CERPEN: Asal Mula Nama Imadha

FACEBOOK-CerpenAsalMulaNamaImadha

SURABAYA 1971. Saat itu saya merupakan siswa baru di SMAN 6. Pindahan dari SMAN 4. Saat itu saya duduk di kelas 3IPS1. Salah satu hobi saya yaitu membuat vignete, artikel, puisi, cerpen dan tulisan-tulisan lain dan dimuat di buletin sekolah. Nama buletinnya Elka atau LK, singkatan dari Lingkaran Kreasi. Saya menggunakan nama samaran Imadha. Ternyata, banyak siswa yang mengira cerpen-cerpen yang saya tulis merupakan pengalaman pribadi. Padahal, cerpen yang saya buat merupakan hasil daripada imajinasi.Memang, ada satu dua yang merupakan pengalaman pribad Beberapa siswa mulai kelas 1, 2 dan 3 penasaran dengan cerpen-cerpen yang saya buat dan mencari siapa sih sebenarnya yang bernama Imadha?

Suatu saat jam istirahat.  Ada siswi dari kelas lain masuk ke kelas saya dan kebetulan Tanya ke saya yang sedang mau keluar istirahat.

“Mau Tanya, nih…,” tanyanya ke saya.

“Tanya apa?”

“Yang namanya Imadha, siapa,  sih?” dia penasaran.

“Saya…,” jujur saya menjawabnya.

“Kamu? Kok cowok? Bukannya Imadha itu nama cewek?”

“Memang nama cewek. Kenapa?”

“Kok, pakai nama cewek. Kenapa, sih?”

“Ceritanya panjang,” jawab saya.

“Panjang kayak apa? Boleh, dong saya dengar ceritanya?”

“ Boleh. Bagaimana kalau sambil minum es campur?”

“Boleh, kalau ditraktir”

Akhirnya, sayapun mengajak siswi itu. Sebagai cowok normal tentu saya mengakui, siswi itu cantik campur manis. Namanya Lia, Kelas 3IPA1. Belakangan saya tahu, dia adalah pacarnya Ridwan, siswa kelas 3IPA2.

Saya dan Liapun akhir minum es campur Pak Urip di Selatan kantor pos, seberang SMAN 6. Es campurnya enak sekali dan cukup dikenal di kalangan masyarakat Surabaya, terutama di kalangan pelajar. Es campur, kacang ijo, roti, pacar China dan campuran lain yang enak rasanya.

Sambil minum, sayapun mulai bercerita ke Lia.

 BOJONEGORO 1968. Saya duduk di bangku SMPN 2 kelas 3. Sebagai cowok normal, tentu tertarik cewek, terutama cewek cantik.  Dia sekolah di SMP lain. Tiap dia berangkat sekolah dan saya juga berangkat sekolah, selalu bertemu di perjalanan. Bedanya, dia naik sepeda saya jalan kaki. Jalan kaki, sebab saat itu saya tinggal di Jl. Trunojoyo No.4, sedangkan sekolahan saya, SMPN 2 jaraknya hanya 100 meter. Dekat sekali.

Karena hampir tiap hari bertemu, maka sayapun mencari cara untuk berkenalan. Kebetulan, ada teman sekelas yang mengenalnya. Katanya, cewek itu tetangganya. Oh ya, teman saya namanya Rahayu, teman satu kelas. Hari Minggu sayapun datang ke rumah Rahayu dan kemudian diperkenalkan dengan tetangganya, siswi yang saya taksir.

“Kenalkan, nama saya Harry,” saya memperkenalkan diri, sambil bersalaman.

“Saya Ika. Ika Permatasari,” sambutnya. Kemudian saya dipersilahkan duduk. Rahayupun minta ijin untuk pulang arena akan membantu ibunya di rumah. Meninggalkan saya dan Ika, berdua saja. Mungkin Rahayu tahu diri.

Dan sayapun ngobrol-ngobrol dengan Ika tentang apa saja. Ternyata, enak sekali bicara dengan Ika. Ngomong apa saja selalu nyambung. Bahkan terkadang diselingi canda dan tertawa. Seolah-olah kami sudah berkenalan bertahun-tahun lamanya. Padahal, baru kenal beberapa menit.

Begitulah, akhirnya Ikapun resmi menjadi pacar saya. Tiap malam Minggu saya pasti ke rumahnya. Tanpa terasa hubungan saya telah berjalan selama empat bulan.

Suatu hari Minggu, tiba-tiba teman saya datang ke rumah. Biasa, minta mangga. Maklum, di rumah saya ada tiga pohon mangga Gadung yang buahnya cukup banyak. Maklum, saat itu sedang musim berbuah.

Yang membuat saya deg-degan yaitu, teman saya yang bernama Mulyoso itu datang bersama teman cewek cantik. Semula saya mjngira cewek itu pacar Mulyoso. Namanya Maya. Lengkapnya Maya Rapshodita. Sayapun diperkenalkan.

Belakangan saya baru tahu kalau Maya adalah teman biasa Mulyoso. Bahkan ada hubungan famili. Karena Mulyoso teman se SMP, sayapun bisik-bisik ke Mulyoso, kalau saya naksir Maya.

“Lho, kan Harry sudah pacaran sama Ika?” Tanya dia.

“Ah, biasa…Namanya juga cowok. Cewek kamu juga banyak, kan?” ganti saya meledek Mulyoso.

“Ha ha ha…Iya, juga, sih”.

Akhirnya, Mulyosopun mengajak saya ke rumah Maya. Cuma, kata Mulyoso, ayah Maya galak. Tidak mungkin ngapeli Maya tiap Minggu. Paling-paling bisa bertemu hanya hari Minggu. Itupun di rumah Mulyosoa, nggak apa-apalah. Begitulah, seperti di sinetron, Mayapun jadi pacar saya kedua. Maya sekolah di SMEA.

Empat bulan kemudian, ketika main ke rumah teman, saya dapat kenalan lagi. Cewek cantik. Namanya Ridha Asokawati. Satu SMP dengan Ika, di SMPN 1. tetapi Ridha masih duduk di kelas dua . Menurut pengakuan Ridha, orang tuanya galak, jadi lebih baik Ridha yang datang ke rumah saya, yaitu tiap Sabtu setiap pulang sekolah. Namun pernah juga bersama-sama ke kolam renang Dander. Orang tuanya tahunya Ridha pergi dengan teman Ridha yang bernama Utty, cewek juga. Padahal di jalan lain, saya sudah menunggu. Jadinya, kami bertiga bersama-sama ke Dander. Bersepeda. Jarak Bojonegoro ke Dander sekitar 14 kilo meter. Saat itu jalannya masih hancur. Begtulah, sejak itu Ridha jadi pacar saya.

BOJONEGORO 1969. Saya duduk di kelas 1 SMAN 1, dulu namanya SMA Negara. Saya mendirikan radio amatir ARMADA-151 di rumah saya yang baru di Jl. Ade Irma No 151 (yang kemudian dapat nomor baru No.5), dalam arti baru ditempati karena rumah yang di Jl.Trunojoyo dijual.  Penyiarnya di samping saya, juga ada yang dari STM, namanya Gatot, Yang dari SMA Katholik namanya Dyah dan Surip Ada yang dari SMAN 1, namanya Santoso (yang kemudian kerja di PT Telkom,di Mojokerto) dan Agus (yang kemudian kerja di PT Telkom, Bojonegoro). Semua penyiar memakai nama samaran dengan nama akhir Mintaraga. Jadi ada Imadha Mintaraga (nama samaran saya). Ada Vita Mintaraga, nama samaran Dyah. Ada nama Arika Mintaraga, nama samaran Gatot dari STM. Ada, Santa Mintaraga nama samaran Santoso. Ada nama Vera Mintaraga, nama samaran Agus. Ada penyiar lain, Bambang Hariyanto, nama samarannya Yenny Mintaraga. Dan Surip memakai nama samaran Erry Mintaraga yang sekarang berubah menjadi Erry Amanda.Memang, semuanya cowok, tapi pakai nama samara cewek semua.

Nah, saya memakai nama samaran Imadha Mintaraga. Imadha berasal dari nama Ika, Maya dan Ridha. Akronimnya “Imadha”.

SURABAYA 1970. Saya pindah ke Surabaya dan melanjutkan sekolah di SMAN 4. Saya punya hobi mengirim puisi atau cerpen ke beberapa surat kabar dengan nama samaran Imadha. Begitu juga sewaktu pindah ke SMAN 6, saya juga memakai nama samaran Imadha. Nah, di SMAN 6, nama Imadha lebih dikenal daripada nama Harry atau Hariyanto. Akhirnya saya menggabungkan nama Hariyanto dan Imadha menjadi Hariyanto Imadha. Jadi, penggabungan nama menjadi Hariyanto Imadha muncul saat saya aktif menulis artikel, cerpen, puisi, vignete dan lain-lain di bulletin sekolah di SMAN 6. Sejlus SMAN 6, saya selalu menggunakan nama Hariyanto Imadha.

“Begitulah, ceritanya…” saya mengakhiri cerita. Kebetulan es campur yang saya minum dan yang diminum Lia sudah habis. Saya dan Liapun kembali ke gedung SMAN 6 . Tinggal menyeberang jalan.

Sejak saat itu, Lia putus dengan Ridwan dan resmi jadi pacar saya.

Catatan:
Cerpen ini berdasarkan pengalaman pribadi, tetapi sudah saya modifikasi, tanpa mengurangi inti cerita yang sebenarnya. Antara lain nama-nama pelaku sebenarnya, penulis samarkan. Artinya, nama  Ika, Maya dan Ridha merupakan nama samaran.  Sejak  saya pindah ke Surabaya, tak ada lagi hubungan dengan Ika, Maya maupun Ridha. Bagi saya, cinta SMP adalah cinta semusim. Bukan cinta dalam arti yang sesungguhnya. Lebih tepat disebut teman tapi mesra. Tidak ada istilah putus atau nyambung. Tidak ada istilah patah hati . Selesai ya selesai.

Hariyanto Imadha

Penulis cerpen

Sejak 1973

CERPEN: Ongkek’ane Roen…!

FACEBOOK-CerpenOngkekaneRoen

BOJONEGORO sekitar 1965. Seperti biasa, pagi-pagi saya berangkat sekolah. Saat itu kelas enam SR atau SD. Rumah saya di Jl.Trunojoyo No.4 yang sekarang dipakai sebagai Kantor Pelayanan Pajak, sekitar 300 meter Utara kantor pos. Berangkat lewat halaman belakang. Tembus Jl. Diponegoro, depan rumah Gandhi (nama di Facebook: Dhitos Mbombok). sampai perempatan “bangjo” ke kiri, Jl. Teuku Umar.

Tepat di pertigaan Jl.RA Kartini-Jl.Teuku Umar, sebelah barat Gedung PAKRI, ada penjual es serut. namanya Pak Roen. Kalau pagi sudah buka tetapi masih sepi. Tapi kadang-kadang kalau lagi malas, tidak jualan. Kata teman Facebook saya, Koes Haryono, dulu Pak Roen sering tidur-tiduran di empernya Toko Bata, toko sepatu. Sering membawa foto ada bingkainya. Foto isterinya yang sudah meninggal dunia. Sejak isterinya meninggal, Pak Roen memang agak gemblung (setengah sakit jiwa). Itulah, sekila tentang Pak Roen, laki-laki paruh baya.

Saya terus menyusuri Jl.Teuku Umar, belok kanan ke Jl.Dr.Wahidin menuju ke sekolah. Dulu, sekolah saya namanya SDN 3 Kepatihan 1. Saya masih ingat, guru yang mengajari saya belajar membaca dan menulis namanya Bu Nanik. Rumahnya di Jl. Tri Tunggal, Karang Pacar. Guru lainnya, Bu tatik dan Pak Ridwan. Sewaktu kelas 4, saya pernah ditawari kepala sekolah supaya langsung ke kelas 6, tanpa duduk dibangku kelas 5. Soalnya, nilai rapot saya rata-rata nilainya 10. Sayang, saya orangnya terlalu jujur, saya tidak mau.

Yang tidak bisa saya lupakan yaitu, tiap jam istirahat, saya dapat tugas sukarela, yaitu menjual goreng-gorengan. Kalau laku tiap lima goreng-gorengan, saya dapat bonus sayu goreng-gorengan. Saya tawarkan ke kelas 1 hingga kelas 6. Laku 25 goreng-gorengan. Dapat bonus lima goreng-gorengan. Wah, senang sekali. Tidak tiap hari sih, tetapi diganti teman lainnya secara sukarela. Tujuannya, mendidik pelajar untuk mencari uang sendiri.Para pelajar juga diajari berkebun di halaman kgusus kebun. Antara lain diajari cara menanam jagung, ubi, singkong dan lain-lain. Saat panen, para pelajarpun menikmatinya. makan-makan jagung bakar atau ubi bakar. Tujuannya, supaya para pelajar kelas 1 hingga kelas 6 bisa saling mengenal. Kenangan yang tidak akan terlupakan.

Pulang sekolah, melewati jalan yang sama. Yaitu, jalan Dr.Wahidin, belok kiri Jl. Teuku Umar. Tepat di depan warung es Pak Roen, saya lihat banyak orang berkerumun.

“Ada apa, ya?” pikir saya ingin tahu. Sayapun menyeberang jalan menuju ke warung itu. Saya melihat Pak Roen mukanya babak belur. Dan di dalam rumahnya yang sederhana, ada cewek TK sedang menangis.

“Bawa ke kantor polisi!” kata seorang warga. Saya masih belum faham apa yang telah terjadi.

“Laki-laki bejat…!” ujar yang lainnya lagi. Beberapa warga kemudian menggiring Pak Roen ke kantor polisi. Sedangkan beberapa orang ibu-ibu membawa cewek TK itu ke rumah sakit dekat sekolah saya.

“Ada apa, ya?” saya masih saja bengong. Akhirnya, saya terpaksa memberanikan tanya ke seorang bapak. Tapi justru saya dibentak. Katanya, saya anak kecil. Tidak boleh tahu. Agak tersinggung juga saya. Tapi saya diam saja.

Hasil dari nguping pembicaraan para warga yang hadir, maka saya bisa merangkaikan peristiwa itu. Kabarnya, sejak Pak Roen ditinggal isterinya yang meninggal, Pak Roen mengalami stres. Sering kemana-mana membawa foto isterinya yang diberi bingkai. Sering tidur-tiduran di depan toko sepatu Bata mengenang masa lalunya yang indah. Maklum, isterinya dulu bekerja di toko sepatu itu dan Pak Roen mengenal isterinya yang bernama Darmi di toko sepatu itu. Tapi kalau dalam keadaan normal, Pak Roen berjualan es serut atau es campur.

Sebagai penjual es serut, cukup laris. rasanya enak dan harganyapun murah. Apalagi benar-benar menggunakan air kelapa muda dan juga memanfaatkan kelapa mudanya yang benar-benar empuk. Pelanggannya cukup banyak. Tak heran kalau nama Pak Roen yang katanya merupakan kependekan dari kata Haroen, terkenal ke seluruh kota Bojonegoro.

Kabarnya, siang tadi, Pak Roen sedang melayani  Rani, cewek TK yang membeli es serutnya. Sebetulnya Rani anak yang berani. Berangkat sekolah dan pulang sekolah sendiri. Dan pulang sekolah mampir ke warung es Pak Roen.

Rani memang cewek cantik. Mungkin Pak Roen tertarik dengan kecantikan Rani. Kebetulan saat itu warung agak sepi. Pak Roenpun mengajak Rani masuk ke rumahnya yang sangat sederhana. Katanya, dia punya permen dan cokelat banyak. Tentu, Rani yang masih lugu, setelah menghabiskan segelas es, mau saja diajak masuk ke rumah Pak Roen. Pak Roenpun menutup pintu rumahnya.

Di luar, datang tiga calon pembeli. Bapa-bapak muda. Mau membeli es, tapi kok masih sepi. Mereka bertiga duduk-duduk sambil menunggu. Mengira Pak Roen sedang membeli es balok di Mbombok. Biasanya memang begitu.

Tiba-tiba ketiga bapak itu mendengar suara cewek kecil menangis keras. Menangis kesakitan. Karena curiga, ketiga bapak muda itupun mencoba mengintip ke dalam rumah Pak Roen, melalui lubang kecil yang ada. Betapa terkejutnya ketiga bapak muda itu.

“Kurang ajar! Kita dobrak saja pintunya…!” serentak ketiga bapak muda itu mendobrak pintu. Begitu terbuka, mereka bertiga melihat Pak Roen sedang menggagahi Rani di mana tangan kirinya membekap mulut Rani. pak Roen terkejut dan langsung cepat-cepat memakai celananya. Ketga bapak itupun menghajar habis-habisan. Muka Pak Roenpun babak belur.

Dalam tempo sekejap, waring es Pak Roen penuh dengan orang. Salah seorang dari ketiga bapak itupun bercerita. Untuk istilah “hubungan intim”, bapak itu menggunakan istilah “ongkek”. Ongkek itu artinya memasukkan benda ke dalam sebuah lobang kemudian digerak-gerakkan. Orang-orangpun tertawa mendengar kata “ongkek” itu. Salah seorang nyeletuk “Ongkek’ane Roen” disambut tertawa orang-orang lain. Sejak itulah, kalimat “Ongkek’ane Roen” menjadi terkenal. Bahkan beberapa hari setelah Pak Roen bebas dari penjara, orang-orang sering meledeknya dengan ledekan “Ongkek’ane Roen. Biasanya Pak Roen marah dan akan mengejar siapa saja yang meledeknya.

Bagaimana nasib Rani? Tak seorangpun tahu. Andaikan Rani masih ada, mungkin sekarang masih hidup. Paling tidak sekarang mungkin berusia sekitar 50 tahun. Eh, siapa tahu juga punya akun di Facebook. Yang pasti, Rani sebagai korban “Ongkek’ane Roen” pasti mengalami trauma berkepanjangan.

Kasus-kasus “Ongkek’ane Roen” tidak terbatas pada kasus pemekosaan saja. Persoalankumpul kebopun menggunakan istilah “Ongkek’ane Roen”. bahkan kalau ada cowok berhasil memperawani pacarnyapun akan bilang “Saya berhasil Ongkek’ane Roen cewek saya…”. Artinya, istilah atau kalimat itu juga digunakan untuk hubungan intim sukarela.

Apa yang dilakukan Ahmad Fathonah terhadap Maharani juga bisa digolongnkan sebagai perbuatan “Ongkek’ane Roen” atau “Ongkek’ane Fathanah”. Mharani itu baru yang ketahuan. Tentunya masih banyak cewek yang diongkek sama Ahmad Fathanah.

Kembali ke warung es Pak Roen. Setelah saya berhasil mengumpulkan informasi dan merangkai cerita, maka sayapun mulai mengerti apa yang telah terjadi siang itu di warung es Pak Roen. Sesudah itu, sayapun melangkah menuju pulang ke rumah.

“Ongkek’ane,Roen…” kata-kata itu masih terngiang-ngiang di pikiran saya.

Catatan:

Cerpen ini berdasarkan kejadian yang sesungguhnya tetapi sudah dimodifikasi. Yang pasti, inti ceritanya yaitu Pak Roen telah “memperkosa” cewek kecil. Penulis mengharapkan masukan-masukan yang bersifat melengkapi ataupun mengoreksi cerpen ini agar di kemudian hari bisa disempurnakan lagi.

CERPEN: Ketika Sapi Berpeci dan Berjenggot

FACEBOOK-CerpenKetikaSapiBerpeciDanBerjenggot

JAKARTA 2013. Siang itu saya sedang menunggu bus TransBSD di halte depan Ratu Plasa.

“Harry…!” tiba-tiba ada yang memanggil seseorang dari jendela mobil yang baru saja berhenti di depan halte. Saya tengok kanan-kiri, siapa tahu bukan saya yang dipanggil. Lagipula, kelihatannya saya tidak kenal dengan yang memanggil saya.

“Harry…!” sekali lagi, orang itu memanggil. Karena saya diam saja, orang yang di dalam mobilpun membuka pintu, turun dan mendekati saya. Sayapun terkejut. Ternyata dia Gunawan, dulu teamn satu kampus yang sudah puluhan tahun tidak bertemu.

“Oh! Gunawan, ya?” saya bediri dan langsung menyalaminya. Akhirnya kamipun ngobrol ke sana ke mari.

“Oh, ya. Bisnis apa kamu sekarang?” saya tanya ke Gunawan.

“Bisnis sapi. Di Bogor. Saya punya 100 sapi. Punya peternakan. Dekat Sentul City…” Gunawan menjawab.

Singkat cerita, karena hari Minggu itu saya tidak punya acara, sayapun diajak Gunawan ke peternakannya di Kabupaten Bogor.

Sampai di peternakannya, langsung saya diajak jalan-jalan melihat satu persatu sapi yang dipeliharanya. Cukup banyak. Kira-kira sekitar 100 ekor sapi. Entah jenis sapi apa, saya tidak tahu. Saya juga merasa tidak perlu tanya.

Sampai akhirnya saya melihat kandang sapi agak kecil dan isinya hanya tiga ekor. Anehnya, ketiga sapi itu berpeci dan berjenggot.

“Kok, kamu punya sapi aneh, sih?” tentu saya bertanya ke Gunawan. Gunawan tertawa.

“Jaman sekarang memang banyak yang aneh. Ceritanya, saya dulu pernah bermimpi didatangi orang tua berpakaian serba putih. Katanya, kalau bisnis sapi atau bisnis daging sapi saya ingin lancar, maka saya saya harus memberi peci putih kepada tiga ekor sapi yang berjenggot. Begitu bangun tidur, saya langsung mencari tiga ekor sapi berjenggot. Ternyata benar-benar ada. Sungguh, saya hampir tidak percaya…” cerita Gunawan lancar sekali dan terkesan ceritanya memang serius.

Sayapun memandangi ketiga sapi berpeci dan berjenggot itu dengan serius.

“Yang ini, namanya Tifagami,” Gunawan menunjuk sapi yang pertama. “Yang ini, namanya Lutfigami,” menunjuk sapi kedua,” Dan yang ketiga namanya Anisgami,” sabil menunjukk sapi ketiga,” Semuanya sapi jantan” Gunawan mengakhiri kalimatnya.

“Kok ada kata gami. Memangnya ada hubungannya dengan poligami?” saya bercanda. Tapi ternyata benar.
“Betul. Ketiga sapi ini memang suka berpoligami. Ketiganya pejantan sejati. Kebetulan semua sapi saya adalah sapi yang dagingnya enak dimakan. Tiga pejantan ini cepat sekali menghamili sapi-sapi betina sehingga dalam waktu singkat sapi-sapi saya banyak yang beranak,” Gunawan menjelaskan. Saya hanya mengangguk-angguk.

Saya tetap merasa aneh. Kok ada sapi punya jenggot. Apalagi dipakaikan peci putih. Gejala apa ini? Isyarat jaman apa ini? Apakah ini merupakan isyarat jaman edan seperti yang pernah diramalkan Jayabaya atau Ronggowarsito? Bukankah pernah diramalkan pada jaman edan agama hanya akan merupakan simbol? Banyak orang rajin beribadah, tetapi suka sekali berpoligami. Bukan poligami demi kemanusiaan tetapi poligami demi syahwat berkedok agama.

“Kok, melamun, Harry. Memangnya ada apa?” Gunawan menyadarkan saya dari lamunan.

“Saya benar-benar heran. Kok ada sapi punya jenggot. Pertanda jaman apa ini?”

“Betul. Itu pertanda jaman edan banyak orang menjadi edan. Agama, terutama agama Islam, hanya dijadikan kedok saja. banyak orang merasa suci, membesar-besarkan dan membangga-banggakan agama Islam, tapi ternyata dia seorang yang doyan main perempuan, doyan politik dan doyan korupsi…” Gunawanpun jujur menafsirkan keanehan sapi berjenggot itu.

” Ya,ya, ya. Poligami jaman sekarang memang berbeda dengan jamannya nabi Muhammad SAW. kalau jamannya Nabi, beliau berpoligami karena atas dasar kemanusiaan. Kalau poligami di Indonesia atas dasar syahwat. Atas dasar nafsu berahi, buktinya yang dipilih wanita-wanita yang seksi, montok dan semok. Kenapa kok tidak menikahi janda-janda tua banyak anaknya dan miskin?” sayapun berpendapat. Gunawan mengangguk-angguk.

Saya terus menatap ketiga wajah sapi yang berpeci dan berjenggot itu. Jenggot, kebanyakan merupakan simbol laki-laki Arab Saudi atau laki-laki Timur Tengah. Artinya, budaya poligami berdasar syahwat sebenarnya datang dari negara-neagara Arab. Di negara-negara tersebut para pemimpinnya suka hidup foya-foya, bermewah-mewah, suka doyan main perempuan dan berpoligami. Sedangkan sapi berpeci melambangkan agama terutama agama Islam yang cuma dijadikan kedok saja. hanya untuk menutupi perbuatan busuknya. hanya supaya dianggap bersih dan suci. Padahal, sok suci.

“Terus, kenapa Gunawan memberi nama ketiga sapinya dengan nama Tifagami, Lutfigami dan Anisgami?” saya masih penasaran.

“Singkat saja. Itu sesuai petunjuk orang tua berbaju serba putih di dalam mimpi saya”.

“Ada artinya?”

“Hmmm, kurang tahu. Mungkin suatu saat nanti ada tiga orang dengan nama-naama mirip itu akan menjadi terkenal karena kasus-kasus poligaminya…”

“Masuk akal…” saya menjawab singkat.

Gunawan kemudian terus mengajak saya putar-putar di peternakannya. Kemudian melihat karyawan-karyawannya yang sibuk memerah sapi.

“Wah, sapinya montok-montok, ya? Payudaranya besar, padat dan sintal…” komentar saya.

“Ya, sapi-sapi betina yang payudaranya besarlah yang disukai Tifagami, Lutfigami dan Anisgami…”

Saya cuma bisa mengangguk-angguk.

“Kok, seperti manusia, ya?” gumam saya.

“Ya, manusia dan binatang kan sama-sama punya nafsu seks, sama-sama punya syahwat, sama-sama punya birahi…”

“Kalau berpoligami, berarti banyak uangnya, dong. Memangnya dapat uang dari mana? “

“Kalau orang politik sih, biasanya dari korupsi. Kalau dari usaha tidak mungkin langsung untung bermilyar-milyar rupiah. Orang-orang politik yang berpoligami rata-rata punya rumah mewah, mobil mewah dan uangnya di bank banyak sekali. Hidupnya berfoya-foya dan bermewah-mewah…” celoteh saya.

“Ya, mungkin mau mencontoh budaya Arab” kata Gunawan.

“Wah, kalau orang Indonesia semakin banyak yang meniru budaya Arab, lama-lama Pancasila nanti bisa diganti Syariat Islam, nih. Indonesia bisa jadi negeri khilafah…”

“Ha ha ha…! Negeri khilafah? Nabi Muhammad SAW saja nggak pernah mendirikan negeri khilafah. Itu kan khayalan politisi-politisi yang tidak faham Pancasila. Pancasila itu harga mati. Sampai kiamat Qubro, Indonesia nggak bakalan jadi negeri khilafah, Harry…Percayalah…!” Gunawan mencoba meyakinkan.

“Ya, saya sangat percaya. TNI dan polri tidak akan berdiam diri jika ada usaha-usaha untuk mengganti Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI,” jawab saya serius.

Sayapun terus melihat sapi-sapi yang sedang diperah susunya.

“Oh, ya. Sapi betina itu namanya Mahagami, Vitagami dan Darigami,” ujar Gunawan.

“Apalagi tuh artinya?”

“Artinya, ketiga sapi betina itu merupakan sapi yang montok dan semok. Disukai sapi-sapi jantan macam sapi yang berpeci dan berjenggot tadi.Ketiga sapi betina itu sangat disukai sapi jantan bernama Ahmagami, suka main sapi betina yang montok dan semok.”

“Ooo, ya,ya,ya…Saya faham…”

Sore harinya, sayapun diantarkan Gunawan pulang ke rumah saya di BSD City, Tangerang Selatan. Dan sepanjang perjalanan saya mengambil kesimpulan bahwa, sapi berpeci dan berjenggot adalah merupakan pertanda jaman, bahwa agama, terutama agama Islam banyak yang menyalahgunakan sebagai kedok saja untuk menutupi aibnya. Juga ada hikmah bahwa, kalau kita menilai orang tidak dari predikat ulamanya, dari predikat ustadznya, dari rajin ibadahnya, dari gelar hajinya, dari pecinya, dari jenggotnya, tetapi dari perilakunya.

“Hati-hati dengan politisi atau orang-orang yang berniat mengganti Pancasila dengan sistem khilafah, Harry. Mereka adalah anthek-antheknya pemimpin-pemimpin Arab. Sebab, kalau Indonesia jadi negeri khilafah, para pemimpinnya huga akan hidup foya-foya, bermewah-mewah dan suka main perempuan seperti para pemimpin di negara-negara Timur Tengah. Hati-hati kalau memilih parpol yang berkedok agama Islam…” Gunawan menasehati saya.

Akhirnya sayapun tiba di rumah dan Gunawanpun meneruskan perjalanannya ke rumahnya di kawasan Permata Hijau, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Adzan Maghribpun berkumandang.

Sumber foto: caricarainfo.blogspot.com

—ooOoo—

CERPEN: Darin-ku Montok Darin-ku Semok

FACEBOOK-CerpenDarinkuMontokDarinkuSemok

JAKARTA 1980. Saat itu saya telah menyelesaikan semester terakhir di sebuah akademi komputer di Jakarta dan sedang menyusun skripsi dalam rangka ujian akhir atau ujian komprehensif. Kebetulan saya, Rudy Rayadi, Armi Helena dan Inggah Silanawati, teman-teman seangkatan dipercaya oleh pihak yayasan atau pihak akademi  untuk menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru.

Saat itu hari ke sepuluh bertugas sebagai panitia. Tersedia empat meja di teras kampus bagian depan. Targetnya hanya menerima 120 mahasiswa atau untuk tiga kelas saja. Tiap hari selalu ada calon mahasiswa yang datang, sebagian baru meminta informasi dan meminta brosur, namun sebagian lagi ada yang langsung mendaftar. Saat itu saya sedang sibuk merapikan formulir-formulir pedaftaran yang telah masuk beberapa hari sebelumnya.

“Maaf, Mas. Di sini tempat pendaftaran mahasiswa baru?” tiba-tiba saya dikejutkan sapaan dari arah depan saya. Saya lihat, ada cewek di depan saya. Agak gagap sedikit saya persilahkan cewek itu duduk. Sekilas saya lihat cewek itu cantik sekali. Sebagai cowok yang normal, tentu saya mengagumi cewek di depan saya itu. Namun, saya tetap harus melayani semua pertanyaan cewek itu tentang akademi kmputer tempat saya kuliah.

“Kalau serius, silahkan mengisi formulir pendaftaran,” saya menawarkan formulir sekaligus mempromosikan bahwa semua lulusan akademi komputer tempat saya kuliah, tidak ada yang menjadi pengangguran. Ternyata, cewek itu serius ingin mendaftar. Diapun mulai mengisi formulir pendaftaran sambil sesekali bertanya.

Nah, saat cewek itu mengisi formulir pendaftaran, sayapun memperhatikannya dengan cermat. Rambutnya pendek, bulu matanya lentik, bibirnya mungil, tubuhnya putih, langsing, dan…aduhai, payudaranya cukup montok dan tubuhnya cukup semok. Sebagai cowok normalpun saya merasa benar-benar kagum melihatnya. Tak lama kemudian cewek itu selesai mengisi formulir dan melampirkan semua persyaratan termasuk fotokopi surat kelulusan SMA, KTP, fotokopi lainnya dan tiga buah pasfoto berwarna ukuran 3 cm X 4 cm. Kemudian menyerahkannya ke saya.

“Lengkap. Jangan lupa, Senin depan mengikuti tes atau seleksi masuk…,” ucap saya ke cewek itu. Cewek itu mengangguk, berdiri, kemudian menyalami saya.

“Insya Allah, saya Senin akan datang,” katanya. Telapak tangannya yang saya pegang terasa halus sekali. Bergetar hati saya melihat cewek secantik itu. Sekilas mirip artis Nia Daniati. Diapun kemudian meninggalkan tempat pendaftaran. Saya hanya bisa memandanginya dengan rasa kagum. Rudy, Armi dan Inggah-pun ramai-ramai menggoda saya dan mengatakan cewek itu cocok jadi pacar saya. Saya cuma tersenyum kecut.

Sayapun melihat formulir pendaftaran cewek itu. Ternyata dia bernama Darin Syahwati berasal dari Kota Cirebon. Alamatnyapun saya catat. Kemudian, saya disibukkan oleh calon-calon mahasiswa lainnya yang sudah antri untuk saya layani.

Senin berikutnya, tes atau seleksi masukpun diadakan. Memerlukan enam kelas. Panitia pengawasnyapun cukup banyak. Sayapun mencari Darin. dari kelas ke kelas lainnya saya masuki. Saya perhatikan satu persatu wajah cewek-cewek peserta tes. Namun kenyataannya, Darin tidak ada. Benar-benar tidak ada. Bahkan sampai tes selesaipun Darin tidak ada. Tentu, saya kecewa berat.

Akhirnya, tepat Minggu pagi, sayapun menuju ke Cirebon naik bus. Lima jam kemudian tiba di terminal Cirebon. Langsung naik becak menuju alamat rumah Darin. Ternyata, sebuah rumah bertingkat yang cukup mewah. Sesudah membayar becak, sayapun mengetuk pintu rumah itu. Muncul seorang tante. Sayapun memperkenalkan diri dan menanyakan Darin. Katanya, Darin sedang ke salah satu kampus di Cirebon.

“Tunggu sebentar, deh. Katanya sebentar,kok. Cuma mengantarkan formulir pendaftaran ke kampus…” ujar tante itu sambil mempersilahkan saya duduk di teras rumah yang cukup luas dan sejuk. Sayapun menunggu Darin sambil mengagumi taman depan rumah yang dipenuhi bunga aneka warna. Sebuah kolam ikan kecil, air mancur dan beberapa pohon cemara kecil. Sebuah taman yang bagus.

Sekitar lima belas menit kemudian, masuklah sebuah mobil Honda putih. Kemudian berhenti di depan garasi. Pengemudinyapun turun dan menuju ke tempat saya. Sayapun berdiri. Darin agak terkejut melihat saya.

“Oh, dari kampus akademi komputer, ya?” sapanya sambil menyalami saya. Diapun kemudian duduk di depan saya. Sayapun langsung menanyakan ke Darin, kenapa kok tidak mengikuti tes seleksi. Darin menjawab bahwa dia akhirnya memutuskan kuliah di Cirebon saja supaya dekat dengan mamanya. Maklum, dia anak tunggal dan papanya sudah lama meninggal. Saya mengangguk-angguk memakluminya. Lagi-lagi, saya sebagai cowok yang normal, tertarik dengan payudara Darin yang montok dan tubuhnya yang semok. Apalagi, Darin mengenakan rok mini yang cukup seksi.

Darinpun bercerita bahwa sebenarnya tiap Sabtu dan Minggu selalu pergi ke Jakarta, menginap di rumah tantenya di Cijantung. Darinpun menyebutkan sebuah alamat dan tentu saya mencatatnya atas seijin Darin. Rupa-rupanya saya tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab, Darin mempersilahkan saya bertemu dengannya di rumah tantenya yang ada di Cijantung. Tentu, sebagai cowok yang belum punya pacar, sayapun merasa dapat angin segar.

Begitulah, akhirnya tiap Sabtu malam atau Minggu pagi saya bertemu Darin di Cijantung. Bahkan kalau Minggu mengajak Darin jalan-jalan. Kadang naik motor Honda 90 , kadang naik angkot, kadang naik taksi. Tanpa terasa, hubungan saya dengan Darin telah berlangsung satu bulan. Namun, rasa-rasanya saya sudah mengenal Darin puluhan tahun lamanya. Darin enak diajak bicara, selalu nyambung, wawasannya luas, cukup dewasa, suka humor dan tahu apa yang saya suka.

Hari Senin, saya ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi, yaitu Pak Firdaus Jamaluddin. Sayang, menurut bagian tata usaha, beiau hari itu tidak bisa datang karena mengantarkan ibunya ke rumah sakit.

“Kok, cepat?” tiba-tiba ada yang menyapa saya. Ternyata Tata Suhata yang juga sedang menunggu dosen pembimbingnya. Siang itu ada sekitar 10 teman-teman seangkatan saya sedang berkumpul. Sayapun duduk di samping Tata.

Ngobrol punya ngobrol, Tatapun tanya tentang Darin. Tentu, saya cerita apa adanya. Mulai kunjungan saya ke rumah Darin di Cirebon hingga kunjungan saya ke rumah tantenya Darin di Cijantung. Juga cerita tentang acara saya dengan Darin. Bahkan sayapun menunjukkan foto-foto saya bersama Darin.

“H e he he…,” Tata tertawa .

“Kok, tertawa?” tanya saya terheran-heran. Semula Tata cuma tertawa saja. Tidak mau membalas pertanyaan saya. Namun sesudah saya desak, akhirnya Tata yang juga berasal dari Cirebonpun mau bercerita. Sebuah cerita yang sangat mengejutkan.

Kata Tata, nama Darin Syahwati di Cirebon sudah cukup terkenal. Pernah terpilih sebagai Ratu Pariwisata Cirebon saat masih duduk di SMA. Pacarnya anak seorang pejabat di kota itu. Namun…kemudian dihamili hingga melahirkan anak. Dan anak pejabat itu tidak mau menikahi  Darin. Anak haramnya dititipkan di sebuah yayasan penampung bayi-bayi terlantar. Dan kata Tata, Darinpun menjadi cewek “begituan” dengan bayaran yang sangat tinggi.

Sayapun tertegun mendengar cerita Tata. Karena Tata adalah sahabat saya yang jujur, maka sayapun percaya. Hampir saya tidak mampu berkata-kata. Maksud hati saya membanggakan Darin di depan Tata, tetapi yang saya dapatkan justru sebaliknya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Darin yang montok dan semok itu.

CERPEN: Vitalia Sesat

Gambar

SIAPA sih yang tidak kenal Vitalia Ramona? Dia pernah jadi Ratu Kampus 1974 saat dia duduk di semester tiga di Fakultas Ekonomi, Universitas Kiyai Tapa, Jakarta Barat. Dia mahasiswi yang cantik, pandai dan cukup gaul. Tidak membedakan mana mahasiswa kaya dan mana mahasiswa miskin. Oleh karena itu, Vitalia sangat disukai teman-teman sekampus. Temannya banyak. Kebetulan saya waktu itu satu angkatan dan bahkan dia menjadi anggota kelompok belajar saya. Kebetulan lagi Vitalia dan saya sama-sama tinggal di Kebayoran Baru, tetangga lagi. Saya di Jl.Prof Djoko Sutono SH dekat STM Penerbangan, dia di Jl. Cikajang dekat Gudeg Bu Tjitro. Kalau saya pulang bawa mobil dan dia tidak bawa, pasti numpang di mobil saya. Begitu juga sebaliknya. Saya tahu benar, Vitalia cewek baik-baik dan rajin beribadah. Bahkan ada rencana akan umroh.

“Eh, ngalamun aja, Mas Harry ini!” tegur Vitalia mengejutkan saya ,yang saat itu sedang duduk santai sendirian di taman kampus.

“Ah, enggaklah!” singkat jawaban saya. Vitalia yang datang sendiripun duduk di sebelah saya, kemudian pesan es kacang ijo kesukaannya. Seperti biasa pesan dua gelas, satu buat saya. Vitalia memang suka traktir teman-temannya, termasuk saya tentunya. Maklum, dia punya usaha butik yang cukup besar di kawasan Mampang. Saat itu ada matakuliah kosong ,karena dosen saya, Pak Mintohardjo sedang dirawat di RS Pertamina, entah sakit apa.

Itulah Vitalia Ramona yang saya kenal pada semester pertama  hingga semester ketiga. Pada semester keempat, ada perubahan yang agak drastis pada diri Vitalia. Pergaulanpun mulai pilih-pilih. Hanya mau bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa yang tergolong mampu. Suka pesta. Kuliahnyapun sering ditinggalkan. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah belajar bersama di kelompok belajar saya. Sebetulnya saya tidak peduli. Tapi, karena Vitalia merupakansahabat baik, sayapun berusaha mencari tahu, ada apa dengan Vitalia yang cantik jelita itu?

Belakangan saya dapat informasi dari Donny, kabarnya usaha butik Vitalia bangkrut karena tempat usahanya kena gusur, bayar pajak mahal dan terakhir mobilnya hilang dicuri orang. O, kalau itu persoalannya, saya bisa memakluminya. Cuma sayangnya, Vitalia tidak pernah menceritakan semuanya itu kepada saya. Tapi, tak apalah. Itu masalah Vitalia. Lagipula sudah terlanjur terjadi. Sayapun tidak bisa membantu apa-apa.

“He! Harry! Kamu tahu nggak, bagaimana khabar Vitalia sekarang?” tanya Gaguk pada semester kelima di mana Vitalia sudah tak pernah kuliah lagi. Kabarnya ambil cuti satu tahun karena mau umroh dan sibuk dengan shooting film.

“Sibuk shooting? Betul, tapi Harry tahu nggak berita-berita dari mulut ke mulut tentang Vitalia?” tanya Gaguk yang saat itu kebetulan sedang makan siang bersama saya di kantin kampus.

“Kabar apa?” saya ingin tahu.

“Astaga! Harry teman baik Vitalia kok sampai tidak tahu, sih? Vitalia sekarang kan sering dipesan pejabat?”

“Maksudmu?”

“Biasalah! Cari duit! Jual tubuh!”

“Ah! Mudah amat Gaguk percaya? saya tahu Vitalia rajin beribadah. Apalagi mau umroh.Nggak mungkinlaaah,” bantah saya.

“Hidup di Jakarta ini segala kemungkinan bisa terjadi, Harry”

“Dari mana Gaguk tahu?”

“Namanya juga kabar burung. Ya dari mana-manalaaah…Gak penting. Tinggal Harry mau percaya atau tidak?”

Lagi-lagi, semula saya tidak peduli. Tapi, naluri keingintahuannya semakin lama semakin besar. Saya berusaha mencari informasi dari teman-teman dekat Vitalia. Ternyata, semua menjawab tidak tahu. Maklum, merekasudah lama tidak bertemu dengan Vitalia.

Nah, suatu hari secara tidak sengaja saya bertemu dengan teman lama. Teman se-SMA dulu. Saya tak sengaja bertemu di Wisma Nusantara, Jl.MH Thamrin. Saat dia turun dari lift dan saya akan naik lift. Saat itu saya akan menemui sahabat saya di salah satu kantor di gedung itu. Dan yang membuat saya terhenyak yaitu, teman saya, namanya Jeffry, turun bersama Vitalia. Ada apa ini? Akhirnya sayapun ngobrol-ngobrol sebentar. Ternyata, Jeffry punya kantor di gedung itu. Punya usaha sendiri. Siang itu dia mengajak Vitalia makan siang di salah satu resto di Jakarta Pusat. Saya tak sempat bicara dengan Vitalia. Jeffry langsung menuju ke mobl Mercy-nya bersama Vitalia. Untunglah, saya sempat minta kartu nama Jeffry.

Malam harinya saya telepon Jeffry. Maklum, jaman dulu belum ada HP atau ponsel. Saya di rumah dan Jeffrypun di rumah. Biasalah, ngobrol-ngobrol jamannya masih sekolah di SMA. Terus bicara soal perkuliahan dan pekerjaan. Jeffry tidak kuliah karena lulus SMA langsung mendirikan perusahaan di bidang ekspor-impor. Sudah jadi pengusaha sukses dan kaya raya.

Saat saya tanya tentang Vitalia, awalnya hanya mengaku Vitalia sebagai sahabat bisnis saja. Namun, sesudah saya pancing, akhirnya Jeffry berkata jujur bahwa dia saat itu memang punya acara kencan dengan Vitalia dengan tarif Rp 3 juta short time. Itu tarif tahun 1974. Cukup mahal.

“Astaga!” gumam saya tak percaya. Kenapa Vitalia melakukan itu? Apakah karena usaha butiknya bangkrut? Bukankah honor dari main filmnya cukup banyak? Lantas, apa motivasinya Vitalia seperti itu?

Esok harinyapun saya langsung bercerita ke teman-teman sekampus. Sebagian terperangah tidak percaya. Namunada satu dua yang percaya bahkan mengiyakan. Katanya, Vitalia beberapa bulan itu memang tersesat karena bangkrut dan terpengaruh ajakan Renny, teman kuliah yang sudah lama terkenal  sebagai “ayam kampus”. Sayapun mulai percaya bahwa Vitalia memang tersesat.

Tapi, lagi-lagi buat apa saya peduli dia? Pacar bukan. Saudara bukan. Hanya sahabat biasa saja. Kenapa saya mengurusi yang begituan? Bukankah fokus ke dunia perkuliahan itu lebih baik? Urusan Vitalia adalah urusan Vitalia. Tidak ada hubungannya dengan urusan saya. Sejak saat itu, teman-teman sekampus menjuluki Vitalia Ramona dengan sebutan Vitalia Sesat. Kabarnya, Vitalia telah keluar dari Universitas Kiyai Tapa dan kuliah di ASMI, Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia.

Tanpa terasa. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan.Tahun berganti tahun. Saya sudah lulus sebagai sarjana dan bekerja pada sebuah perusahaan konsultan manajemen di kawasan Jl.MH Thamrin. Tepatnya di Wisma Nusantara. Sama dengan kantor Jeffry. Bedanya, Jeffry di lantai 4 sedangkan saya di lantai 9.

Hari pertama kerja saya kerja, saya terkejut. Ternyata saya satu kantor dengan Vitalia.

“Vitalia?!” sapa saya hampir tak percaya. Vitaliapun berdiri dan menyalami saya.

“Kaget,ya? Saya membaca lamaran kerja Mas Harry dan saya usulkan ke pimpinan supaya Mas Harry bekerja di sini…” jawab Vitalia. Sayapun tertegun.

Sejak itulah, hubungan saya dengan Vitalia kembali akrab. Karena rumah saya dan rumah Vitalia di Kebayoran berdekatan, maka sayapun selalu bersama-sama berangkat dan pulang kantor. Maklum, sejak bangkrut, Vitalia tidak punya mobil lagi.

Entahlah. Mungkin tiap hari saya bertemu dengan Vitalia, sedikit demi sedikit, sayapun jatuh cinta kepada Vitalia. Apalagi Vitalia juga masih hidup sendiri. Tapi, saya punya konflik batin yang cukup berat. Apakah saya harus menikah dengan Vitalia yang dijuluki teman-teman sebagai Vitalia Sesat degan tarif Rp 3 juta short time?

Setahun saya bekerja di perusahaan itu. Akhirnya Vitaliapun mengaku bahwa dulu memang dia tersesat karena butuh uang banyak untuk biaya hidup sehari-hari. Diapun menyatakan telah bertaubat dan jika bersedia, Vitalia mengajak saya umroh bersama, bulan depan. Niat umroh Vitalia yang bertahun-tahun tertunda.

Begitulah, bulan berikutnya saya dan Vitalia menjalankan umroh. Dan di sana, kami berdua berjanji akan menjadi suami istri yang baik. Akan menjadi ayah dan ibu yang baik bagi anak-anak. Akan menjadi umat beragama yang taat. Dan memang benar. Beberapa bulan kemudian saya menikah dengan Vitalia. Dengan ikhlas, saya memaafkan masa lalu Vitalia yang kelam. Apalagi, Vitalia sudah bertaubat.

CERPEN: Meddy

FACEBOOK-CerpenMeddy

             HARINYA lupa,tanggalnya lupa,bulannya juga lupa.Namun,saya masih ingat kejadian itu berlangsung pada tahun 1980 yaitu sewaktu saya naik kereta api Senja Utama Jakarta-Solo.

“Mau ke mana?”,tanya saya ke seorang gadis cantik berambut pendek mirip Demi Moore yang duduk di sebelah saya.Waktu itu kereta baru saja berangkat dari stasiun Gambir sore hari.

“Yogya.Kalau,Mas..?”,ganti gadis itu bertanya.Kulihat gadis berambut pendek itu menatap mata saya. Bening sekali matanya.

“Sama.Saya kuliah di UGM”,saya menawarkan permen Mentos.Gadis itu menggeleng kecil. Sementara itu kereta api mulai meninggalkan Kota Jakarta.

“Di fakultas apa,Mas?”.dia ingin tahu.Saya lihat,matanya bening dan indah.Bulu matanya lentik.Sekilas mirip Meriam Belina.

Saya pun menjawab apa adanya.

“Di Fakultas Filsafat,tingkat sarjana muda”

“O,kalau begitu kita satu kampus.Saya di fakultas teknik”,tampak wajah gadis itu ceria.Ganti,dia menawarkan biskuit.Saya menggeleng kecil.

“Teknik? Kenal dong sama Roy”,saya ingin tahu.

“Roy? Roy yang dari Sukabumi,Jawa Barat?”

Saya mengangguk.

“Wow,kalau Roy itu sih nggak cuma kenal,bahkan kenal akrab.Roy kan sahabat se-study club.Mas,kok kenal,sih?”,gadis itu penasaran.Saya lihat dia mengenakan baju warna pink dan celana jean yang manis.

“Kalau saya baru kenal.Itupun dari Mita,pacarnya…”

“Mita? O,mungkin pacarnya yang dari Sukabumi juga ya? Mita yang kuliah di Akademi Bahasa Asing ‘Jakarta’,kan?”,gadis itu ingin tahu.

“Kok,tahu?”,sementara itu kereta terus melaju pesat. Suara rodanya sangat berirama.

“Iya,kan si Roy sering cerita kalau kita sedang kumpul-kumpul .Mas,kenal Mita di mana?”,gadis itu tampak penasaran.

“Mita juga teman sekampus saya di ABA Jakarta.Namun sekarang sudah alumni.Dia kerja di Jetro ,Japan External Trade Organisation,Wisma Nusantara Lantai 11,PO Box 2140,Jakarta Pusat”,jawab saya lengkap.

“O,..ya,ngomong-ngomong kita belum kenalan,nih!”,katanya sambil menyodorkan telapak tangannya yang mungil.Saya menyambutnya. Malu juga saya, kenapa bukan saya yang harus memperkenalkan terlebih dulu.

“Harry…Harry Imadha”,saya memperkenalkan diri.

“Di Kampus saya dipanggil Meddy.Lengkapnya Samedi.Samedi berasal dari kata Perancis yang artinya Sabtu.Saya dilahirkan hari Sabtu”,jelasnya cukup panjang lebar. Sesekali dia meneguk minuman Coca Cola kaleng.

“Namamu bagus..”,sebuah pujian saya ucapkan.Dia hanya terseyum.Oh,cantik sekali.

“O ya,enak ya Mas tinggal di Jakarta.Gadis-gadisnya cantik.O ya,ngomong-ngomong pacarnya Mas Harry tinggal di mana?Di Jakarta atau di Yogya? Boleh nggak Meddy kenalan? Lumayan kan untuk memperluas persahabatan”,tanyanya memancing.Namun saya menjawabnya secara jujur.

“Sejak tahun 1974 saya tidak pernah mencintai gadis dalam arti yang sesungguhnya.Tepatnya,sejak Erna Stella—pacar saya—meninggal karena kecelakaan di Jl.Malioboro”,saya mulai bercerita.

“Oh,Maaf ya,Mas jika Meddy mengungkit-ungkit masa lalu Mas Harry yang pahit”,kata Meddy.

“Tidak apa-apa.Justru saya mengucapkan terima kasih kalau Meddy mau mendengarkan sedikit cerita tentang saya.Entahlah,terhadap teman-teman sekampus di ABA “Jakarta” ataupun di UGM saya tak sempat cerita.Sibuk kuliah mondar-mandir Jakarta-Yogyakarta.

“Mungkin itu peristiwa yang terjadi pertama kali bagi Mas Harry.Sulit untuk dilupakan.Tapi,alangkah baiknya dan bijaksananya jika Mas Harry tidak hidup dalam kungkungan trauma psikologis.Lupakan saja masa lalu.Toh di UGM juga banyak gadis-gadis yang cantik.Tuhan tidak hanya menciptakan satu gadis.”,kata Meddy bernada menasehati.Kalau saya pikir-pikir,apa yang diucapkan Meddy memang ada benarnya juga.

“Meddy memang benar.Saya memang kadang-kadang sering lupa menengok masa depan.Maklum,saya cinta setengah terhadap almarhumah Erna Stella”,saya menghela nafas panjang-panjang. Sesekali saya meneguk kopi susu hangat yang ada di gelas .

“Maaf ya,Mas.Bukannya Meddy sok dewasa atau sok menggurui.Cuma,entah kenapa perkenalan kita yang singkat ini seolah-olah sudah berlangsung puluhan tahun dan Meddy langsung merasa akrab dengan Mas Harry.Mungkin Meddy teringat cerita dari saudara sepupu yang juga pernah mengalami nasib yang mirip dengan yang dialami Mas Harry.Cuma,karena dia  terikat pada masa lalunya,akhirnya dia tak menikah.Umurnya kini 51 tahun dan masih menjadi pria bujangan.Meddy berharap agar Mas Harry tak seperti saudara sepupu saya tersebut…”,ujarnya penuh harap.

“Meddy memang benar!Mungkin akan lebih menyedihkan bila hal itu dialami seorang wanita dan mereka akan mendapatkan julukan perawan kadaluwarsa.Sebutan yang menyakitkan hati,” kata saya sambil menawrkan permen Mentos.Kali ini Meddy mau menerimanya. Karena udara malam mulai dingin, sayapun menutup jendela kereta.

“Sudahlah,Mas…jangan terlalu idealis.Gadis yang 100% serupa dengan almarhum Erna Stella pasti tidak ada.Meddy percaya bahwa masih banyak gadis yang mau menggantikan almarhumah Erna Stella.O,ya,di fakultas filsafat kan ada gadis yang sedang ngetop.Namanya Corry Lumanauw”,Meddy bercerita.

“Bukan Corry Lumanauw,tapi Doris Lumanauw.Memang dia cantik.Tapi,saya bisa melarat kalau hidup dengannya.Untuk apa berpacaran dengan gadis tukang porot?Saya menyukai gadis yang bersikap biasa-biasa saja.Memang sih saya ini sedang sial.Saya memang pernah mencoba cari pacar lain,namanya Deasy.Sayang dia sakit asma.Meddy tentu tahu kalau penyakit itu bisa menurun ke anak cucu.”

Saya terus melanjutkan cerita.

“Kemudian,saya mencoba mendekati gadis lain.Namanya Meila Paulina van Fredrick.Gadis Indo.Ternyata,gadis yang tampaknya alim itu ternyata pelacur kelas kakap.Padahal,penampilannya seperti mahasiswi.Haruskah saya memacarinya untuk kemudian saya peristri?Tentu saja tidak!”

“Sabar saja,Mas.Anggap saja bahwa Tuhan sedang menguji mental,jiwa dan ketabahanb Mas Harry.Setiap orang di bumi ini apapun pangkatnya,apa pun kekayaannya,apa pun jabatannya,di mana pun tempatnya,apa pun agamanya,pasti diberi cobaan-cobaan oleh Tuhan.Kita harus berfikir yang realistis,yang nyata,bahwa kehidupan itu tak selamanya sedih dan tak selamanya menyenangkan.Apalagi Mas Harry adalah laki-laki.Tak perlu cengeng dengan masa lalu.Meddy percaya bahwa suatu saat Mas Harry akan menemukan seorang gadis yang justru melebihi almarhumah Erna Stella.Percayalah”,Meddy meyakinkan.Gaya bicaranya memang cukup dewasa.

Sementara itu kereta telah melesat jauh.Melaju kencang.Kutatap wajah Meddy.Kupandang dalam bola matanya.

“Kenapa,Mas?”,Meddy ingin tahu.

Sayapun menjawab jujur.

“Meddy,…Meddy mirip sekali dengan almarhumah Erna Stella.Gaya bicaranya,senyumnya,wajahnya…Saya seperti bermimpi…”

Hari semakin malam. Tak henti-hentinya kami saling bercerita. Dan akhirnya kami berduapun tertidur pulas.

CERPEN: Di Langit Kugapai Bintang

FACEBOOK-CerpenDiLangitKugapaiBintangOke

YOGYA,17 Juni 1985.Hari ini saya dan Ita atau Ade Rosita sedang duduk berdua di restoran Hellen,Jl.Malioboro.Kami berdua sedang minum ice juice kesukaan masing-masing.

-“Selamat hari ulang tahun 17 Juni 1985.Mudah-mudahan Mas Yanto cepat mendapatkan pekerjaan lagi”,kata Ita sambil menyalami saya.

-“Terima kasih. Saya juga mengucapkan ulang tahun untuk Ita.Bukankah ulang tahun kita sama? Mudah-mudahan Ita kelak menjadi sarjana yang berguna bagi nusa dan bangsa”,sayapun menyalami tangan Ita yang halus lembut itu.

Hari demikian cepat berlalu.Semua sahabat saya telah menikah.Ruddy Rayadi,Faizal Salmun,Armi Helena Nasution,Orizanita,Inggah Silanawati,Chatarina Pri Ernawati,yah..hampir semua.Tinggal saya yang belum.Sudah berkali-kali saya naksir cewek mulai dari Rikit Mulyasari,Nunie Hendrati,Sri Redjeki Cikatomas,Dewi Sayekti,Emiria Bhakti…semuanya menolak.Tapi,untunglah saya menemukan seorang gadis bernama Ita.

-“Ita,secepatnya saya akan melamarmu.Apalagi menurut Dokter Arifin Mahubay, telah menyatakan bahwa Ita dalam keadaan sehat dan bahkan sudah mengandung.Tentu,saya harus bertanggung jawab”,kata saya suatu ketika.Saya pandangi bulu mata Ita yang lentik serta alisnya yang tebal.Orang bilang,gadis yang demikian biasanya bisa memiliki keturunan yang cantik dan ganteng.Ita diam saja.Hari itu Ita telah hamil dua bulan.

MALAM harinya saya masih berada di rumah Ita di Jl.Cik Di Tiro.Di ruang tamu kami berbicara,ngobrol,melihat TV sambil membuka-buka album.Ibu Ita,yaitu ibu Sindoro turut menemani.Pak Sindoro telah meninggal sepuluh tahun yang lalu.Putera Bu Sindoro tujuh orang,Ita nomor tujuh.Hanya Ita dan Bu Sindoro yang menempati rumah di Jl.Cik Di Tiro,Yogyakarta itu.

Tiba-tiba saya terkejut ketika membuka album yang berikutnya. Di situ saya melihat foto rumah saya yang terletak di Jl.Trunojoyo No.4 Bojonegoro yang sudah terjual 15 tahun yang lalu.

“Ini foto rumah siapa,Bu?”,tanya saya memancing.Bu Sindoro melihat ke album yang kutunjukkan.Lalu katanya panjang lebar.

“Itu foto rumah Bu Sudjana,bekas tetangga Bu Sindoro sewaktu Pak Sindoro menjabat sebagai bupati waktu itu.Semua putera Bu Sudjana. Karena Bu Sudjana tak berhasil memiliki putera laki-laki,maka akhirnya putera ibu yang laki-laki dimintanya.Sebagai anak angkat”.Wajah Bu Sindoro menerawang,mengingat masa lalu.

Sayapun mengambil kesimpulan bahwa sayalah yang dimaksud putera laki-laki itu.Kalau begitu,saya ini anak angkat?Kalau begitu,Bu Sindoro adalah ibu kandung saya?Kalau begitu,Ita yang tengah mengandung dua bulan ini adalah…adik kandung saya?Ya Tuhan,terkutuklah saya ini…”.Saya berdesah,cemas dan ragu.

ESOK harinya Ita menangis deras.Lama dia menangis di Hotel Intan, tempat saya menginap.

“Tak mungkin kita menikah.Tak mungkin”,ucap saya lirih,setengah putus asa.Saya bingung,pikiran ruwet.Ita berkali-kali mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“Ita,satu-satunya jalan adalah …aborsi.Ita harus gugurkan kandungan itu.Sekarang juga kita ke Dokter Arifin.Saya bangkit,kutarik pelan tangan Ita.Ita pun bangkit dari tempat tidur.Sesudah menyeka air mata,Itapun mengikuti saya.

-“Apakah aborsi tidak dilarang hukum?”,Ita ingin tahu.Sementara itu Yogya mulai diguyur hujan yang deras.Becak yang kami naiki amat pelan jalannya.Maklum,tukang becaknya sudah tua.

“Sekitar tahun 1972 Indonesia memang menganggap bahwa bahwa aborsi adalah ilegal.Tidak sah.Tanpa kekecualian.Bahkan pasal 346 KUHP  bisa memidanakan seorang wanita yang menggugurkan kandungannya”,saya menjelaskan.

“Jadi?”,Ita ingin tahu.Wajahnya agak ketakutan.Memang serba salah.Alkan menikah,jelas agama tidak mungkin mengijinkan karena kami ternyata kakak beradik kandung.Melakukan aborsi berarti melanggar hukum.Sudahkan Indonesia menganut “legal conditionally” mengenai aborsi di mana aborsi bisa dibenarkan atas dasar pertimbangan ‘rape’ (perkosaan),’incest’ (sesaudara kandung),atau ‘deformed fetus’ atau pertimbangan medis?Entahlah.

Yang jelas,uang adalah segala-galanya.Setelah tawar-menawar akhirnya dr.Arifin Mahubay bersedia melakukan aborsi dengan imbalan uang Rp 15 juta.

Darimana saya mendapatkan uang sebanyak itu?Akhirnya saya nekat,rumah yang saya tempati di kawasan Cinere,Bogor,saya jual.Saya iklankan di Harian Sinar Harapan.Bunyinya:”Rumah:Dijual.Murah,mungil indah.Cinere Blok D-160 (Jl.Bukit Cinere,PT Kani).LT/LB 108/65,2 KT,BathTub.Dijual di bawah harga pasaran.Hub:Harry alamat tsb.TP”.

Untunglah rumah saya cepat laku.Terjual dengan harga Rp 61 juta,yang 15 juta untuk biaya aborsi.Sisanya saya belikan rumah di perumahan Pondok Mekarsari,Jl.Raya Bogor Km 30,sekitar enam kilometer sebelah Selatan terminal Cililitan.

Sikap saya ke Bu Sindoro (ibu kandung saya) biasa-biasa saja.Rahasia itu saya pendam rapat-rapat.Masalah aborsi hanya saya,Ita dan dr.Arifin yang mengetahuinya.Yang jelas,saya tetap menghargai Bu Sudjana yang telah memelihara saya,memmanjakan saya,dan mendewasakan saya hingga sekarang.Luar biasa,betapa tahan Bu Sudjana menyimpan rahasia ini sampai puluhan tahun.

Menjelang lebaran tahun ini,saya meminta ijin ke Bu Sindoro agar Ita boleh saya ajak ke Bali,berlibur dan berlebaran di sana.Ijin dikabulkan.Benarkah kami ke Bali? Tidak!Saya mengajak Ita ke kota Bojonegoro,kota di mana ‘ibu’ saya berada.Saya akana sungkem dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan ‘ibu’ Sudjana.

Ita tetap saya ajak ke Bojonegoro,Jawa Timur.Karena,meskipun Ita ternyata adalah adik kandung saya,namun kami belum bisa mengganti rasa cinta itu dengan rasa persaudaraan.Aneh memang.

“Saya tak mengira cinta pertama saya seburuk ini”,Ita mengeluh berkali-kali.Matanya masih basah.Badannya masih lemah akibat aborsi.Ita memang pantas bersedih, karena sesudah aborsi itu,dr.Arifin mengatakan bahwa Ita tak mungkin akan memiliki keturunan seumur hidup.

Betapa banyak cobaan yang saya hadapi pada tahun 1985 ini.Saya dipecat dari PT Sunan Ngampel akibat saya difitnah,mobil Honda Civic Wonder saya hancur akibat kecelakaan dekat restoran Situ Gintung,Ciputat.Saya ditolak untuk menjadi dosen di Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti,Jakarta karena lowongan telah diisi oleh teman saya Eva Hassan dan Heru Hardjanto dan sekarang mengalami mysibah mencintai seorang gadis yang ternyata adik kandung sendiri.

Malam harinya kami makan malam bersama.Bukan main hiruk-pikuknya.Semua saudara saya yang kebetulan semuanya perempuan datang bersama suami masing-masing,juga famili-famili,sahabat-sahabat se-SMA,lengkap dengan putera-puteranya.

Saya sengaja mengajak Ita supaya tidak diledek.Kalau ditanya, maka saya akan memperkenalkan Ita sebagai calon istri saya.Mereka pasti percaya,termasuk ‘ibu’ saya.Namun suasana lebaran malam itu menjadi lain ketika ‘ibu’ku memandang tajam ke arah Ita.’Ibu’ saya berhenti makan sejenak.Semua yang duduk di sekitar meja makan saling berpandangan tak mengerti.

“Nak Ita,boleh ibu pinjam sebentar kalung,nak Ita?”,pinta ‘ibu’.

Agak ragu dan heran, pelan Ita melepas kalung itu dan memberikannya ke ‘ibu’.’Ibu’ pun melihat dan membolak-baliknya.

“Nak Ita,ibumu namanya siapa?”,tanya ‘ibu’.

“Sindoro” jawab Ita jelas.

“Sindoro Soesmadji?” tanya ‘ibu’.Ita mengangguk.

‘Ibu’ku langsung bangkit dan memeluk Ita erat-erat.

“Ya Tuhan…kamu anak kandung saya…!

Saya semakin heran.Semua yang hadir terpaku.Ita merangkul ‘ibu’ setengah tak percaya.

Namun setelah ‘ibu’ bercerita,segalanya jadi jelas.Dulu,’ibu’ Sudjana berputera seluruhnya perempuan,satu di antaranya jadi anak angkat Bu Sindoro.Sebaliknya,seluruh putera Bu Sindoro adalah laki-laki,satu di antaranya adalah saya)menjadi anak angkatnya Bu Sudjana.Jadi,semacam barter begitu.Jadi,sebenarnya ternyata Ita bukan adik kandung saya!

SEWAKTU seluruh keluarga tidur, di pavilyun saya dan Ita sa;ling berpeluk.Air mata Ita menetes deras.Air mata suka,sedih,haru,kecewa,semuanya menjadi satu.

“Jadi,kita bukan kakak beradik sekandung…”,kata saya.

“Kalau begitu,kita boleh menikah ,bukan?”,ucap Ita.

“Benar.”,singkat jawab saya.

“Tapi,Mas…Kita sudah terlanjur melakukan aborsi.Dan saya tak mungkin memiliki keturunan lagiApakah Mas Yanto nanti tak menyesal jika tak punya anak?”,Ita bertanya penuh rasa kekhawatiran.

“Serahkan saja semuanya kepada Tuhan.Masalaha kita nanti punya keturunan atau tidak itu tidak masalah bagi saya.Hanya Tuhan yang Maha Tahu”,saya mencoba meyakinkan Ita.

Benar.Dua tahun sesudah kami menikah,saya dan Ita dikaruniai seorang putera sehat dan lucu.

CERPEN: Rita Perawan Bandung Selatan

Gambar

YOGYAKARTA,1980:Pada tahun ini saya masih kuliah di Fakultas Filsafat UGM.Seperti biasa,tiap akhir bulan saya pulang ke Jakarta.Sayang,malam itu kereta jurusan Yogya-Jakarta tiketnya sudah habis.Terpaksa saya mengambil keputusan mengambil jalan berputar yaitu Yogya-Bandung-Jakarta.Sesudah saya mendapatkan tiket jurusan Bandung,segera saya naik ke gerbong.Kereta Mutiara Selatan malam itu meluncur mulus meninggalkan Kota Gudeg.

“Mau ke Bandung ?”,saya bertanya ke gadis yang duduk di sebelahku.Dia menoleh.Wah,cantik juga gadis ini,pikirku.Gadis itu cuma mengangguk sambil tersenyum kecil.Rambutnya hitam dipotong pendek.Saat itu dia mengenakan baju berwarna biru dan celana jean.

“Di Bandung kuliah atau kerja ?”,saya tanya lagi.Mumpung ada kesempatan bagus.

“Di Sastra Inggeris,IKIP Bandung.Nggak tahu deh,Mas…Rita dulu inginnya masuk Fakultas Psikologi,tapi Papa sih…tidak mengijinkan.Apa boleh buat.Sebenarnya kalau soal bahasa sih,lebih suka bahasa Perancis daripada bahasa Inggeris”,katanya sambil tersenyum manis.

“Savez-vous parler francais?”,tanyaku dalam bahasa Perancis.Asal ngomong.Siapa tahu Rita mengerti.Sempat kulihat bulu matanya yang lentik indah.

“Je ne la sais pas encore.Mon pere connait le francais perfaitement”,jawabnya merendahkan diri.Apakah bahasa Perancisnya sempurna atau tidak,saya juga tidak tahu.Tapi maksudnya saya mengerti.

“Kalau bahasa Inggeris,saya dulu juga pernah belajar bahasa  Inggeris di Akademi Bahasa Inggeris “Jakarta”.Kalau bahasa Perancis,sih cuma belajar asal-asalan.

Malam semakin larut.Segelas kopi hangat saya minum sedikit demi sedikit sekedar mengurangi udara AC kereta yang cukup dingin.Penumpang lain sudah mulai tidur,sedangkan saya dan Rita masih terlibat pembicaraan.Tampaknya ada kecocokan.

“Ngomong-ngomong,Rita belum tahu nama Mas…”,Rita menyalami saya.

“Saya Harry”,singkat jawaban yang saya berikan.

“Kuliah di mana ,Mas?,”Rita ingin tahu.Kereta terus melaju.Kereta itu memang menyenagkan.Semua penumpang menghadap ke depan dan tidak ada yang duduk berhadap-hadapan.Satu set kursi hanya untuk dua orang.

“Di Yogya saya ambil Fakultas Filsafat UGM,sedangkan di Jakarta ambil Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti”,saya mereguk lagi kopi hangat.

“Wah,kuliahnya bagaimana itu,Mas?”

“Wah,saya ini tergolong gila ilmu.Minggu pertama saya kuliah di ABA,Fakultas Sastra dan Fakultas Hukum.Artinya,pagi di Fakultas Sastra UI,siang di ABA (Akademi Bahasa Asing “Jakarta”,malam di Fakultas Hukum UI (ekstension).Minggu kedua saya kuliah di Fakultas Ekonomi,Jurusan Manajemen,Universitas Trisakti.Sedangkan minggu ketiga dan keempat saya kuliah di Fakultas Filsafat UGM.Sedangkan tiap Sabtu dan Minggu saya belajar matakuliah Fakultas MIPA di Universitas Terbuka”,jawaban yang saya berikan panjang lebar.

“Idih…buang-buang uang saja,Mas.Buat apa menuntut ilmu sebanyak itu.Toh nanti di lapangan kerja tidak semuanya terpakai”,ucap Rita setengah menasehati.

“Ha..ha..ha…! Saya kuliah banyak bukan karena gila gelar atau gila ilmu,tapi semata-mata memanfaatkan kesempatan selagi punya uang banyak.Saya itu kuliah banyak sekalian mengadakan penelitian untuk mencari jawab kenapa kualitas pendidikan di Indonesia ini rendah.Bahkan menurut hasil suervei,kualitas pendidikan perguruan tinggi di negara kita ini menduduki peringkat ke-45 di antara negara-negara Asia.Nah,memprihatinkan bukan?”,saya menjelaskan.

Tanpa terasa,malam semakin larut.Namun kami masih asyik ngobrol ngalor ngidul.Entah kenapa,tanpa malu-malu Rita merebahkan kepalanya di pahaku.

“Sambil tidur-tiduran ya,Mas? Nggak apa-apa,kan”,ucap Rita sambil memandang.Mata Rita memang benar-benar indah.Tampak Rita santai sambil menghilangkan cutex di kukunya dengan menggunakan remover merek Barclay.Rita,nama lengkapnya Rita Primadhanie memang sangat menarik sekali.Tanpa saya sadari,rambut Rita yang terurai itu kubelai.Tampaknya Rita diam saja.

“Ngomong-ngomong,di Bandung Rita tinggal di mana?”,saya ingin tahu.

“Di Jl.Karasak Baru,Mohammad Toha,Bandung Selatan…”,Rita mengambil selembar kartu nama.Kamipun bertukar kartu nama.

“Tapi kalau bertemu sebaiknya di kampus saja,Mas”,pintanya.

“Lho,memangnya kenapa?”,mendadak saya ingin tahu.

Rita pun bercerita panjang lebar.Ternyata gadis ini merasa tertekan karena dijodohkan oleh kedua orang tuanya.Dia sengaja ke Yogya sekadar menghilangkan kekesalannya di samping berkunjung ke sahabat wanitanya.

“Alamat kampus saya di English Student Association,Faculty of Letters and Fine Arts,IKIP,Jl.Dr.Setiabudi No.229,Telepon 81743,Bandung.Tapi kalau mau bertemu saya,sebaiknya telepon ke rumah dulu.Nomor telepon rumah saya……..”,Rita pun menunjukkan nomor teleponnya yang tertulis di kartu nama.

Kereta terus meluncur,meluncur,meluncur….tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 24:00.Semua penumpang telah tertidur pulas.Namun Rita justru bangkit dari posisinya dan duduk biasa di sampingku.Mungkin karena dinginnya AC Rita merapatkan tubuhnya ke tubuhku.Tanpa saya sadari tangan saya memeluk Rita namun didiamkan saja.

Sebagai laki-laki normal dan muda usia saya tidak akan menyianyiakan malam yang indah itu.Semula saya hanya membelai-belai rambut Rita.Namun pada tahap berikutnya jari jemarinya saya pegang dan saya remas-remas.Tampaknya Rita juga membalas.

Kami sama-sama muda usia tentu saling membutuhkan.Memang,detik demi detik kami semakin akrab.Rita yang baru saya kenal beberapa jam seakan-akan sudah saya kenal puluhan tahun.Rasa canggungpun sedikit demi sedikit sirna.Pelan tapi pasti…kucium pipi Rita.Ah…gadis itu cuma tersenyum kecil.Kami berdua saling berpandangan penuh arti.Ah…bibirnya yang mungil indah itu membuat saya gemas.Lantas…secara pelan-pelan saya mencium bibirnya.Rita diam saja.Kucium lagi.Rita diam juga.Akhirnya bibirnya kulumat habis-habisan dan ternyata Rita juga membalasnya dengan penuh semangat.Kami saling memeluk dan saling cium.Lumayan,bisa mengurangi rasa dinginnya AC kereta.

Kami saling pandang.Indah sekali malam itu.Tanpa terasa,kami berdua mulai menanamkan benih-benih cinta.Akhirnya,kami berdua tertidur pulas dalam posisi saling berpelukan.

Pagi harinya pun kami tiba di Bandung.Dengan berat hati kami harus berpisah di stasiun Bandung.Saya tak sempat mengantarkan sebab harus segera pindah ke kereta jurusan Jakarta.

Sejak itulah kami saling berkunjung.Saya berkunjung ke Bandung,Rita berkunjung ke Yogya.Kalau saya sedang kuliah di Jakarta,dia ke Jakarta.Bandung memang kota kenangan.Saya menyebutnya dengan istilah “c’est bien bon! Yang artinya cantik sekali.Tanpa terasa hubungan kami sedah berjalan selama dua tahun.

Suatu ketika ketika saya baru sampai di tempat kost di Jl.Lobaningratan,Yogya,salah seorang teman satu kost mengatakan ada surat untuk saya di kamar.Segera saya masuk ke kamar.Ternyata sebuah undangan dan di dalamnya ada secarik kertas.

Sungguh saya kecewa,ternyata undangan pernikahan Rita dengan pria yang dijodohkan.Katanya dalam surat “Saya minta maaf,Mas.Saya tidak berdaya menolak keinginan kedua orang tua.Mungkin kita belum jodoh.Semoga Mas Harry mendapatkan gadis yang melebihi Rita.Betapapun juga,Mas Harry adalah cinta pertama Rita…”

Saya hanya bisa terpaku diam.Tidak tahu apa yang harus saya perbuat.Diam-diam kupandangi foto Rita di atas meja.Pelan tapi pasti,foto itu saya lepas dari piguranya.Foto Rita,undangan dan surat terakhir Rita saya masukkan ke koper…”

Sekarang tahun 2003.Berarti peristiwa itu sudah berlangsung 23 tahun yang lalu,namun foto Rita,undangan pernikahan dan surat terakhir Rita masih saya simpan dengan rapi.Rita Primadhanie….perawan Bandung Selatan yang sempat datang dan pergi dari hati.Hidup ini memang seperti mimpi…

 

—ooOoo—

 

 

 

 

 

 

 

 

CERPEN: Namaku Niken Bukan Claudia

Gambar

SAAT itu umur saya 40 tahun. Dua tahun saya cerai dengan Claudia. Tetap mengelola resto ayam goreng. Resto yang semula saya beri nama Claudia Fried Chicken saya ganti menjadi Resto New York Fried Chicken. Resto yang dua tahun lalu merupakan resto kecil telah berkembang. Tempatnyapun berpindah ke Jl.Dr.Saharjo. Lebih besar dan halaman parkirnya lebih luas. Karena reesto berkembang pesat, maka saya mengundurkan diri dari kantor saya yang kerja saya berdasarkan kontrak. Ada proyek saya bekerja dan tidak ada proyek saya tidak bekerja. Penghasilan saya mengelola resto lebih besar dibandingkan gaji yang pernah saya terima dari perusahaan. Bahkan saya mampu membeli rumah kredit di BSD Cluster Catelya, Tangerang Selatan, sebuah rumah minimalis dua lantai dan mampu kredit mobil. Ruelum saya tempati. Sementara masih tinggal di resto tempat saya bekerja.

Seperti biasa, tiap Minggu pagi saya mengontrol rumah saya di Cluster Catelya. Siang harinya, seperti biasa saya menuju ke ITC Mall untuk makan siang di Pizza Hut. namun sebelumnya saya menuju ke ATM Bank BRI dulu. Ternyata di dalamnya masih ada orang yang menggunakan ATM. Sayapun sabar menunggu.

Tak lama kemudian, orang yang di dalam ruang ATMpun keluar. Betapa terkejut saya melihat orang itu. Tanpa sengaja dan reflek, saya memanggilnya.

“Claudia…!” panggil saya. Wanita muda itupun terkejut. sayapun segera sadar bahwa wanita yang mirip Claudia pastilah bukan Claudia. Dia sempat berhenti memandangi saya. Mungkin, karena merasa tidak kenal atau mungkin itu bukan nama saya, wanita muda itupun meneruskan perjalanannya menuju ke tempat parkir mobil. Entah kenapa saya mengikutinya dari belakangnya.

“Maaf, kalau saya memanggil Anda Claudia…” saya mendekatinya. Wanita muda itu menengok ke arah saya sebentar dan terus berjalan menuju ke tempat parkir. Sepuluh langkah kemudian saya mengucapkan kata-kata yang sama, namun wanita muda itu tetap cuek.

Ketika dia akan membuka mobil, untuk ketiga kalinya saya meminta maaf. Dia tak jadi membuka pintu mobilnya. Dia menatap saya beberapa saat. Mungkin dia tahu tidak bermaksud jahat, diapun bersikap ramah.

“Ada apa dengan Anda?” dia ingin tahu.

“Maaf. Anda mirip sekali dengan mantan isteri saya,” sayapun mengambil dompet dan menunjukkan foto itu kepadanya. Dia menerima foto itu dan melihatnya. Tampa wajahnya berubah bersinar.

“Wow! Iya,ya? Mirip sekali. Kok, bisa sih…” berkali-kali dia melihat ke arah saya dan ke arah foto itu..Karena dia menuunjukkan sikap yang ramah, maka sayapun memberanikan diri untuk berkenalan. Ternyata dia menyambutnya.

“Harry,” saya menjabat tangannya.

“Niken. nama saya Niken. Bukan Claudia…” candanya. Diapun tertawa kecil. Tampaknya dia terburu-buru. Sebelum masuk ke mobil, saya meminta nomor HP-nya. Ternyata dia memberikan kartu nama. Sayapun memberikan kartu nama. Tak lama kemudian mobil mulai beranjak pergi.

“Main-main ke rumah Niken, Mas Harry,” sapanya hangat sambil melambaikan tangan lewat jendela mobil. Tak lama kemudian mobil Avanza hitam itupun tak tampak lagi di mata saya. Segera saya menuju ke Pizza Hut untuk makan siang.

Sambil makan siang, saya membayangkan kembali pertemuan yang aneh tadi. Kok ada ya, wanita yang segala-galanya mirip Claudia? Rambutnya, matanya, bibirnya, senyumnya, langsingnya. Segala-galanyalah.

Selama seminggu, saya dan Nikenpun saling kontak lewat HP. Dari ceritanya, sayapun mulai tahu siapa Niken. Seorang janda muda. Suaminya seorang pilot telah meninggal dalam kecelakaan penerbangan Surabaya-Manado. Suaminya dan semua penumpang kecebur laut dalam dan hingga sekarang semua jenasah penumpang pesawat itu tidak diketemukan. Niken punya seorang anak perempuan bernama Dieta. Masih sekolah di taman kanak-kanak. Niken cewek Bali. Dia mantan pamugari dari Bouraq Airways.

Karena saya sudah tahu Niken berstatus janda, maka hari Minggu itu dengan mengendarai mobil saya menuju ke rumahnya di Komplek Perumahan Banjar Wijaya, sekitar Cipondoh, Tangerang. Setelah tanya sana tanya sini, akhirnya ketemu juga rumahnya. Karena sudah janjian, maka Niken dan anaknyapun menyambut kedatangan saya.

“Selamat datang Mas Harry,” Niken mencium tangan saya dan disusul anak perempuannya yang juga mencium tangan saya. Kami berduapun ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Rumahnya ternyata juga dua lantai. Tertata rapi dan tampak indah. Terkesan Niken pandai memilih perabotan rumah. Pandai memilih warna. Pandai mengkombinasikan warna. Terkesan seleranya tinggi.

“Rumah yang indah dan nyaman,” komentar saya. Niken cuma tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sementara anak perempuannya sibuk bermain-main sendiri di lantai agak jauh dari kami berdua.

Enam bulan kemudian sayapun menikahi Niken. Terlalu cepat? Waktu bukan ukuran sebab kami berdua sudah merasa cocok. Menikah di Kota Singaraja, Bali, sebab kedua orang tuanya tinggal di kota itu. Berlangsung dua hari. Hari pertama berpakaian adat Bali dan hari kedua berpakaian adat Jawa. Kedua orang tua dan dua saudara sayapun hadir. Claudia tidak bisa hadir. Untunglah, Niken beragama Islam sehingga tidak ada masalah dalam pernikahan itu. Bulan madunya cuma jalan-jalan di Pantai Lovina yang tidak jauh dari Kota Singaraja. Seminggu kemudian kami kembali ke Jakarta dan Tangerang.

Seminggu saya tinggal di Jakarta dan seminggu tinggal di rumah Niken dan seminggu tinggal di rumah saya di BSD Catelya. Urusan Resto New York Fried Chicken saya serahkan ke salah seorang karyawan yang memiliki kemampuan manajerial yang baik sekaligus saya angkat sebagai pengelola reesto sepenuhnya. Saya tinggal memantau dan menerima laporan. Bahkan sayapun akhirnya membuka cabang reesto di ITC Mall dekat Carrefour. Inipun pengelolaannya saya serahkan ke manajer resto yang saya rekrut melalui seleksi. Saya tidak mau repot-repot mengurus reesto.

Niken ternyata sangat berbeda dengan Claudia. kalau Claudia boros, ternyata Niken hemat dan pandai mengelola uang. Kalau Claudia terlalu sering ke salon, Niken kadang-kadang saja. Kalau Claudia tidak suka memasak, Niken suka sekali memasak. Namun, kekurangan-kekurangan Claudia tak saya katakan ke Niken.

Karena usia Niken saat menikah sudah 35 tahun, maka Niken secara jujur mengatakan tidak mau punya anak dari saya. Takut ada apa-apa, katanya. saya memakluminya dan tidak keberatan.

“Saya menganggap Dieta sebagai anak kandung saya,” ucap saya ke Niken. Saat itu Dieta telah duduk di SD kelas satu. Karena sekolahnya agak jauh, Nikenlah yang rajin antar jemput. Namun karena saya membuka cabang resto lagi memakai modal Niken dan atas usul Niken, maka urusan antar jemput Dietapun diserahkan ke mobil antar jemput yang sudah terkenal baik pelayanannya. Niken membuka resto di kawasan Alam Sutera dan pengelolaannyapun diserahkan ke manajer resto melalui proses selsi yang ketat.

Boleh dikatakan saya sukses. Kredit rumah langsung saya lunasi. Demikian juga kredit mobil langsung saya lunasi sebelum waktunya. Supaya saya tidak mondar-mandir dari rumah saya di BSD Catelya ke rumah Niken di Banjar Wijaya, maka rumah di BSD Catelyapun saya kontrakkan. Dengan demikian saya menetap di rumah Niken. KTP sayapun KTP Banjar Wijaya.

Hari Minggu berikutnya, saya, Niken dan Dieta jalan-jalan e resto saya yang ada di Jl.Saharjo, Tebet. Namn, baru masuk pintu, saya terkejut karena di situ ada Claudia dan Bella. Claudia yang sedang makanpun terkejut. Akhirnya, sayapun memperkenalkan Niken ke Claudia dan Bella.

“Kok, tante mirip mama saya, sih?” celetuk Bella yang sejak dulu bicaranya memang ceplas ceplos. Claudiapun heran melihat Niken. Akhirnya kami berlima makan bersama di satu meja. Suasananya penuh kekeluargaan. Claudia meminta maaf karena tidak sempat menghadiri pernikahan saya dan Niken di Bali.

Begitulah ceritanya. Walaupun saya tak punya anak dari Niken, tapi saya merasa bahagia. Dan tanpa terasa sudah dua tahun saya menikah. Tanpa terasa telah resto saya telah berkembang sebanyak 10 resto di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.  Saya juga mendapat undangan pernikahan Claudia dan mendengar kabar, Claudia akan menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, seorang duda tampan tanpa anak. Syukurlah.

—ooOoo—

CERPEN: Claudia Kau Terlalu Cantik Untukku

FACEBOOK-CerpenClaudiaKauTerlaluCantikUntukku

SAYA masih ingat. Saat itu saya berumur 30 tahun. Saya mengelola Lembaga Pendidikan Komputer dan Internet INDODATA, di Komplek Perumahan Pondok Hijau Permai, dekat pintu tol, Bekasi Timur. Berhubung tempat kursus ,masa kontraknya habis dan tidak bisa diperpanjang, terpaksa kontrak rumah di empat lokasi. Yaitu di Komplek Perumahan Margahayu, Komplek Perumahan Jatimulya dan Komplek Perumahan Taman Narogong Indah dan di Jl. Akasia, Komplek Perumahan Pondok Hijau Permai. Di Jl.Akasia inilah saya sebagai pengelola dan sekaligus sebagai tempat tinggal saya.

Ada salah satu siswi yang rajin. Selalu, setengah jam sebelum kursus dimulai, siswi itu sudah datang. Sambil menunggu waktu kursus, dia suka ngobrol dengan karyawati saya, kadang dengan Lisa dan kadang dengan Yenny, kadang dengan Dhanny atau siapa saja. Dia datang selalu diantar mobil Mercy dan diantarkan sopir pribadinya. Dia dari keluarga kaya Jakarta tetapi pindah ke Bekasi karena ayahnya pindah tugas ke Bekasi.

Saya yang saat itu baru putus pacar, tentu tertarik melihat Claudia karena dia merupakan siswi tercantik dan enak diajak bicara. Masalahnya, dia terlalu cantik dan terlalu kaya buat saya. Mungkin juga untuk cowok-cowok lain. Terus terang, saya tak mempunyai keberanian untuk mendekati Claudia. Minder.

Namun, suatu hari Minggu, di mana merupakan hari libur dan tidak ada kursus, tiba-tiba Claudia datang bersama mamanya. Naik Mercy dengan sopir pribadinya.

“Oh, selamat pagi, Tante. Silahkan  masuk. Ada apa, nih? Tumben….” saya mempersilahkan masuk. Claudia dan Tante Marinapun duduk di ruang tamu. Ternyata, mamanya Claudia mengajak rekreasi ke Ancol. Maklum, Claudia anak tunggal.

“Kok, mengajak saya, Tante? Kan, teman kuliah Claudia banyak?” saya heran.

“Betul. Kata Claudia sih, semalam dia mimpi ke Ancol sama Mas Harry. Dia bilang, mimpinya ingin jadi kenyataan…” Tante Marina menjelaskan. Saya tersenyum. Saya merasa, kok aneh-aneh saja Claudia ini. Namun, karena kebetulan hari itu saya tidak ada acara, sayapun menyanggupinya. Sesudah mengunci semua pintu rumah, saya bersama Tante Marina dan Claudiapun segera masuk ke mobil. Mobilpun langsung melaju.

Bukannya langsung masuk jalan tol, tetapi ke dalam Kota Bekasi dulu. Ternyata, menurunkan Tante Marina. Tidak ikut. Akhirnya, saya dan Claudia duduk berdua di bangku belakang. Tentu, bermacam-macam rasa yang ada pada diri saya. Antara senang, minder, tak percaya, gede rasa dan lain-lainnya.

“Apakah ini berarti Claudia ada hati sama saya?” saya tiba-tiba merasa GR. Gede rasa. Ya, mudah-mudahanlah.

Begitulah. Hari itu seharian saya rekreasi di Ancol mengunjungi berbagai lokasi wisata, berfoto dan makan siang bersama di salah satu resto. Hampir sore kami berduapun pulang. Semalaman saya tidak bisa tidur. Selalu bertanya, apa iya cewek secantik Claudia suka sama saya? Apa yang diharapkan dari saya? Rumah kontrak. Mobil tak punya. Akhirnya saya mengambil keputusan, saya akan menganggap Claudia sebagai sahabat biasa saja. Tidak lebih dari itu. Saya merasa minder. Saya tetap yakin, tidak pantas punya pacar secantik Claudia. Bahkan saya yakin, mungkin Claudia bersikap baik ke saya hanya karena ingin nilai-nilai ujian kursus komputernya mendapat nilai baik atau nilai tinggi.Maklumlah, semua instruktur  komputer saya tahu, Claudia tak begitu pandai di bidang ilmu komputer.

Karena saya menganggap Claudia sebagai sahabat biasa, konsekuensinya saya tiap malam Minggu tidak pernah ke rumah Claudia. Tidak pernah ngapeli. Memang, walaupun saya sedikit berharap, namun rasa minder lebih menguasai pribadi saya. Celakanya, justru tiap malam Minggu, Claudialah yang datang ke rumah kontrakan saya. Ya, terpaksa saya tidak bisa menolak.

Claudia tidak cuma sangat cantik, tetapi juga sangat enak diajak bicara. Senyumnya, tertawanya, enak dilihat dan didengar. Sehingga seringkali tanpa terasa, berjam-jam kami mengobrol dan bercanda. Lama-lama saya yakin kalau Claudia suka sama saya. Cuma, saya tetap bersikap minder. Hmm, Claudia terlalu cantik dan terlalu kaya buat saya.

Akhirnya, sebagai laki-laki normal, sayapun tak bisa lagi menutupi perasaan saya yang sebenarnya. Kalau semula tiap malam Minggu, Claudia yang datang ke rumah saya, akhirnya sayalah yang datang ke rumah  Claudia. Cukup naik motor bebek yang saya miliki.

Tanpa terasa, hubungan saya dengan Claudia telah berjalan tiga tahun. Lembaga pendidikan komputer yang saya kelola sudah saya bubarkan karena saya mendapat pekerjaan sebagai konsultan manajemen dengan gaji yang cukup besar. Kantornya di Jakarta.

Tanpa terasa pula, Claudia telah menjadi isteri saya. Kami berdua kontrak rumah kecil di kawasan Tebet, beberapa ratus meter dari kantor tempat saya bekerja. Tentu, pernikahan atau perkawinan yang sangat menggembirakan. Betapa tidak. Punya isteri cantik dan punya pekerjaan dengan gaji yang sangat besar.

Namun beberapa bulan kemudian, saya baru menyadari siapa Claudia yang sebenarnya. Dia memang gadis baik-baik. Bahkan baru saja lulus dari sebuah akademi komputer. Memang tidak begitu pandai, tetapi enak diajak bicara dan penuh pengertian. Mudah bergaul dan cara berpikirnya luas. Itu sudah lama saya tahu. Yang saya baru tahu yaitu, Claudia adalah penderita penyakit jantung.

Saat itulah saya baru tersadar. Tapi sudah terlanjur. Apapun resikonya, harus saya tanggung. Termasuk menanggung biaya pengobatan sakit jantung yang cukup mahal. Bahkan, Claudia sebelum menikah dengan saya, bahkan sebelum mengenal saya, sudah dua kali menjalani operasi jantung. Satu kali di Indonesia dan satu kali di Singapura. Biayanya tentu luar biasa mahal.

Rencana saya untuk kredit mobil dan kredit rumahpun terganggu. Apalagi saya pernah membayar operasi jantung Claudia. Satu kali tapi sudah puluhan juta rupiah. Impian saya untuk memiliki mobil pribadi dan rumah pribadipun sangat terkendala. Semua gaji harus digunakan sehemat mungkin supaya saya bisa menabung. Untuk dana darurat. Untuk dana cadangan.

Tanpa terasa, sudah lima tahun saya berumah tangga. Punya anak perempuan cantik dan lucu. Bella namanya. Anak kecil yang cerdas. Selalu suka minta oleh-oleh ice cream jika saya akan berangkat ke kantor. Dan satu hal lagi yang saya ketahui dari Claudia yaitu, ternyata selera Claudia terlalu tinggi. Selalu tergoda membeli pakaian yang mahal, perhiasan yang mahal dan alat-alat kecantikan yang mahal. Gemar sekali ke salon ataupun ke tempat-tempat kebugaran, aerobik dan suka belanja. Dengan kata lain, Claudia tidak mampu mengelola uang dengan baik.

Dan musibahpun mulai menerpa saya. Perusahaan tempat saya bekerja, belum mendapatkan proyek baru. Terpaksa saya harus diistirahatkan sementara. Entah berapa lama. Maklum, saya bekerja sebagai staf ahli atau konsultan tetapi sistem kontrak.

Ternyata, satu tahun saya menganggur. Tabungan hampir habis. Terpaksa cari pekerjaan lagi. Tidak mudah. Dengan modal sedikit terpaksa saya membuka resto mini khusus ayam goreng. Semacam mini Kentucky, begitulah. Untunglah, lokasinya dekat sekolah SMA. Sehingga saat bubaran sekolah cukup banyak juga pelajar yang datang untuk membeli. Tentu, juru masaknya bukan Claudia, tetapi menggaji orang lain. Maklum, Claudia tidak bisa memasak dan tidak mau belajar memasak.

Meskipun demikian, hasil dari resto mini belum mencukupi kehidupan sehari-hari. Apalagi gaya hidup Claudia sangat boros. Saat itulah, pertengkaran dimulai. Semula hanya pertengkaran kecil, tetapi lama-lama membesar juga.

Akhirnya, saya merasa tak mampu lagi punya isteri Claudia. Bukan saya yang punya inisiatif menceraikan Claudia. Tetapi, atas permintaan Claudia, akhirnya sayapun menceraikannya. Saya iklaskan anak saya, Bella, ikut mamanya. Claudia kembali pulang ke rumah orang tuanya yang kaya raya. Saya tinggal di rumah kontrakan sendiri.

“Sejak dulu saya sudah punya feeling, Claudia terlalu cantik buat saya. Tapi saya tak pernah punya feeling kalau Claudia punya penyakit jantung. Juga tak punya feeling kalau Claudia pemboros, tidak bisa memasak, terlalu sering ke salon kecantikan. Ternyata, saya salah memilih…” saya hanya bisa menggerutu sendirian.

—ooOoo—