ah, enggaklah!” singkat jawaban saya. Vitalia yang datang sendiripun duduk di sebelah saya, kemudian pesan es kacang ijo kesukaannya. Seperti biasa pesan dua gelas, satu buat saya. Vitalia memang suka traktir teman-temannya, termasuk saya tentunya. Maklum, dia punya usaha butik yang cukup besar di kawasan Mampang. Saat itu ada matakuliah kosong ,karena dosen saya, Pak Mintohardjo sedang dirawat di RS Pertamina, entah sakit apa.

Itulah Vitalia Ramona yang saya kenal pada semester pertama  hingga semester ketiga. Pada semester keempat, ada perubahan yang agak drastis pada diri Vitalia. Pergaulanpun mulai pilih-pilih. Hanya mau bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa yang tergolong mampu. Suka pesta. Kuliahnyapun sering ditinggalkan. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah belajar bersama di kelompok belajar saya. Sebetulnya saya tidak peduli. Tapi, karena Vitalia merupakansahabat baik, sayapun berusaha mencari tahu, ada apa dengan Vitalia yang cantik jelita itu?

Belakangan saya dapat informasi dari Donny, kabarnya usaha butik Vitalia bangkrut karena tempat usahanya kena gusur, bayar pajak mahal dan terakhir mobilnya hilang dicuri orang. O, kalau itu persoalannya, saya bisa memakluminya. Cuma sayangnya, Vitalia tidak pernah menceritakan semuanya itu kepada saya. Tapi, tak apalah. Itu masalah Vitalia. Lagipula sudah terlanjur terjadi. Sayapun tidak bisa membantu apa-apa.

“He! Harry! Kamu tahu nggak, bagaimana khabar Vitalia sekarang?” tanya Gaguk pada semester kelima di mana Vitalia sudah tak pernah kuliah lagi. Kabarnya ambil cuti satu tahun karena mau umroh dan sibuk dengan shooting film.

“Sibuk shooting? Betul, tapi Harry tahu nggak berita-berita dari mulut ke mulut tentang Vitalia?” tanya Gaguk yang saat itu kebetulan sedang makan siang bersama saya di kantin kampus.

“Kabar apa?” saya ingin tahu.

“Astaga! Harry teman baik Vitalia kok sampai tidak tahu, sih? Vitalia sekarang kan sering dipesan pejabat?”

“Maksudmu?”

“Biasalah! Cari duit! Jual tubuh!”

“Ah! Mudah amat Gaguk percaya? saya tahu Vitalia rajin beribadah. Apalagi mau umroh.Nggak mungkinlaaah,” bantah saya.

“Hidup di Jakarta ini segala kemungkinan bisa terjadi, Harry”

“Dari mana Gaguk tahu?”

“Namanya juga kabar burung. Ya dari mana-manalaaah…Gak penting. Tinggal Harry mau percaya atau tidak?”

Lagi-lagi, semula saya tidak peduli. Tapi, naluri keingintahuannya semakin lama semakin besar. Saya berusaha mencari informasi dari teman-teman dekat Vitalia. Ternyata, semua menjawab tidak tahu. Maklum, merekasudah lama tidak bertemu dengan Vitalia.

Nah, suatu hari secara tidak sengaja saya bertemu dengan teman lama. Teman se-SMA dulu. Saya tak sengaja bertemu di Wisma Nusantara, Jl.MH Thamrin. Saat dia turun dari lift dan saya akan naik lift. Saat itu saya akan menemui sahabat saya di salah satu kantor di gedung itu. Dan yang membuat saya terhenyak yaitu, teman saya, namanya Jeffry, turun bersama Vitalia. Ada apa ini? Akhirnya sayapun ngobrol-ngobrol sebentar. Ternyata, Jeffry punya kantor di gedung itu. Punya usaha sendiri. Siang itu dia mengajak Vitalia makan siang di salah satu resto di Jakarta Pusat. Saya tak sempat bicara dengan Vitalia. Jeffry langsung menuju ke mobl Mercy-nya bersama Vitalia. Untunglah, saya sempat minta kartu nama Jeffry.

Malam harinya saya telepon Jeffry. Maklum, jaman dulu belum ada HP atau ponsel. Saya di rumah dan Jeffrypun di rumah. Biasalah, ngobrol-ngobrol jamannya masih sekolah di SMA. Terus bicara soal perkuliahan dan pekerjaan. Jeffry tidak kuliah karena lulus SMA langsung mendirikan perusahaan di bidang ekspor-impor. Sudah jadi pengusaha sukses dan kaya raya.

Saat saya tanya tentang Vitalia, awalnya hanya mengaku Vitalia sebagai sahabat bisnis saja. Namun, sesudah saya pancing, akhirnya Jeffry berkata jujur bahwa dia saat itu memang punya acara kencan dengan Vitalia dengan tarif Rp 3 juta short time. Itu tarif tahun 1974. Cukup mahal.

“Astaga!” gumam saya tak percaya. Kenapa Vitalia melakukan itu? Apakah karena usaha butiknya bangkrut? Bukankah honor dari main filmnya cukup banyak? Lantas, apa motivasinya Vitalia seperti itu?

Esok harinyapun saya langsung bercerita ke teman-teman sekampus. Sebagian terperangah tidak percaya. Namunada satu dua yang percaya bahkan mengiyakan. Katanya, Vitalia beberapa bulan itu memang tersesat karena bangkrut dan terpengaruh ajakan Renny, teman kuliah yang sudah lama terkenal  sebagai “ayam kampus”. Sayapun mulai percaya bahwa Vitalia memang tersesat.

Tapi, lagi-lagi buat apa saya peduli dia? Pacar bukan. Saudara bukan. Hanya sahabat biasa saja. Kenapa saya mengurusi yang begituan? Bukankah fokus ke dunia perkuliahan itu lebih baik? Urusan Vitalia adalah urusan Vitalia. Tidak ada hubungannya dengan urusan saya. Sejak saat itu, teman-teman sekampus menjuluki Vitalia Ramona dengan sebutan Vitalia Sesat. Kabarnya, Vitalia telah keluar dari Universitas Kiyai Tapa dan kuliah di ASMI, Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia.

Tanpa terasa. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan.Tahun berganti tahun. Saya sudah lulus sebagai sarjana dan bekerja pada sebuah perusahaan konsultan manajemen di kawasan Jl.MH Thamrin. Tepatnya di Wisma Nusantara. Sama dengan kantor Jeffry. Bedanya, Jeffry di lantai 4 sedangkan saya di lantai 9.

Hari pertama kerja saya kerja, saya terkejut. Ternyata saya satu kantor dengan Vitalia.

“Vitalia?!” sapa saya hampir tak percaya. Vitaliapun berdiri dan menyalami saya.

“Kaget,ya? Saya membaca lamaran kerja Mas Harry dan saya usulkan ke pimpinan supaya Mas Harry bekerja di sini…” jawab Vitalia. Sayapun tertegun.

Sejak itulah, hubungan saya dengan Vitalia kembali akrab. Karena rumah saya dan rumah Vitalia di Kebayoran berdekatan, maka sayapun selalu bersama-sama berangkat dan pulang kantor. Maklum, sejak bangkrut, Vitalia tidak punya mobil lagi.

Entahlah. Mungkin tiap hari saya bertemu dengan Vitalia, sedikit demi sedikit, sayapun jatuh cinta kepada Vitalia. Apalagi Vitalia juga masih hidup sendiri. Tapi, saya punya konflik batin yang cukup berat. Apakah saya harus menikah dengan Vitalia yang dijuluki teman-teman sebagai Vitalia Sesat degan tarif Rp 3 juta short time?

Setahun saya bekerja di perusahaan itu. Akhirnya Vitaliapun mengaku bahwa dulu memang dia tersesat karena butuh uang banyak untuk biaya hidup sehari-hari. Diapun menyatakan telah bertaubat dan jika bersedia, Vitalia mengajak saya umroh bersama, bulan depan. Niat umroh Vitalia yang bertahun-tahun tertunda.

Begitulah, bulan berikutnya saya dan Vitalia menjalankan umroh. Dan di sana, kami berdua berjanji akan menjadi suami istri yang baik. Akan menjadi ayah dan ibu yang baik bagi anak-anak. Akan menjadi umat beragama yang taat. Dan memang benar. Beberapa bulan kemudian saya menikah dengan Vitalia. Dengan ikhlas, saya memaafkan masa lalu Vitalia yang kelam. Apalagi, Vitalia sudah bertaubat.

CERPEN: Namaku Niken Bukan Claudia

Gambar

SAAT itu umur saya 40 tahun. Dua tahun saya cerai dengan Claudia. Tetap mengelola resto ayam goreng. Resto yang semula saya beri nama Claudia Fried Chicken saya ganti menjadi Resto New York Fried Chicken. Resto yang dua tahun lalu merupakan resto kecil telah berkembang. Tempatnyapun berpindah ke Jl.Dr.Saharjo. Lebih besar dan halaman parkirnya lebih luas. Karena reesto berkembang pesat, maka saya mengundurkan diri dari kantor saya yang kerja saya berdasarkan kontrak. Ada proyek saya bekerja dan tidak ada proyek saya tidak bekerja. Penghasilan saya mengelola resto lebih besar dibandingkan gaji yang pernah saya terima dari perusahaan. Bahkan saya mampu membeli rumah kredit di BSD Cluster Catelya, Tangerang Selatan, sebuah rumah minimalis dua lantai dan mampu kredit mobil. Ruelum saya tempati. Sementara masih tinggal di resto tempat saya bekerja.

Seperti biasa, tiap Minggu pagi saya mengontrol rumah saya di Cluster Catelya. Siang harinya, seperti biasa saya menuju ke ITC Mall untuk makan siang di Pizza Hut. namun sebelumnya saya menuju ke ATM Bank BRI dulu. Ternyata di dalamnya masih ada orang yang menggunakan ATM. Sayapun sabar menunggu.

Tak lama kemudian, orang yang di dalam ruang ATMpun keluar. Betapa terkejut saya melihat orang itu. Tanpa sengaja dan reflek, saya memanggilnya.

“Claudia…!” panggil saya. Wanita muda itupun terkejut. sayapun segera sadar bahwa wanita yang mirip Claudia pastilah bukan Claudia. Dia sempat berhenti memandangi saya. Mungkin, karena merasa tidak kenal atau mungkin itu bukan nama saya, wanita muda itupun meneruskan perjalanannya menuju ke tempat parkir mobil. Entah kenapa saya mengikutinya dari belakangnya.

“Maaf, kalau saya memanggil Anda Claudia…” saya mendekatinya. Wanita muda itu menengok ke arah saya sebentar dan terus berjalan menuju ke tempat parkir. Sepuluh langkah kemudian saya mengucapkan kata-kata yang sama, namun wanita muda itu tetap cuek.

Ketika dia akan membuka mobil, untuk ketiga kalinya saya meminta maaf. Dia tak jadi membuka pintu mobilnya. Dia menatap saya beberapa saat. Mungkin dia tahu tidak bermaksud jahat, diapun bersikap ramah.

“Ada apa dengan Anda?” dia ingin tahu.

“Maaf. Anda mirip sekali dengan mantan isteri saya,” sayapun mengambil dompet dan menunjukkan foto itu kepadanya. Dia menerima foto itu dan melihatnya. Tampa wajahnya berubah bersinar.

“Wow! Iya,ya? Mirip sekali. Kok, bisa sih…” berkali-kali dia melihat ke arah saya dan ke arah foto itu..Karena dia menuunjukkan sikap yang ramah, maka sayapun memberanikan diri untuk berkenalan. Ternyata dia menyambutnya.

“Harry,” saya menjabat tangannya.

“Niken. nama saya Niken. Bukan Claudia…” candanya. Diapun tertawa kecil. Tampaknya dia terburu-buru. Sebelum masuk ke mobil, saya meminta nomor HP-nya. Ternyata dia memberikan kartu nama. Sayapun memberikan kartu nama. Tak lama kemudian mobil mulai beranjak pergi.

“Main-main ke rumah Niken, Mas Harry,” sapanya hangat sambil melambaikan tangan lewat jendela mobil. Tak lama kemudian mobil Avanza hitam itupun tak tampak lagi di mata saya. Segera saya menuju ke Pizza Hut untuk makan siang.

Sambil makan siang, saya membayangkan kembali pertemuan yang aneh tadi. Kok ada ya, wanita yang segala-galanya mirip Claudia? Rambutnya, matanya, bibirnya, senyumnya, langsingnya. Segala-galanyalah.

Selama seminggu, saya dan Nikenpun saling kontak lewat HP. Dari ceritanya, sayapun mulai tahu siapa Niken. Seorang janda muda. Suaminya seorang pilot telah meninggal dalam kecelakaan penerbangan Surabaya-Manado. Suaminya dan semua penumpang kecebur laut dalam dan hingga sekarang semua jenasah penumpang pesawat itu tidak diketemukan. Niken punya seorang anak perempuan bernama Dieta. Masih sekolah di taman kanak-kanak. Niken cewek Bali. Dia mantan pamugari dari Bouraq Airways.

Karena saya sudah tahu Niken berstatus janda, maka hari Minggu itu dengan mengendarai mobil saya menuju ke rumahnya di Komplek Perumahan Banjar Wijaya, sekitar Cipondoh, Tangerang. Setelah tanya sana tanya sini, akhirnya ketemu juga rumahnya. Karena sudah janjian, maka Niken dan anaknyapun menyambut kedatangan saya.

“Selamat datang Mas Harry,” Niken mencium tangan saya dan disusul anak perempuannya yang juga mencium tangan saya. Kami berduapun ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Rumahnya ternyata juga dua lantai. Tertata rapi dan tampak indah. Terkesan Niken pandai memilih perabotan rumah. Pandai memilih warna. Pandai mengkombinasikan warna. Terkesan seleranya tinggi.

“Rumah yang indah dan nyaman,” komentar saya. Niken cuma tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sementara anak perempuannya sibuk bermain-main sendiri di lantai agak jauh dari kami berdua.

Enam bulan kemudian sayapun menikahi Niken. Terlalu cepat? Waktu bukan ukuran sebab kami berdua sudah merasa cocok. Menikah di Kota Singaraja, Bali, sebab kedua orang tuanya tinggal di kota itu. Berlangsung dua hari. Hari pertama berpakaian adat Bali dan hari kedua berpakaian adat Jawa. Kedua orang tua dan dua saudara sayapun hadir. Claudia tidak bisa hadir. Untunglah, Niken beragama Islam sehingga tidak ada masalah dalam pernikahan itu. Bulan madunya cuma jalan-jalan di Pantai Lovina yang tidak jauh dari Kota Singaraja. Seminggu kemudian kami kembali ke Jakarta dan Tangerang.

Seminggu saya tinggal di Jakarta dan seminggu tinggal di rumah Niken dan seminggu tinggal di rumah saya di BSD Catelya. Urusan Resto New York Fried Chicken saya serahkan ke salah seorang karyawan yang memiliki kemampuan manajerial yang baik sekaligus saya angkat sebagai pengelola reesto sepenuhnya. Saya tinggal memantau dan menerima laporan. Bahkan sayapun akhirnya membuka cabang reesto di ITC Mall dekat Carrefour. Inipun pengelolaannya saya serahkan ke manajer resto yang saya rekrut melalui seleksi. Saya tidak mau repot-repot mengurus reesto.

Niken ternyata sangat berbeda dengan Claudia. kalau Claudia boros, ternyata Niken hemat dan pandai mengelola uang. Kalau Claudia terlalu sering ke salon, Niken kadang-kadang saja. Kalau Claudia tidak suka memasak, Niken suka sekali memasak. Namun, kekurangan-kekurangan Claudia tak saya katakan ke Niken.

Karena usia Niken saat menikah sudah 35 tahun, maka Niken secara jujur mengatakan tidak mau punya anak dari saya. Takut ada apa-apa, katanya. saya memakluminya dan tidak keberatan.

“Saya menganggap Dieta sebagai anak kandung saya,” ucap saya ke Niken. Saat itu Dieta telah duduk di SD kelas satu. Karena sekolahnya agak jauh, Nikenlah yang rajin antar jemput. Namun karena saya membuka cabang resto lagi memakai modal Niken dan atas usul Niken, maka urusan antar jemput Dietapun diserahkan ke mobil antar jemput yang sudah terkenal baik pelayanannya. Niken membuka resto di kawasan Alam Sutera dan pengelolaannyapun diserahkan ke manajer resto melalui proses selsi yang ketat.

Boleh dikatakan saya sukses. Kredit rumah langsung saya lunasi. Demikian juga kredit mobil langsung saya lunasi sebelum waktunya. Supaya saya tidak mondar-mandir dari rumah saya di BSD Catelya ke rumah Niken di Banjar Wijaya, maka rumah di BSD Catelyapun saya kontrakkan. Dengan demikian saya menetap di rumah Niken. KTP sayapun KTP Banjar Wijaya.

Hari Minggu berikutnya, saya, Niken dan Dieta jalan-jalan e resto saya yang ada di Jl.Saharjo, Tebet. Namn, baru masuk pintu, saya terkejut karena di situ ada Claudia dan Bella. Claudia yang sedang makanpun terkejut. Akhirnya, sayapun memperkenalkan Niken ke Claudia dan Bella.

“Kok, tante mirip mama saya, sih?” celetuk Bella yang sejak dulu bicaranya memang ceplas ceplos. Claudiapun heran melihat Niken. Akhirnya kami berlima makan bersama di satu meja. Suasananya penuh kekeluargaan. Claudia meminta maaf karena tidak sempat menghadiri pernikahan saya dan Niken di Bali.

Begitulah ceritanya. Walaupun saya tak punya anak dari Niken, tapi saya merasa bahagia. Dan tanpa terasa sudah dua tahun saya menikah. Tanpa terasa telah resto saya telah berkembang sebanyak 10 resto di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.  Saya juga mendapat undangan pernikahan Claudia dan mendengar kabar, Claudia akan menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, seorang duda tampan tanpa anak. Syukurlah.

—ooOoo—

CERPEN: Claudia Kau Terlalu Cantik Untukku

FACEBOOK-CerpenClaudiaKauTerlaluCantikUntukku

SAYA masih ingat. Saat itu saya berumur 30 tahun. Saya mengelola Lembaga Pendidikan Komputer dan Internet INDODATA, di Komplek Perumahan Pondok Hijau Permai, dekat pintu tol, Bekasi Timur. Berhubung tempat kursus ,masa kontraknya habis dan tidak bisa diperpanjang, terpaksa kontrak rumah di empat lokasi. Yaitu di Komplek Perumahan Margahayu, Komplek Perumahan Jatimulya dan Komplek Perumahan Taman Narogong Indah dan di Jl. Akasia, Komplek Perumahan Pondok Hijau Permai. Di Jl.Akasia inilah saya sebagai pengelola dan sekaligus sebagai tempat tinggal saya.

Ada salah satu siswi yang rajin. Selalu, setengah jam sebelum kursus dimulai, siswi itu sudah datang. Sambil menunggu waktu kursus, dia suka ngobrol dengan karyawati saya, kadang dengan Lisa dan kadang dengan Yenny, kadang dengan Dhanny atau siapa saja. Dia datang selalu diantar mobil Mercy dan diantarkan sopir pribadinya. Dia dari keluarga kaya Jakarta tetapi pindah ke Bekasi karena ayahnya pindah tugas ke Bekasi.

Saya yang saat itu baru putus pacar, tentu tertarik melihat Claudia karena dia merupakan siswi tercantik dan enak diajak bicara. Masalahnya, dia terlalu cantik dan terlalu kaya buat saya. Mungkin juga untuk cowok-cowok lain. Terus terang, saya tak mempunyai keberanian untuk mendekati Claudia. Minder.

Namun, suatu hari Minggu, di mana merupakan hari libur dan tidak ada kursus, tiba-tiba Claudia datang bersama mamanya. Naik Mercy dengan sopir pribadinya.

“Oh, selamat pagi, Tante. Silahkan  masuk. Ada apa, nih? Tumben….” saya mempersilahkan masuk. Claudia dan Tante Marinapun duduk di ruang tamu. Ternyata, mamanya Claudia mengajak rekreasi ke Ancol. Maklum, Claudia anak tunggal.

“Kok, mengajak saya, Tante? Kan, teman kuliah Claudia banyak?” saya heran.

“Betul. Kata Claudia sih, semalam dia mimpi ke Ancol sama Mas Harry. Dia bilang, mimpinya ingin jadi kenyataan…” Tante Marina menjelaskan. Saya tersenyum. Saya merasa, kok aneh-aneh saja Claudia ini. Namun, karena kebetulan hari itu saya tidak ada acara, sayapun menyanggupinya. Sesudah mengunci semua pintu rumah, saya bersama Tante Marina dan Claudiapun segera masuk ke mobil. Mobilpun langsung melaju.

Bukannya langsung masuk jalan tol, tetapi ke dalam Kota Bekasi dulu. Ternyata, menurunkan Tante Marina. Tidak ikut. Akhirnya, saya dan Claudia duduk berdua di bangku belakang. Tentu, bermacam-macam rasa yang ada pada diri saya. Antara senang, minder, tak percaya, gede rasa dan lain-lainnya.

“Apakah ini berarti Claudia ada hati sama saya?” saya tiba-tiba merasa GR. Gede rasa. Ya, mudah-mudahanlah.

Begitulah. Hari itu seharian saya rekreasi di Ancol mengunjungi berbagai lokasi wisata, berfoto dan makan siang bersama di salah satu resto. Hampir sore kami berduapun pulang. Semalaman saya tidak bisa tidur. Selalu bertanya, apa iya cewek secantik Claudia suka sama saya? Apa yang diharapkan dari saya? Rumah kontrak. Mobil tak punya. Akhirnya saya mengambil keputusan, saya akan menganggap Claudia sebagai sahabat biasa saja. Tidak lebih dari itu. Saya merasa minder. Saya tetap yakin, tidak pantas punya pacar secantik Claudia. Bahkan saya yakin, mungkin Claudia bersikap baik ke saya hanya karena ingin nilai-nilai ujian kursus komputernya mendapat nilai baik atau nilai tinggi.Maklumlah, semua instruktur  komputer saya tahu, Claudia tak begitu pandai di bidang ilmu komputer.

Karena saya menganggap Claudia sebagai sahabat biasa, konsekuensinya saya tiap malam Minggu tidak pernah ke rumah Claudia. Tidak pernah ngapeli. Memang, walaupun saya sedikit berharap, namun rasa minder lebih menguasai pribadi saya. Celakanya, justru tiap malam Minggu, Claudialah yang datang ke rumah kontrakan saya. Ya, terpaksa saya tidak bisa menolak.

Claudia tidak cuma sangat cantik, tetapi juga sangat enak diajak bicara. Senyumnya, tertawanya, enak dilihat dan didengar. Sehingga seringkali tanpa terasa, berjam-jam kami mengobrol dan bercanda. Lama-lama saya yakin kalau Claudia suka sama saya. Cuma, saya tetap bersikap minder. Hmm, Claudia terlalu cantik dan terlalu kaya buat saya.

Akhirnya, sebagai laki-laki normal, sayapun tak bisa lagi menutupi perasaan saya yang sebenarnya. Kalau semula tiap malam Minggu, Claudia yang datang ke rumah saya, akhirnya sayalah yang datang ke rumah  Claudia. Cukup naik motor bebek yang saya miliki.

Tanpa terasa, hubungan saya dengan Claudia telah berjalan tiga tahun. Lembaga pendidikan komputer yang saya kelola sudah saya bubarkan karena saya mendapat pekerjaan sebagai konsultan manajemen dengan gaji yang cukup besar. Kantornya di Jakarta.

Tanpa terasa pula, Claudia telah menjadi isteri saya. Kami berdua kontrak rumah kecil di kawasan Tebet, beberapa ratus meter dari kantor tempat saya bekerja. Tentu, pernikahan atau perkawinan yang sangat menggembirakan. Betapa tidak. Punya isteri cantik dan punya pekerjaan dengan gaji yang sangat besar.

Namun beberapa bulan kemudian, saya baru menyadari siapa Claudia yang sebenarnya. Dia memang gadis baik-baik. Bahkan baru saja lulus dari sebuah akademi komputer. Memang tidak begitu pandai, tetapi enak diajak bicara dan penuh pengertian. Mudah bergaul dan cara berpikirnya luas. Itu sudah lama saya tahu. Yang saya baru tahu yaitu, Claudia adalah penderita penyakit jantung.

Saat itulah saya baru tersadar. Tapi sudah terlanjur. Apapun resikonya, harus saya tanggung. Termasuk menanggung biaya pengobatan sakit jantung yang cukup mahal. Bahkan, Claudia sebelum menikah dengan saya, bahkan sebelum mengenal saya, sudah dua kali menjalani operasi jantung. Satu kali di Indonesia dan satu kali di Singapura. Biayanya tentu luar biasa mahal.

Rencana saya untuk kredit mobil dan kredit rumahpun terganggu. Apalagi saya pernah membayar operasi jantung Claudia. Satu kali tapi sudah puluhan juta rupiah. Impian saya untuk memiliki mobil pribadi dan rumah pribadipun sangat terkendala. Semua gaji harus digunakan sehemat mungkin supaya saya bisa menabung. Untuk dana darurat. Untuk dana cadangan.

Tanpa terasa, sudah lima tahun saya berumah tangga. Punya anak perempuan cantik dan lucu. Bella namanya. Anak kecil yang cerdas. Selalu suka minta oleh-oleh ice cream jika saya akan berangkat ke kantor. Dan satu hal lagi yang saya ketahui dari Claudia yaitu, ternyata selera Claudia terlalu tinggi. Selalu tergoda membeli pakaian yang mahal, perhiasan yang mahal dan alat-alat kecantikan yang mahal. Gemar sekali ke salon ataupun ke tempat-tempat kebugaran, aerobik dan suka belanja. Dengan kata lain, Claudia tidak mampu mengelola uang dengan baik.

Dan musibahpun mulai menerpa saya. Perusahaan tempat saya bekerja, belum mendapatkan proyek baru. Terpaksa saya harus diistirahatkan sementara. Entah berapa lama. Maklum, saya bekerja sebagai staf ahli atau konsultan tetapi sistem kontrak.

Ternyata, satu tahun saya menganggur. Tabungan hampir habis. Terpaksa cari pekerjaan lagi. Tidak mudah. Dengan modal sedikit terpaksa saya membuka resto mini khusus ayam goreng. Semacam mini Kentucky, begitulah. Untunglah, lokasinya dekat sekolah SMA. Sehingga saat bubaran sekolah cukup banyak juga pelajar yang datang untuk membeli. Tentu, juru masaknya bukan Claudia, tetapi menggaji orang lain. Maklum, Claudia tidak bisa memasak dan tidak mau belajar memasak.

Meskipun demikian, hasil dari resto mini belum mencukupi kehidupan sehari-hari. Apalagi gaya hidup Claudia sangat boros. Saat itulah, pertengkaran dimulai. Semula hanya pertengkaran kecil, tetapi lama-lama membesar juga.

Akhirnya, saya merasa tak mampu lagi punya isteri Claudia. Bukan saya yang punya inisiatif menceraikan Claudia. Tetapi, atas permintaan Claudia, akhirnya sayapun menceraikannya. Saya iklaskan anak saya, Bella, ikut mamanya. Claudia kembali pulang ke rumah orang tuanya yang kaya raya. Saya tinggal di rumah kontrakan sendiri.

“Sejak dulu saya sudah punya feeling, Claudia terlalu cantik buat saya. Tapi saya tak pernah punya feeling kalau Claudia punya penyakit jantung. Juga tak punya feeling kalau Claudia pemboros, tidak bisa memasak, terlalu sering ke salon kecantikan. Ternyata, saya salah memilih…” saya hanya bisa menggerutu sendirian.

—ooOoo—

CERPEN: Ksatria Gemblung dari Desa Cikampret

PAK Kades sebenarnya punya nama asli, yaitu Pak Keboyono. Dia terpilih sebagai kades  pertamakali karena ada kongkalikong dengan salah seorang oknum panitia pemilihan. Caranya yaitu, memanipulasi data perolehan suara. Dan sebagai imbalannya, oknum panitia pemilihan tersebut diangkat sebagai sekdes atau sekretaris desa.

“Pak Keboyono itu borosnya bukan main. Masak untuk proyek pembangunan desa, sudah dapat bantuan dari pemerintah, masih juga berhutang ke bank. Kekayaan desa dijadikan jaminan. Celakanya warga desa Cikampret yang harus membayar utang-utang itu beserta bunganya…,” begitu gerutu salah seorang warga Desa Cikampret bernama Pak Singodimejo.

“Betul. Lagipula warga juga curiga. Jangan-jangan sebagian uang pinjaman dari bank itu dikorupsi. Soalnya. hidup Pak Keboyono mewah sekali. Uang kas desa juga dibelikan mobil mewah. Masak sih, mobil kades harganya milyaran rupiah? Sementara kehidupan warga desa masih banyak yang miskin,” sahut Mbok Marginem.

Begitulah selentingan omongan warga yang sedang makan di warung Mbok Tulkiyem. Kebetulan saat itu saya juga sedang makan siang di warung itu. Saya termasuk warga baru di desa tersebut. Pindahan dari Desa Sumbang, Kecamatan Mbegudul, Jawa Tengah. Saya agak kagum melihat pembangunan didesa itu. Banyak berdiri rumah-rumah mewah, tetapi kabarnya kebanyakan milik orang kota. Pegawai-pegawai kantor Pak Kades juga hidupnya mewah. Semua pegawainya punya mobil.

“Iya, sih. Hidupnya mewah. Tetapi warga dibebani utang bank yang sangat besar. Mungkin sampai tujuh turunan juga tidak akan lunas,” kata Bu Mintuk kepada saya yang saat itu juga sedang makan siang di warung Mbok Tulkiyem. Saya hanya bisa manggut-manggut prihatin.

“Kabarnya banyak tanah desa yang dijual ke orang-orang kota, ya Bu,” tanya saya ke Bu Mintuk.

“Oh, iya,Pak Harry. Tanah-tanah desa dijual itu saat Pak Keboyono mau menghadapi pemilihan kades yang kedua. Uangnya dibagi-bagikan ke rakyat sebagai money politic. Juga, kabarnya dia juga menyuap oknum panitia pemilihan untuk memanipulasi data perolehan suara. Hasilnya, dia menang lagi. Dan sebagai imbalannya oknum tersebut diangkat sebagai bendahara desa…” jawab Bu Mintuk. Lagi-lagi saya hanya bisa manggut-manggut.

“Tapi, kenapa Pak Keboyono diolok-olok sebagai Ksatria Gemblung?” saya ingin tahu.

“Ha ha ha…! Ceritanya, Pak Keboyono dapat penghargaan dari Pak Gubernur karena dianggap telah berhasil memajukan desanya. Gelar aslinya sih Ksatria Padesan. Karena banyak warga di sini tidak suka, maka warga di sini menjulukinya sebagai Ksatria Gemblung. Karena perut pak kades gendut seperti orang terkena penyakit kembung. Ha ha ha…” cerita Bu Mintuk.

“Ha ha ha…!” sayapun ikut tertawa terpingkal-pingkal.

“Warga curiga, jangan-jangan Ksatria Gemblung ini korupsi besar-besaran, tetapi warga mengalami kesulitan untuk membuktikannya. Soalnya kalau ada warga yang bernada menuduh, pasti akan dipukul babinsa, aparatnya Pak Kades. Bahkan Pak Kades juga didukung preman-preman bayaran. Jadi, warga berada di pihak yang tidak bisa berbuat banyak…” Bu Mintuk menjelaskan.

“Wah, korupsi ada di mana-mana, ya? Bukan hanya di jakarta, tetapi sudah melanda Desa Cikampret.”

“Betul! Ada sih warga yang membentuk komunitas anti korupsi. Tetapi tidak bisa berbuat banyak karena terus dapat intimidasi dari preman-preman bayaran itu. Atau ada oknum komunitas anti korupsi yang disuap. Warga dalam posisi yang lemah…”. Tak henti-hentinya Bu Mintuk bercerita tentang kebusukan-kebusukan Pak Keboyono alias Ksatria Gemblung.

Walaupun saya tinggal di Desa Cikampret, namun dari masukan-masukan warga desa, saya tahu watak-watak Pak Keboyono. Antara lain pesolek seperti hombreng. Suka curhat kemana-mana. Tidak tegas alias peragu. Bahkan penakut. Kabarnya, pernah mau berkunjung ke desa sebelah, Desa Cikesah, karena akan didemo, akhirnya Pak Keboyono membatalkan rencananya berkunjung.

Pak Keboyono termasuk kades yang sangat boros. Suka melakukan perjalanan ke berbagai kota, terutama kota-kota besar. Alasannya macam-macam. Menghadiri rapat inilah rapat itulah. Bahkan senang sekali mengumpulkan penghargaan dan pujian-pujian dari para bupati dari berbagai kota yang dikunjungi.

Di samping boros, praktek-praktek korupsi di kantor desa juga bukan main. Uang apa saja yang dibayarkan warga, pasti dikorupsi. Besarnya korupsi sekitar 30%, begitu hasil audit dari pihak kabupaten. Namun sayangnya tidak ada tindakan lebih lanjut. Rupa-rupanya korupsi memang sudah berjamaah. Jangan-jangan yang mengaudit juga sudah disuap.

“Semua proyek ditangani antek-anteknya Pak Keboyono…” sambung Bu Mintuk. Lagi-lagi saya cuma bisa manggut-manggut. Berbeda sekali dengan desa saya sebelumnya, bersih, jujur, aman dan tidak ada korupsi. Toh desa saya sebelumnya juga bisa maju pesat.

Memberantas korupsi memang sulit. Apalagi kalau sudah berjamaah. Apalagi melibatkan oknum aparat penegak hukum, melibatkan oknum tentara, melibatkan orang-orang politik. Hampir tidak mungkin memberantasnya. Semuanya sudah gila harta. Ingin hidup mewah. Agama hanya merupakan simbol saja. Ibadahnya hanya basa-basi saja, hanya untuk memberi kesan mereka itu orang suci. Padhal moralnya sudah bejat. Semua warga Desa Cikampret tahu semua itu, tetapi tetap tidak berdaya.

“Lantas, bagaimana mengatasi masalah ini?” tanya saya.

“Ya, kita hanya berharap bahwa pemilihan kades mendatang akan menghasilkan kades yang bersih, jujur dan tegas. Untuk itu warga harus mengamati dengan cerdas siapa saja yang akan duduk di panitia pemilihan. Juga harus cerdas melihat kualitas para calon kades. Maklum, kades dipilih langsung oleh warga”. Cukup panjang Bu Mintuk menjelaskan.

“Ya, semoga warga akan mendapatkan calon kades yang amanah, fatonah, shidiq dan tabliq…Jangan sampai dapat kades seperti Ksatria Gemblung lagi…,” ujar saya. Sesudah membayar makanan, sayapun meninggalkan warung Bu Tulkiyem. Segera menuju ke motor dan mengendarainya berputar-putar ke pelosok desa. Melihat kehidupan nyata warga desa yang kebanyakan masih hidup miskin, sementara pak kades dan para aparatnya hidup bermewah-mewah.

Di zaman edan ini memang sulit mencari pemimpin yang jujur, bersih, cerdas, berwibawa, nisa dipercaya dan merakyat. Zaman yang penuh kepalsuan, penuh penipuan, penuh kecurangan, penuh kedholiman. Orang menjadikan agama hanya sebagai aksesori kehidupan. Ibadahnya hanya basa-basi saja. Di mana ada kesempatan korupsi, maka korupsilah mereka. Mereka lebih mengikuti bisikan-bisikan setan daripada bisikan-bisikan malaikat.

Di negeri ini cukup banyak pemimpin-pemimpin yang layak mendapat predikat sebagai “Ksatria Gemblung”. Gemblung bisa berarti tidak waras atau gila atau sinting. Kelihatannya waras, tetapi jiwanya sudah sakit parah. Moralnya bejat. Mereka tidak takut lagi hukuman yang akan dijatuhkan Tuhan. Mereka tak percaya dan tidak peduli neraka. Yang penting korupsi, hidup mewah, bersenang-senang, urusan belakangan. Kalau diadili, mereka kan menyuap atau mengintimidasi para penegak hukum. Andaikata dipenjara, mereka bisa membeli remisi. Bisa keluar masuk penjara kapan saja asal membayar. Zaman edan memang masih berlangsung lama.

“Dasar gemblung…,” gerutu saya sambil mengendarai motor menuju ke kota karena ada urusan bisnis dengan rekan bisnis saya. Bisnis modif motor.

—ooOoo—

CERPEN MISTERI : Misteri Kamar Penyimpan Beras

BOJONEGORO. Saat itu saya masih duduk di bangku SMPN 2 Kelas 1. Dekat dengan rumah saya yang berlokasi di Jl.Trunojoyo No.4. Sebuah rumah besar seperti  istana dan berdiri di atas tanah seluas 5.000 meter persegi. Sekarang dipakai untuk kantor pelayanan pajak. Sebesar kantor PMI. Lokasi di tengah kota. Di situlah masa kecil saya. masa kanak-kanak saya yang sangat menyenangkan.

Saat itu kakak-kakak saya sudah pindah ke Surabaya, jakarta dan lain-lain untuk melanjutkan kuliah ataupun bekerja. Ayah sibuk mengurus Yayasan SMP Nuswantara yang ada di belakang rumah. Ibu sibuk memasak di dapur. Tak jarang saya bermain sendiri di rumah. Atau menghabiskan waktu untuk membaca buku-buku komik, buku silat, psikologi, ekonomi dan apa saja.

Ada satu hal yang membuat saya merasa aneh. Kenapa tiap kali saya mengambil sepeda ontel yang disimpan di kamar penyimpan beras, buluk kuduk saya berdiri. Padahal itu pagi hari. Memang terasa aneh, padahal tidak ada sesuatu yang sebenarnya patut dicurigai. Tapi indera keenam saya mengatakan, ada sesuatu di kamar itu. Entah apa, saya belum bisa menjabarkannya.Yang pasti kamar tersebut juga berfungsi untuk menyimpan berkarung-karung beras untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Di hari yang lain, ketika saya akan mengambil sepeda di kamar tersebut, saya mendengar suara anak kecil menangis. Hanya beberapa detik. Bulu kuduk sayapun merinding. Meskipun demikian saya tetap memberanikan mengambil sepeda. Hal itupun sudah saya ceritakan ke ibu saya.

“Ah, kamu halusinasi saja. Ibu kan sudah puluhan tahun menempati rumah ini. Tidak pernah sekalipun mendengar suara-suara aneh di kamar penyimpan beras itu. Apalagi tiap hari ibu atau Mbok Ni juga mengambil beras. Tidak ada apa-apa. Sudahlah, jangan dipikirkan.” begitu jawaban ibu. Sebenarnya saya mangkel juga mendengar jawaban seperti itu. Tapi apa boleh buat, saya tidak bisa meyakinkan ibu saya.

Seminggu kemudian, suara anak kecil menangis itu terulang lagi. Hanya beberapa detik. Saya memberanikan diri untuk melihat seisi kamar penyimpan beras itu. Semua lemari saya buka, tidak ada apa-apa. Tiap sudut saya periksa, tidak ada apa-apa. sayapun ceritakan hal tersebut ke ayah saya. jawabannya sama dengan ibu saya. katanya, saya mengalami halusinasi. Kebetulan sejak SMP saya suka membaca buku-buku psikologi sehingga saya tahu apa itu halusinasi dan sekaligus saya yakin saya tidak mengalami halusinasi. Tetapi, lagi-lagi saya tak punya cara untuk meyakinkan ayah akan adanya suara yang aneh itu.

Akhirnya, sewaktu di sekolah, saya ceritakan hal tersebut ke teman-teman. Antara lain ke Supartono, Mulyono, Agus Mulyono, Santoso dan lain-lain. Sebagian mentertawakan saya namun sebagian mempercayai cerita saya.

“Coba deh, tanyakan ke guru agama kita,” usul Mulyoso yang cukup masuk akal. Karena saat itu jam istirahat, sayapun memberanikan diri menghadap guru agama (saya lupa namanya) di ruang guru. saya ceritakan semua kejadian yang saya alami. Beliau cuma memberi saran, agar saya mencoba sering-sering shalat di kamar penyimpan beras itu. Masuk akal.

Selama seminggu, saya memberanikan shalat di kamar itu. Kadang saat Dhuhur, kadang Ashar. Yang pasti saya tidak berani memasui kamar itu saat Maghrib, Isya maupun Subuh. Menyeramkan. walaupun rumah itu indah, tetapi memiliki aura yang negatif. Entah ada apa sebelum rumah itu dibangun saya tidak tahu.

Sampai suatu saat, tengah malam sekitar pukul 23:00 WIB dan kebetulan Malam Jumat, saya terbangun dari tidur karena ingin buang air kecil. Maklum udara malam itu dingin sekali. Celakanya, kamar mandi yang ada di dalam rumah sedang tidak ada air karena krannya rusak. Terpaksa saya harus buang air ke kamar mandi di rumah bagian belakang. Urut-urutannya kamar makan, kamar penyimpan beras, dapur dan kamar mandi. Tetapi, ketika tepat melewati kamar penyimpan beras, tiba-tiba pintu kamar itu yang semula tertutup mendadak terbuka. Luar biasa terkejut saya. Padahal saya tahu di dalam pasti tidak ada orang. Dengan menahan rasa takut, saya tetap melanjutkan berjalan menuju ke kamar mandi.

Esoknya saya ceritakan kejadian itu ke ayah dan ibu. Lagi-lagi saya dikatakan mengalami halusinasi. Menyebalkan sekali. Saat itu saya agak ngotot dan mengatakan seyakin-yakinnya bahwa apa yang saya lihat benar-benar terjadi. bahkan saya mengatakan demi Allah SWT saya benar-benar mengalaminya. Akhirnya ayah saya berjanji akan mengundang orang pintar.

“Sabarlah. Satu dua hari ini ayah akan mencarikan orang pintar untuk memeriksa kamar itu,” janji ayah. Agak lega juga saya mendengar janji itu.

Malam harinya, ketika saya tidur. Saya merasa jari-jari kaki saya terasa ada yang memegangnya. Sayapun terbangun. Tetapi tidak ada siapa-siapa. Namun tiba-tiba saya melihat bayangan anak kecil telanjang bulat yang berlari cepat meninggalkan kamar tidur saya sambil tertawa kecil. Menembus pintu kayu yang tertutup. Hampir saya berteriak ketakutan, tapi tak mampu. Saya tak berani bangkit dari tempat tidur. Saya cuma berdoa semoga saya tidak diganggu mahluk halus. Sampai pagi, saya tidak bisa tidur.

Esoknya adalah har Minggu. Seperti biasa saya bermain bulu tangkis di halaman belakang rumah di bawah pohon mangga yang rindang. saat itu teman SMP saya yang datang yaitu Mulyoso, Supartono dan Yayan atau Yudho Heryanto yang rumahnya di belakang rumah saya. Bulu tangkis adalah hobi saya sejak kecil. Sambil bermain bulutangkis, sesekali saya bercerita kepada Mulyoso dan Supartono tentang mahluk halus di kamar penyimpan beras.

“Coba deh, saya mau lihat kamarnya,” ujar Mulyoso seusai latihan bulu tangkis. Sayapun mengajak Mulyoso dan Supartono untuk masuk ke kamar penyimpan beras itu. Dan benar saja, sekitar satu menit di kamar itu, kami bertiga mendengar suara anak kecil menangis. Hanya beberapa detik. Supartono yang penakut itupun langsung lari terbirit-birit meninggalkan saya dan Mulyoso.

“Hmmm. Sekarang saya baru percaya,” komentar Mulyoso sesudah kami berada di luar kamar tersebut. Akhirnya, sayapun saat itu punya saksi yang menguatkan pengalaman saya bahwa di kamar itu memang ada mahluk halusnya. Tetapi, kenapa sampai menempati kamar itu?

Sampai suatu hari, datanglah orang pintar yang dijanjikan ayah. Namanya Pak Nadjamuddin dari desa Jasem, Sroyo. Beliau memasuki kamar penyimpan beras diikuti ayah dan ibu saya. Saya di luar kamar. Saya lihat Pak Nadjam memeriksa seluruh ruangan. Matanya melihat ke sana kemari. Dan akhirnya beliau mengatakan bahwa ada anak kecil telanjang di kamar itu.

“Jahat atau tidak?” ibu saya yang bertanya.

“Tidak jahat, tetapi dia suka mengganggu. Maklum, dia anak kecil. Tapi kalau diganggu, dia bisa jahat juga…” ujar Pak Nadjam. Tak lama kemudian ayah, ibu dan Pak Nadjampun berbincang-bincang di luar kamar.

“Bagaimana? Kenapa dia ada di sini? Apakah dulu sebelum dibangun rumah ini dulu ada makam?” ayah saya ingin tahu.

“Tidak. Tidak ada kuburan. Dulu ada pohon beringin di sini. Pohon itu rumah anak kecil itu. Dia memang mahluk halus.” Pak Nadjam menerangkan.

“Bisa dipindahan,Pak?” ibu saya ingin tahu, setengah meminta agar mahluk halus itu dipindahkan.

“Akan saya usahakan.” janji Pak Nadjam. Pak Nadjampun kembali memasuki kamar tersebut. Membacakan beberapa ayat suci Al Qur’an dan berkomunikasi dengan mahluk halus itu. Kemudian keluar ruangan. Seolah-olah sedang membimbing anak kecil, Pak Nadjam berjalan menuju pohon mangga yang ada di paling utara dekat tembok pagar. Kemudian kembali mendekati ayah dan ibu.

“Bagaimana, Pak Nadjam,” penasaran ibu saya.

“Sudah,Bu. Kebetulan dia mau saya pindahkan ke pohon mangga itu. Namun dengan catatan, mohon tidak ada yang coba-coba menaiki pohon itu karena bisa jadi akan terjatuh atau terkena halangan lainnya. Juga, jangan ada yang memakan mangga yang berasal dari pohon mangga itu,” pesan Pak Nadjam. Ayah dan ibu sayapun mengucapkan terima kasih. Sesudah menerima upah, Pak nadjampun pulang menaiki sepeda tuanya . Bersepeda ke desa Jasem, Sroyo yang jaraknya sekitar 30 km dari rumah. Bersepeda. Lumayan jauh. Maklum, jaman dulu yang punya motor masih jarang.

Dua tahun berlalu. Aman-aman saja. Kamar penyimpan beras tidak ada yang aneh. kalau saya memasuki kamar itupun tidak merinding lagi. Membuat saya jadi senang. Hidup aman. Tidak ada lagi yang perlu saya takuti. Sayapun bisa belajar dengan tenang.

Masalahnya adalah, suatu hari Minggu, teman-teman SMP datang main-main ke halaman belakang rumah yang cukup luas. Sebagian main bulu tangkis, sebagian bermain-main dengan kelinci saya yang saat itu jumlahnya ada 21 ekor. Satu hal yang di luar pengetahuan saya, salah seorang teman saya memancat pohon mangga yang di dekat tembok pagar itu. Sayapun ingat nasehat Pak Nadjam. sayapun berteriak memohon agar teman saya turun. Dia sudah naik cukup tinggi. Sekitar 15 meter. Namun teman saya yang bernama Darmawan justru tertawa.

“Memangnya saya penakut? Ha ha ha…Saya sudah terbiasa naik pohon mangga, Har…” jawabnya. Akhirnya saya cuma menasehati supaya hati-hati. Baru saja saya membalikkan tubuh karena akan menuju ke tempat kelinci-kelinci saya bermain, saya mendengar benda berat jatuh. Teman-teman berteriak. saya menengok ke ke belakang.

“Astaga…”. Darmawan jatuh. Kepalanya berdarah. Segera teman-teman memanggil becak dan membawanya ke rumah sakit. Terlambat. Begitu tiba di rumah sakit, Darmawan sudah menghembuskan nafas yang terakhir. Saya merasa bersalah dan berdosa karena sebelumnya saya lupa melarang teman-teman agar tidak naik ke pohon mangga itu. Namun semuanya sudah terjadi.

Catatan:
Cerita ini merupakan cerita fiktif.

Hariyanto Imadha
Penulis cerpen
Sejak 1973

CERPEN: Selasa Pagi di Taman Fakultas Sastra

DULU, setiap pagi saya kuliah di faskultas Sastra UI Rawamangun, siang di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, sore di Akademi Bahasa Asing “Jakarta” dan malam di Fakultas Hukum (extension) UI.

Tiap Selasa pagi ada jam kosong yang belum ada dosennya dan saya manfaatkan untuk santai. Duduk-duduk di taman sastra sambil minum es campur yang enak sekali rasanya. Tentu dengan teman-teman kuliah. Paling sering dengan Vincentia.

Kata-teman-teman, Vincentia cantik dan cocok jadi pacar saya. Tapi saya cuma tertawa saja. Pikiran saya tidak sejauh itu. Kalau kemana-kemana saya sering berdua dengan Vincentia, semata-mata Vincentia enak diajak bicara dan diskusi. Kalau diajak berbicara selalu nyambung.

Memang sih, saya akui Vincentia cantik, putih dan cerdas. Kabarnya sih dia masih keturunan Cina tetapi sangat “njawani” (seperti orang Jawa asli). Benar atau tidak saya tidak pernah menanyakannya. Masa bodoh sajalah.

Seperti biasanya, Selasa pagi itupun saya asyik berdua dengan Vincentia di taman sastra sambil minum es campur yang enak sekali. Walaupun masih pagi tetapi udara Jakarta cukup panas dan gerah.

-“Nggak pulang ke Yogya?”. Saya tanya ke Vincentia yang asli dari Yogya.

Dia cuma menggeleng.

Di Jakarta Vincentia kos di kawasan Rawamangun dekat terminal. Saya juga sering ke tempat kosnya.

Tak lama kemudian teman-teman lainnya berdatangan, antara lain Rita, Maskan dan lain-lain. Maka suasanapun menjadi semakin ceria. Memang, masa-masa kuliah adalah masa yang paling menyenangkan dan tidak mungkin dilupakan.

Selasa pagi yang lain. Seperti biasa, saya dan Vincentia kembali bertemu dan ngobrol-ngobrol di Taman Sastra.

-“Kabarnya  Tia akan menikah,ya?”. Saya tanya ke Vincentia.

Dia terkejut.

-“Ah! Siapa yang bilang? Nggak benar itu.Fitnah!”

Lantas katanya lagi.

-“Memangnya siapa yang bilang begitu?”

-“Nggak ada. Cuma semalam saya bermimpi seperti itu.

 

Vincentia tertawa. Katanya, Cuma mimpi saja kok dipercaya.

Kalau sudah bercanda begitu, teman-teman pasti mengira saya berpacaran. Padahal sih saya menganggap Vincentia sahabat yang baik. Sama baiknya kalau saya bersahabat dengan mahasiswi-mahasiswi Fakultas sastra UI lainnya. Di kampus ini memang 90 persen terdiri dari mahasiswi. Jadi, jangan heran kalau sebenarnya saya tidak Cuma akrab dengan Vincentia, tetapi juga dengan Mella, Grace, Lidya, Yannie, Sonia atau lainnya. Bahkan kalau di perpustakaan saya justru sering berdua dengan Sonia yang berasal dari jurusan lain.

Taman sastra UI Rawamangun memang indah sekali. Rumputnya hijau rata, pohon-pohonnya rindang dan bunga-bunganya mekar dengan cantik sekali. Taman itu juga dilengkapi dengan bangku-bangku yang nyaman. Di kampus saya yang lain, yaitu di kampus ABA Jakarta, FE Universitas Trisakti ataupun di FHUI, tidak ada tamannya.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Entah sudah berapa ratus kali saya dan Vincentia duduk berdua di taman Sastra. Atau berdua ke perpustakaan British Council, perpustakaa LIP Jl. Gatot Soebroto, dll. Tanpa terasa, masa pendidikan telah berakhir.

Pada Selasa pagi terakhir, saya dan Vincentia untuk terakhirnya duduk berdua di taman Sastra.

Saat itulah Vincentia berkata kepada saya.

-“Harry. Jujur saja. Sejak semester pertama sebenarnya saya suka sama Harry. Cuma masalahnya, saya sebagai seorang wanita tidak mungkin mengatakan terlebih dulu. Kamu tentu sudah tahu perasaan saya. Mbak Rita tentu sudah mengatakannya kepadamu. Tapi rasa-rasanya, bertahun-tahun tak ada kejelasan sikap darimu Harry. Jadi, saya cuma bisa memberikan ini……”

Vincentia memberikan sebuah amplop indah. Isinya, undangan pernikahan.

-“O,ya. Terima kasih. Saya pasti akan datang..” kata saya.

Itu adalah Selasa terakhir. Pada hari pernikahannya di Yogyapun saya datang.

Ya, itulah akhir dari sebuah pertemanan. Sahabat baikku telah menikah dan sayapun tidak perlu merasa patah hati. Sejak awal semester pertama memang saya menganggap Vincentia sebagai sahabat yang baik. Tidak lebih dari itu.

 

Hariyanto Imadha
Penulis cerpen
Sejak 1973

CERPEN : Lakum Dinukum Waliyadin

”DAN janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (Al Quran, Surat Al-An’am ayat 108)

 YOGYAKARTA 1980. Sebenarnya perkenalan saya dengan Anita terjadi secara tak sengaja. Yaitu, ketika saya sedang asyik berjalan-jalan di trotoar Malioboro sambil melihat-lihat etalase toko, tanpa sengaja saya menabrak seorang gadis sehingga buku-buku yang dibawanya terjatuh.

“Oh, maaf…Tak sengaja” Saya langsung merunduk membantu mengambilkan buku-bukunya yang terjatuh.

“Oh, nggak usah Mas. Biar saya ambil sendiri…” Dia juga merunduk mengambil bukunya. Sepintas saya melihat di sampul bukunya ada huruf berbunyi “Anita”. Mungkin itu namanya.

“Namanya Anita,ya?” Saat itu kami berdua telah berdiri. Gadis yang masih berseragam SMA itu terkejut.

“Kok,tahu kalau nama saya Anita?”

Saya tertawa

“Dari buku Anita” Saya menunjuk namanya yang ada di bukunya.

“Ah,curang. Situ namanya siapa,dong?”

Akhirnya kamipun berkenalan. Kebetulan siang itu saya belum makan siang.

“Setuju tidak kalau saya traktir Anita makan siang di Restoran Hellen?” Saya mengajak Anita sambil menunjuk restoran yang ada di seberang jalan.

“Wow, kalu ditraktir sih,boleh”

Akhirnya kami berdua makan di restoran itu. Kami duduk berhadapan. Sangat jelas saya melihat kecantikan wajahnya. Katanya, Anita duduk di kelas III salah satu SMA di Yogyakarta. Dia tinggal di Asrama Putri Stella Duce. Siang itu baru saja pulang sekolah untuk membeli buku novel karya Mira W kesukaannya.

Sayapun memperkenalkan diri bahwa saya mahasiswa Fakultas Filsafat, UGM. Sayapun katakan bahwa saya kos di daerah Lobaningratan. Perkenalan itu lancar saja. Kami saling ngobrol dan tertawa. Seolah-olah kami telah berkenalan lama.

Pertemuan pertama itupun tentu ada kelanjutannya. Tiap Sabtu kami berjanji bertemu di Restoran Hellen. Sebenarnya sulit untuk bertemu sebab Asrama Putri Stella Duce sangat keras disiplinnya. Jadi, seringkali Anita kabur dari asramanya hanya karena ingin bertemu dengan saya.

Suatu saat ketika kami berdua di Samas, maka itu adalah kenangan terindah pertama yang kami nikmati. Tidak ada kata cinta sebab bahasa tubuh kami telah berbicara tentang hal itu. Paling indah ketika saya mencium bibir Anita dan dia diam pasrah. Indah sekali hari itu. Tubuh kami dibelai angin pantai yang dingin sejuk.

Tak lupa kenangan yang indah itu kami abadikan dalam bentuk foto. Tentu, atas bantuan orang lain untuk memfoto kami.

Tanpa terasa, Anita telah lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Fakultas Psikologi UGM. Tak heran kalau saya sering ke kampusnya. Bahkan tak jarang berpacaran di ruang perpustakaan kampusnya. Kebetulan, saya juga suka membaca buku-buku psikologi.

Tiga tahun sudah. Kebetulan, kuliah saya di fakultas filsafat telah selesai. Hari wisuda saya juga dihadiri Anita. Saat itulah, saya harus kembali ke Jakarta.

“Anita, rencananya dua hari lagi saya akan kembali ke Jakarta” Saya pamit ke Anita.

“Lantas, bagaimana dengan hubungan kita? Berlanjut atau sampai di sini?” Anita memandang saya penuh harap.

“Pertanyaan itu sangat sulit untuk dijawab, Anita?

“Kenapa?” Anita penasaran.

Saya mengajak Anita ke kantin dan membicarakan hubungan saya dengan Anita. Memang, saya baru menyadari kalau antara saya dan Anita berbeda agama.

“Maaf Anita. Mungkin Anita tahu, saya seorang muslim sedangkan Anita beragama Kristen.”

“Emangnya itu masalah? Kalau menurut hukum Indonesia, kita bisa menikah secara sah. Pada prinsipnya sebuah perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi kedua syaratnya, baik syarat materiil maupun formil. Di Indonesia, syarat sahnya perkawinan di atur dalam Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Anita menjelaskan dari sudut pandang hukum.

“Iya,sih. Menurut pandangan Islam, Dalam agama Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai hal ini. Aliran yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Hanya saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak perempuan beragama non-Islam (Al Maidah(5):5). Jika kemudian kondisinya sebaliknya, maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al Baqarah(2):221). Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221).” Saya menjelaskan posisi saya ke Anita.

Sayapun menambahkan.

“Bahkan menurut agama Anita, Kristen Protestan, dikatakan bahwa Dalam agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus 6 : 14-18).”

“Tapi kita bisa menikah di luar negeri. Berdasarkan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia tidak dimungkinkan untuk melakukan perkawinan beda agama. Yang kemudian mungkin dapat dilakukan adalah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di KUA / Kantor Catatan Sipil.” Anita menjelaskan.

“Iya sih. Tapi, Perlu digarisbawahi bahwa dengan dicatatkannya perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri tidak serta merta membuat perkawinan itu sah di mata hukum Indonesia. (KUA/KCS hanya lembaga pencatat perkawinan)” Saya mengutip sebuah kalimat yang pernah saya baca bberapa hari yang lalu.

Cukup lama saya dan Anita membicarakan masalah perbedaan agama itu. Tentu tidak mungkin saya sebagai seorang muslim harus berpindah agama ke Kristen Protestan. Sebaliknya, Anitapun tidak mau kalau demi pernikahan harus meninggalkan agamanya.

“Begini Anita. Andaikan kita nanti masuk sorga, kita tidak mungkin akan bertemu. Surgaku adalah surgaku. Surgamu adalah surgamu”

Saya lihat. Anita berwajah sedih. Matanya berkaca-kaca. Kemudian satu persatu air matanya meleleh di pipinya.

“Jadi, kita harus berpisah?”

Sulit saya menjawabnya.

“Anita. Sesungguhnya saya mencintai Anita. Tapi demi masa depan, sebaiknya kita mengambil jalan yang terbaik. Baik bagi agama saya dan baik bagi agama Anita. Hari ini kita harus mengambil kuputusan, Anita. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari saya…”

“Jadi, kita harus berpisah?” Anita memandang saya sambil mengusap air mata di pipinya menggunakan sapu tangan. Saya tak bisa menjawab.

Sekitar 15 menit kami saling berdiam diri.

“Baiklah, Harry. Mungkin kita belum berjodoh. Tolong simpan kalung ini untuk kenang-kenangan dari saya”. Anita mencopot kalung dengan hiasan salib. Saya menerimanya dengan sedih sekali.

Secara kebetulan, dari tempat kos saya sudah menyiapkan tasbih buat kenang-kenangan Anita.

“Anita. Saya hanya bisa memberikan ini” Saya menyerahkan untaian tasbih ke Anita. Anitapun menerimanya dengan penuh rasa sedih.

Itulah pertemuan saya dengan Anita untuk yang terakhir kalinya. Ketika kereta api mengantarkan saya ke Jakarta, Anitapun mengantarkan sampai di stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari jendela kereta api, saya hanya bisa melambaikan tangan ke Anita dan Anitapun melambaikan tangan ke arah saya.

Keretapun mulai berjalan, meninggalkan stasiun Tugu, meninggalkan Yogyakarta, meninggalkan Anita, meninggalkan sejuta kenangan indah.

 Hariyanto Imadha
Penulis cerpen
Sejak 1973

CERPEN: Gerimis Tanah Lot

TAHUN 1973. Seusai mengikuti ujian semester di Fakultas Ekonomi ,Universitas Trisakti, saya dan anggota kelompok belajar, mengadakan rekreasi bersama ke Bali. Apalagi, kebanyakan teman-teman saya belum pernah ke Bali. Dari Jakarta ke Banyuwangi naik kereta api. Dan dari Banyuwangi ke Denpasar naik bus melewati Selat Bali. Semua sekitar sepuluh mahasiswa. Termasuk saya. Sepanjang perjalanan hanya rasa senang saja yang menyelimuti kami. Tertawa, tersenyum, bernyanyi, main gitar, makan makanan kecil, minum-minuman ringan, bercanda, saling meledek dan apa saja.

Tanpa terasa sampai di hotel. Semua masuk ke kamar masing-masing yang telah ditentukan. Satu kamar dua tempat tidur. Kamar mandi dalam. Full AC. Kamar sangat bersih dan nyaman. Halaman parkir luas. Sesudah menyimpan barang-barang di lemari, mandi dan ganti baju, maka kamipun menuju ke rumah makan seberang untuk makan siang bersama.

Sesuai jadwal, sesudah makan, langsung masuk bus mini berkapasitas 15 tempat duduk. Sepuluh tempat duduk untuk rombongan kami, sebagian untuk dua orang pemandu wisata dan sisanya kosong. Bus mini telah kami carter selama seminggu penuh.

“Ke mana kita?” tanya Momos yang rambutnya gondrong, bertubuh tegap dan suka humor.

“Kita ke Tanah Lot dulu,” sahut Doddy, koordinator rekreasi. Buspun berangkat sesuai dengan jadwal yang telah kami tentukan. Dalam perjalanan, tak henti-hentinya kami bersendau-gurau. Sungguh, hari yang sangat menyenangkan.

Sampai di tempat parkir, rombonganpun turun. Ternyata, di samping kami, juga baru masuk rombongan mahasiswa. Sesudah saya amati, mereka mengenakan jaket Universitas Widya Mandala, Surabaya. Sementara kami semua mengenakan jaket Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti  Jakarta, walaupun kegiatan kami merupakan kegiatan pribadi atau kelompok.

“Kita menyeberang. Selagi air laut turun…” kata Mas Bramantyo sang pemandu wisata. Terus terang, kami belum pernah ke Tanah Lot. Kamipun turun ke pantai di mana air laut sedang surut. Setelah berjalan sekitar 100 meter, kamipun menaiki sebuah pulai sangat kecil. Itulah Pulau Tanah Lot. Ternyata, rombongan mahasiswa yang berjumlah sekitar 50 mahasiswapun punya tujuan yang sama.

Pulau kecil itu memang indah. Di sana-sini ada patung atau arca yang menarik. Agak ke tengah ada pura kecil. Rombongan kamipun berpencar. Jalan sendir-sendiri sesuai selera masing-masing.

“Dari Surabaya,ya?” tanya saya ke seorang mahasiswi yang kebetulan berdiri di dekat saya saat berada di dekat pura kecil. Agak kaget mahasiswi itu.

“Oh, iya…”

“Dari universitas mana?” saya bertanya belaga bego. Mahasiswi itu menunjukkan jaketnya.

“Oh, dari Universitas Widya Mandala,ya?” saya menegaskan. Mahasiswi itu mengangguk. Saya lihat, boleh juga mahasiswi itu. Langsing, putih dan cantik. Rambutnya pendek, bulu matanya lentik dan bibirnya yang mungil itu cukup menggemaskan.

“Kalau kamu dari mana?” ganti mahasiswi itu tanya ke saya.

“Trisakti. Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti, Jakarta”. Ganti saya menunjukkan jaket almamater saya.

“Oh, baru masuk ya? Sama. Saya cuma baru semester satu. Kenal nggak sama Shanty?” tanyanya.

“Shanty Mintaredja?”

“Iya. Dia puteri tante saya,” dia meyakinkan.

“Oh, dia satu rombongan dengan saya. Ada kok, tadi ikut…” saya menoleh ke kanan-ke kiri mencari Shanty.

“Itu dia…” saya menunjuk Shanty yang sedang berjalan dengan Widyarini.

“Oh,ya. Betul. Itu Shanty. Yuk ke sana….” ajaknya. Tentu, saya tidak menolak ajakannya. Diapun meninggalkan dua orang temannya. Saya dan mahasiswi itupun berjalan menuju ke tempat Shanty berada.

“Oh, ya. Kita belum kenalan….Saya Harry…” saya memperkenalkan diri. saya mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Oh, ya. Saya Siska. Siska Marina Yordhant,” diapun membalas perkenalan saya. Betapa lembut telapak tangannya. Ada rasa indah di hati saya.

“Hei, Shanty…” teriak kecil Siska. Shantypun terkejut surprise melihat Siska. Keduanyapun berbincang-bincang. Sementara saya mengobrol-ngobrol dengan Widyarini. Sekitar 15 menit kemudian, Siska minta ke saya untuk diantarkanke teman-temannya.

Baru selangkah, tiba-tiba gerimis turun.

“Oh, untung saya bawa payung lipat…” ujar Siska sambil mengambil payung lipat dari tas kecilnya. Payungpun dibentangkan. Kami berduapun berjalan bersama. Satu payung untuk berdua. Tak heran kalau bahu kami kadang-kadang saling bersentuhan. Kesempatan saya untuk merangkul.Eh, ternyata Siska diam saja.

Sungguh, saya merasakan getaran-getaran indah di hati. Apakah ini yang dinamakan cinta? Mungkin iya,mungkin tidak. Yang pasti, sikap Siska sangat menyenangkan sekali. Di dalam perjalanan, saya mencatat alamat dan nomor telepon Siska yang berdomisili di Surabaya. Ternyata dia tinggal di Jl. Bengawan, dekat Jl. Raya Darmo, kawasan elit.

Sesudah Siska berkumpul dengan dua temannya tadi, saya dan Siskapun foto bersama, baik menggunakan kamera saya maupun kamera Siska. Tentu minta bantuan temannya. Kemudian saya kembali ke rombongan saya sendiri. Berkumpul dengan Ardani, Bambang Sutedjo, Treesye dan lain-lain. Kamipun menikmati pemandangan indah di pulau kecil itu sambil makan makanan kecil. Tetap ceria. Tetap gembira. Gerimispun reda.

Berikutnya, melanjutkan perjalanan ke objek-objek wisata lainnya. Sore harinya kembali ke hotel. Dan malam harinya nonton Tari Kecak. Tentu, jalan-jalan melihat keramaian malam Kota Denpasar. Senang sekali masa mahasiswa. Masa muda yang tak pernah terlupakan. Hmmm…indah sekali hari itu.

Keesokan harinya, rombongan menuju ke Istana Tapaksiring, atau ada yang menamakan Tampak Siring. Oh Tuhan…Ternyata Tuhan mempertemukan lagi dengan Siska yang kali ini semua rombongannya berpakaian bebas, sama dengan rombongan kami.

“Hai, Harry…Ketemu lagi kita…” sapa Siska sambl tersenyum. Sayapun mendekatinya. Kali itu, Siska lebih suka mengikuti rombongan saya. sayapun memperkenalkan Siska ke Momos, Bambang,Widyarini dan lain-lain. Cuma, karena Shanty merupakan familinya, walaupun Siska bergabung dengan rombongan kami, namun lebih banyak bersama Shanty. Terpaksa, saya cari acara sendiri bersama Ardani, Momos dan Taufik. Lihat-lihat kolam, lihat-lihat aneka tanaman yang ada di situ, melihat burung-burung berterbangan dan tentu foto bersama.

Mendadak gerimis turun lagi. Sayapun bergegas mencari tempat berteduh. Eh, di tempat berteduh itu saya berkumpul lagi dengan Siska. Ngobrol-ngobrol lagi. Terkadang tertawa senang. Tak lupa juga foto bersama.

Hari ketiga, rombongan kami menuju ke Pura Besakih. Lagi-lagi, Tuhan mempertemukan lagi saya dengan Siska.
“Kok kita bertemu lagi,” sapa saya. Siska cuma tertawa kecil. Wow, cantik sekali kalau tertawa. Hati saya terasa nyaman dan teduh mendengar tertawanya.

“Kok nggak ikut masuk pura,” saya ingin tahu.

“Ssst..Cewek yang sedang berhalangan tidak boleh masuk. Ada peraturannya…” ucap Siska sambil menmpelkan telunjuk jarinya ke bibirnya yang mungil itu.

“Oh, ya,” saya baru ingat. Akhirnya di luar pura, saya menemani Siska. Berfoto bersama di sekitar pura. Kebetulan, kamera kami masing-masing dilengkapi tripod dan merupakan kamera otomatis. Menyenangkan sekali. Solah-olah kami sudah saling mengenal puluhan tahun yang lalu.

Lagi-lagi gerimis datang lagi. Saya dan Siskapun lari-lari kecil mencari tempat berteduh. Dan lagi-lagi mengobrol ke sana ke mari. Wow, indah sekali hari itu. Cukup lama kami ngobrol. Apapun yang saya bicarakan, selalu konek. Selalu ditanggapi dengan tepat. Pertanda Siska mahasiswi yang pandai dan berpengetahuan luas. Akhirnya, saya berjanji suatu saat akan ke Surabaya. Dengan senang hati Siska mempersilahkan datang ke Surabaya.

Begitulah. Satu bulan kemudian, sayapun rajin ke Surabaya. Jumat sore berangkat dari Jakarta naik kereta api. Malam hari ke rumah Siska. Saya menginap di rumah famili di kawasan Pucang. Minggu pagi jalan-jalan pakai motor bebek milik Siska. Ke Tunjungan, enjeran atau ke mana kami suka. Termasuk ke ice cream Rendevous di Kayun.

Hubungan kami berjalan selama dua tahun. Kami resmi saling jatuh cinta. Siska yang cantik itu resmi menjadi pacar saya. Sampai suatu saat Shanty mendkati saya.

“Harry. Harry benar-benar mencintai Siska?” Shanty bertanya. wajahnya tanpa senyum.

“Lho, iya dong. kalau tidak, buat apa tiap minggu saya ke Surabaya?. Kok, wajah Shanty sedih, sih?”

Shanty tetap diam.

“Ada apa Shanty,” saya lebih heran lagi melihat Shanty meneteskan ar mata,” Ada apa Shanty?”.

“Maaf Harry…Saya terpaksa memberitahukan Harry. Tadi pagi Shanty menerima telepon dari mamanya Siska…”

“Kenapa Shanty…Ada apa dengan Siska…?” saya terus mendesak  Shanty. Perasaan jadi tidak enak.

Akhirnya Shanty berkata jujur. Semalam Siska telah meninggal di rumah sakit karena menderita kanker otak.

“Siskaaa…!”. Histeris saya berteriak.

Saya pingsan di kampus.

 

Sumber foto: susususussusu.blogspot.com

Hariyanto Imadha

Cerpenis & Novelis