CERPEN: Misteri Kali Alfamart di BSD Nusaloka

SUDAH empat mobil terjerumus di depan mini market Alfamart belakang kantor pos, yang ada di BSD Nusaloka, BSD City,Tangerang Selatan. Padahal situasi di situ wajar-wajar saja. Antara jalan aspal dan kali juga ada beton pembatas. Semua pengemudinya juga sudah berpengalaman mengemudi minimal lima tahun. Kenapa bisa terjadi kecelakaan seperti itu dan mengakibatkan pengemudi dan penumpangnya luka parah?

Suatu saat ketika saya naik ojek dan melewati Alfamart tersebut, maka sayapun mulai mengorek informasi.

“Katanya sudah empat kali masuk kali ya, Bang?” tanya saya

“Oh, ya. Semua pengemudinya luka parah,” jawabnya sambil terus mengemudikan motornya. Saya membonceng di belakangnya.

“Memangnya, dulunya di situ merupakan daerah apa?”

“Kalau Tangerang Selatan, dulu merupakan hutan karet. Dan sekitar Alfamart dulu merupakan persawahan”

“Tidak ada perumahan penduduk?”

“Ada,sih. Jumlahnya sekitar ratusan rumah”

“Tidak ada tempat pemakaman umum?”

“Ada sih. Tapi ketika pembangunan BSD City dimulai, semua makam dipindahkan. Cuma, saat itu ada yang aneh”

Mendengar kata “aneh”, saya mulai penasaran.

“Anehnya di mana, Bang?” saya terus bertanya.

“Ya, ada salah satu makam tiba-tiba hilang tanpa bekas, Pak” katanya kepada saya.

“Tahu namanya, makam siapa?”

“Kalau nggak salah, namanya Ranggi”

“Siapa itu?” saya semakin penasaran.

“Dulu, cerita orang-orang, Ranggi itu saudara kembar Rangga. Keduanya laki-laki”

“Siapa mereka?”

“Mereka anak dari petani bernama Danu Rengga”

“Siapa Danu Rengga?”

“Dia seorang petani, juga punya hobi memelihara kuda.”

“Bagaimana kehidupan Danu Rengga, Rangga dan Ranggi?”

“Sebelum ibunya meninggal, mereka akur-akur saja. Tapi setelah ibunya meninggal, mereka kelihatannya kehilangan kasih sayang dan suka bertengkar”

“Bertengkar soal apa saja?”

“Kata ayah saya, mereka bertengkar saat orangtuanya beli satu kuda lagi. Jadi total ada dua kuda. Satu khusus untuk ayahnya. Satu lagi untuk Rangga dan Ranggi. Masalahnya, mereka berdua sering rebutan untuk menunggang kuda itu”

“Terus?”

“Ya, suatu saat mereka berkelahi hebat. Hari pertama mereka masih berkelahi tangan kosong. Hari kedua, mereka berkelahi menggunakan golok.”

“Oh, ada yang tewas?”

“Itulah. Ranggi kalah dan lehernya kena tebas golok”

“Terus? Bagimana?”

“Menurut ayah saya yang kebtulan menyaksikan kejadian itu, sebelum Ranggi menghembuskan nafasnya yang terakhir, sempat bersumpah”

“Bagaimana sumpahnya?”

“Ranggi bersumpah. Jika Rangga atau siapapun yang melewati tempat dia meninggal, akan dibikin celaka. Sesudah itu Ranggi menghembuskan nafasnya yang terakhir”

“Di mana lokasi Ranggi meninggal?”

“Ya, di kali tepat di depan mini market Alfamart itu”

“Oh, mungkinkah kecelakaan-kecelakaan itu ada hubungannya dengan sumpah Ranggi?”

“Wah, saya bukan paranormal,Pak. Saya kurang tahu. Yang pasti, jalan di depan Alfamart itu memang sangat rawan dan sudah empat kali ini ada mobil tercebur ke kali”

“Oh,ya. Dulu, ketika makam Ranggi tiba-tiba menghilang tanpa bekas, apakah tidak ada usaha-usaha supranatural untuk menemukannya kembali?”

“Usaha sih ada. Tapi hasilnya tidak ada. Nol semuanya. Sampai hari ini, di mana makam Ranggi, tidak ada yang tahu. Namun, sebenarnya juga ada cerita lain zaman dulu”

“Apa itu?”

“Dulu, di kali itu, ada sumur. Namanya Sumur Gobak. Entah kenapa dinamakan Gobak dan apa artinya Gobak, saya tidak tahu”

“Ada apa dengan sumur Gobak?”

“Dulu, sumur itu digunakan untuk bunuh diri seorang pemuda yyang patah hati. namanya Randu Dan sejak itu, air sumur itu tidak boleh diminum”

“Ada keanehannya?”

“Ada. Tiap malam Jum’at, ada suara-suara yang mengancam. Kalau ada perawan lewat di dekat Sumur Gobak itu, apalagi naik delman, akan dibuat celaka.”

“Oh, begitu? Kalau begitu, kira-kira kecelakaan mobil itu akibat ulah Ranggi atau Randu?”

“Hahaha…Saya kan bukan paranormal, Pak. Mungkin Ranggi dan Randu bersatu dan bersama-sama membalas dendam”

“Apakah jenasah Randu sudah dimakamkan secara baik-baik saat itu?”

“Nah itu dia,Pak. Sekitar 40 hari dimakamkan, tiba-tiba, makamnya hilang tanpa bekas”

“Oh, sama dengan kasus hilangnya makam Ranggi?”

“Begitulah, Pak”

Sayang, tanya jawab terpaksa berhenti karena saya telah sampai di rumah saya di Jl. Bintan 2 Blok S1/11, BSD Nusaloka Sektora XIV-5, BSD City, Tangerang Selatan.

Catatan:

Cerpen ini merupakan cerita fiiktif.

Sumber foto: antarafoto.com

Hariyanto Imadha

Penulis cerpen

Sejak 1973

CERPEN: Ongkek’ane Roen…!

FACEBOOK-CerpenOngkekaneRoen

BOJONEGORO sekitar 1965. Seperti biasa, pagi-pagi saya berangkat sekolah. Saat itu kelas enam SR atau SD. Rumah saya di Jl.Trunojoyo No.4 yang sekarang dipakai sebagai Kantor Pelayanan Pajak, sekitar 300 meter Utara kantor pos. Berangkat lewat halaman belakang. Tembus Jl. Diponegoro, depan rumah Gandhi (nama di Facebook: Dhitos Mbombok). sampai perempatan “bangjo” ke kiri, Jl. Teuku Umar.

Tepat di pertigaan Jl.RA Kartini-Jl.Teuku Umar, sebelah barat Gedung PAKRI, ada penjual es serut. namanya Pak Roen. Kalau pagi sudah buka tetapi masih sepi. Tapi kadang-kadang kalau lagi malas, tidak jualan. Kata teman Facebook saya, Koes Haryono, dulu Pak Roen sering tidur-tiduran di empernya Toko Bata, toko sepatu. Sering membawa foto ada bingkainya. Foto isterinya yang sudah meninggal dunia. Sejak isterinya meninggal, Pak Roen memang agak gemblung (setengah sakit jiwa). Itulah, sekila tentang Pak Roen, laki-laki paruh baya.

Saya terus menyusuri Jl.Teuku Umar, belok kanan ke Jl.Dr.Wahidin menuju ke sekolah. Dulu, sekolah saya namanya SDN 3 Kepatihan 1. Saya masih ingat, guru yang mengajari saya belajar membaca dan menulis namanya Bu Nanik. Rumahnya di Jl. Tri Tunggal, Karang Pacar. Guru lainnya, Bu tatik dan Pak Ridwan. Sewaktu kelas 4, saya pernah ditawari kepala sekolah supaya langsung ke kelas 6, tanpa duduk dibangku kelas 5. Soalnya, nilai rapot saya rata-rata nilainya 10. Sayang, saya orangnya terlalu jujur, saya tidak mau.

Yang tidak bisa saya lupakan yaitu, tiap jam istirahat, saya dapat tugas sukarela, yaitu menjual goreng-gorengan. Kalau laku tiap lima goreng-gorengan, saya dapat bonus sayu goreng-gorengan. Saya tawarkan ke kelas 1 hingga kelas 6. Laku 25 goreng-gorengan. Dapat bonus lima goreng-gorengan. Wah, senang sekali. Tidak tiap hari sih, tetapi diganti teman lainnya secara sukarela. Tujuannya, mendidik pelajar untuk mencari uang sendiri.Para pelajar juga diajari berkebun di halaman kgusus kebun. Antara lain diajari cara menanam jagung, ubi, singkong dan lain-lain. Saat panen, para pelajarpun menikmatinya. makan-makan jagung bakar atau ubi bakar. Tujuannya, supaya para pelajar kelas 1 hingga kelas 6 bisa saling mengenal. Kenangan yang tidak akan terlupakan.

Pulang sekolah, melewati jalan yang sama. Yaitu, jalan Dr.Wahidin, belok kiri Jl. Teuku Umar. Tepat di depan warung es Pak Roen, saya lihat banyak orang berkerumun.

“Ada apa, ya?” pikir saya ingin tahu. Sayapun menyeberang jalan menuju ke warung itu. Saya melihat Pak Roen mukanya babak belur. Dan di dalam rumahnya yang sederhana, ada cewek TK sedang menangis.

“Bawa ke kantor polisi!” kata seorang warga. Saya masih belum faham apa yang telah terjadi.

“Laki-laki bejat…!” ujar yang lainnya lagi. Beberapa warga kemudian menggiring Pak Roen ke kantor polisi. Sedangkan beberapa orang ibu-ibu membawa cewek TK itu ke rumah sakit dekat sekolah saya.

“Ada apa, ya?” saya masih saja bengong. Akhirnya, saya terpaksa memberanikan tanya ke seorang bapak. Tapi justru saya dibentak. Katanya, saya anak kecil. Tidak boleh tahu. Agak tersinggung juga saya. Tapi saya diam saja.

Hasil dari nguping pembicaraan para warga yang hadir, maka saya bisa merangkaikan peristiwa itu. Kabarnya, sejak Pak Roen ditinggal isterinya yang meninggal, Pak Roen mengalami stres. Sering kemana-mana membawa foto isterinya yang diberi bingkai. Sering tidur-tiduran di depan toko sepatu Bata mengenang masa lalunya yang indah. Maklum, isterinya dulu bekerja di toko sepatu itu dan Pak Roen mengenal isterinya yang bernama Darmi di toko sepatu itu. Tapi kalau dalam keadaan normal, Pak Roen berjualan es serut atau es campur.

Sebagai penjual es serut, cukup laris. rasanya enak dan harganyapun murah. Apalagi benar-benar menggunakan air kelapa muda dan juga memanfaatkan kelapa mudanya yang benar-benar empuk. Pelanggannya cukup banyak. Tak heran kalau nama Pak Roen yang katanya merupakan kependekan dari kata Haroen, terkenal ke seluruh kota Bojonegoro.

Kabarnya, siang tadi, Pak Roen sedang melayani  Rani, cewek TK yang membeli es serutnya. Sebetulnya Rani anak yang berani. Berangkat sekolah dan pulang sekolah sendiri. Dan pulang sekolah mampir ke warung es Pak Roen.

Rani memang cewek cantik. Mungkin Pak Roen tertarik dengan kecantikan Rani. Kebetulan saat itu warung agak sepi. Pak Roenpun mengajak Rani masuk ke rumahnya yang sangat sederhana. Katanya, dia punya permen dan cokelat banyak. Tentu, Rani yang masih lugu, setelah menghabiskan segelas es, mau saja diajak masuk ke rumah Pak Roen. Pak Roenpun menutup pintu rumahnya.

Di luar, datang tiga calon pembeli. Bapa-bapak muda. Mau membeli es, tapi kok masih sepi. Mereka bertiga duduk-duduk sambil menunggu. Mengira Pak Roen sedang membeli es balok di Mbombok. Biasanya memang begitu.

Tiba-tiba ketiga bapak itu mendengar suara cewek kecil menangis keras. Menangis kesakitan. Karena curiga, ketiga bapak muda itupun mencoba mengintip ke dalam rumah Pak Roen, melalui lubang kecil yang ada. Betapa terkejutnya ketiga bapak muda itu.

“Kurang ajar! Kita dobrak saja pintunya…!” serentak ketiga bapak muda itu mendobrak pintu. Begitu terbuka, mereka bertiga melihat Pak Roen sedang menggagahi Rani di mana tangan kirinya membekap mulut Rani. pak Roen terkejut dan langsung cepat-cepat memakai celananya. Ketga bapak itupun menghajar habis-habisan. Muka Pak Roenpun babak belur.

Dalam tempo sekejap, waring es Pak Roen penuh dengan orang. Salah seorang dari ketiga bapak itupun bercerita. Untuk istilah “hubungan intim”, bapak itu menggunakan istilah “ongkek”. Ongkek itu artinya memasukkan benda ke dalam sebuah lobang kemudian digerak-gerakkan. Orang-orangpun tertawa mendengar kata “ongkek” itu. Salah seorang nyeletuk “Ongkek’ane Roen” disambut tertawa orang-orang lain. Sejak itulah, kalimat “Ongkek’ane Roen” menjadi terkenal. Bahkan beberapa hari setelah Pak Roen bebas dari penjara, orang-orang sering meledeknya dengan ledekan “Ongkek’ane Roen. Biasanya Pak Roen marah dan akan mengejar siapa saja yang meledeknya.

Bagaimana nasib Rani? Tak seorangpun tahu. Andaikan Rani masih ada, mungkin sekarang masih hidup. Paling tidak sekarang mungkin berusia sekitar 50 tahun. Eh, siapa tahu juga punya akun di Facebook. Yang pasti, Rani sebagai korban “Ongkek’ane Roen” pasti mengalami trauma berkepanjangan.

Kasus-kasus “Ongkek’ane Roen” tidak terbatas pada kasus pemekosaan saja. Persoalankumpul kebopun menggunakan istilah “Ongkek’ane Roen”. bahkan kalau ada cowok berhasil memperawani pacarnyapun akan bilang “Saya berhasil Ongkek’ane Roen cewek saya…”. Artinya, istilah atau kalimat itu juga digunakan untuk hubungan intim sukarela.

Apa yang dilakukan Ahmad Fathonah terhadap Maharani juga bisa digolongnkan sebagai perbuatan “Ongkek’ane Roen” atau “Ongkek’ane Fathanah”. Mharani itu baru yang ketahuan. Tentunya masih banyak cewek yang diongkek sama Ahmad Fathanah.

Kembali ke warung es Pak Roen. Setelah saya berhasil mengumpulkan informasi dan merangkai cerita, maka sayapun mulai mengerti apa yang telah terjadi siang itu di warung es Pak Roen. Sesudah itu, sayapun melangkah menuju pulang ke rumah.

“Ongkek’ane,Roen…” kata-kata itu masih terngiang-ngiang di pikiran saya.

Catatan:

Cerpen ini berdasarkan kejadian yang sesungguhnya tetapi sudah dimodifikasi. Yang pasti, inti ceritanya yaitu Pak Roen telah “memperkosa” cewek kecil. Penulis mengharapkan masukan-masukan yang bersifat melengkapi ataupun mengoreksi cerpen ini agar di kemudian hari bisa disempurnakan lagi.

CERPEN: Darin-ku Montok Darin-ku Semok

FACEBOOK-CerpenDarinkuMontokDarinkuSemok

JAKARTA 1980. Saat itu saya telah menyelesaikan semester terakhir di sebuah akademi komputer di Jakarta dan sedang menyusun skripsi dalam rangka ujian akhir atau ujian komprehensif. Kebetulan saya, Rudy Rayadi, Armi Helena dan Inggah Silanawati, teman-teman seangkatan dipercaya oleh pihak yayasan atau pihak akademi  untuk menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru.

Saat itu hari ke sepuluh bertugas sebagai panitia. Tersedia empat meja di teras kampus bagian depan. Targetnya hanya menerima 120 mahasiswa atau untuk tiga kelas saja. Tiap hari selalu ada calon mahasiswa yang datang, sebagian baru meminta informasi dan meminta brosur, namun sebagian lagi ada yang langsung mendaftar. Saat itu saya sedang sibuk merapikan formulir-formulir pedaftaran yang telah masuk beberapa hari sebelumnya.

“Maaf, Mas. Di sini tempat pendaftaran mahasiswa baru?” tiba-tiba saya dikejutkan sapaan dari arah depan saya. Saya lihat, ada cewek di depan saya. Agak gagap sedikit saya persilahkan cewek itu duduk. Sekilas saya lihat cewek itu cantik sekali. Sebagai cowok yang normal, tentu saya mengagumi cewek di depan saya itu. Namun, saya tetap harus melayani semua pertanyaan cewek itu tentang akademi kmputer tempat saya kuliah.

“Kalau serius, silahkan mengisi formulir pendaftaran,” saya menawarkan formulir sekaligus mempromosikan bahwa semua lulusan akademi komputer tempat saya kuliah, tidak ada yang menjadi pengangguran. Ternyata, cewek itu serius ingin mendaftar. Diapun mulai mengisi formulir pendaftaran sambil sesekali bertanya.

Nah, saat cewek itu mengisi formulir pendaftaran, sayapun memperhatikannya dengan cermat. Rambutnya pendek, bulu matanya lentik, bibirnya mungil, tubuhnya putih, langsing, dan…aduhai, payudaranya cukup montok dan tubuhnya cukup semok. Sebagai cowok normalpun saya merasa benar-benar kagum melihatnya. Tak lama kemudian cewek itu selesai mengisi formulir dan melampirkan semua persyaratan termasuk fotokopi surat kelulusan SMA, KTP, fotokopi lainnya dan tiga buah pasfoto berwarna ukuran 3 cm X 4 cm. Kemudian menyerahkannya ke saya.

“Lengkap. Jangan lupa, Senin depan mengikuti tes atau seleksi masuk…,” ucap saya ke cewek itu. Cewek itu mengangguk, berdiri, kemudian menyalami saya.

“Insya Allah, saya Senin akan datang,” katanya. Telapak tangannya yang saya pegang terasa halus sekali. Bergetar hati saya melihat cewek secantik itu. Sekilas mirip artis Nia Daniati. Diapun kemudian meninggalkan tempat pendaftaran. Saya hanya bisa memandanginya dengan rasa kagum. Rudy, Armi dan Inggah-pun ramai-ramai menggoda saya dan mengatakan cewek itu cocok jadi pacar saya. Saya cuma tersenyum kecut.

Sayapun melihat formulir pendaftaran cewek itu. Ternyata dia bernama Darin Syahwati berasal dari Kota Cirebon. Alamatnyapun saya catat. Kemudian, saya disibukkan oleh calon-calon mahasiswa lainnya yang sudah antri untuk saya layani.

Senin berikutnya, tes atau seleksi masukpun diadakan. Memerlukan enam kelas. Panitia pengawasnyapun cukup banyak. Sayapun mencari Darin. dari kelas ke kelas lainnya saya masuki. Saya perhatikan satu persatu wajah cewek-cewek peserta tes. Namun kenyataannya, Darin tidak ada. Benar-benar tidak ada. Bahkan sampai tes selesaipun Darin tidak ada. Tentu, saya kecewa berat.

Akhirnya, tepat Minggu pagi, sayapun menuju ke Cirebon naik bus. Lima jam kemudian tiba di terminal Cirebon. Langsung naik becak menuju alamat rumah Darin. Ternyata, sebuah rumah bertingkat yang cukup mewah. Sesudah membayar becak, sayapun mengetuk pintu rumah itu. Muncul seorang tante. Sayapun memperkenalkan diri dan menanyakan Darin. Katanya, Darin sedang ke salah satu kampus di Cirebon.

“Tunggu sebentar, deh. Katanya sebentar,kok. Cuma mengantarkan formulir pendaftaran ke kampus…” ujar tante itu sambil mempersilahkan saya duduk di teras rumah yang cukup luas dan sejuk. Sayapun menunggu Darin sambil mengagumi taman depan rumah yang dipenuhi bunga aneka warna. Sebuah kolam ikan kecil, air mancur dan beberapa pohon cemara kecil. Sebuah taman yang bagus.

Sekitar lima belas menit kemudian, masuklah sebuah mobil Honda putih. Kemudian berhenti di depan garasi. Pengemudinyapun turun dan menuju ke tempat saya. Sayapun berdiri. Darin agak terkejut melihat saya.

“Oh, dari kampus akademi komputer, ya?” sapanya sambil menyalami saya. Diapun kemudian duduk di depan saya. Sayapun langsung menanyakan ke Darin, kenapa kok tidak mengikuti tes seleksi. Darin menjawab bahwa dia akhirnya memutuskan kuliah di Cirebon saja supaya dekat dengan mamanya. Maklum, dia anak tunggal dan papanya sudah lama meninggal. Saya mengangguk-angguk memakluminya. Lagi-lagi, saya sebagai cowok yang normal, tertarik dengan payudara Darin yang montok dan tubuhnya yang semok. Apalagi, Darin mengenakan rok mini yang cukup seksi.

Darinpun bercerita bahwa sebenarnya tiap Sabtu dan Minggu selalu pergi ke Jakarta, menginap di rumah tantenya di Cijantung. Darinpun menyebutkan sebuah alamat dan tentu saya mencatatnya atas seijin Darin. Rupa-rupanya saya tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab, Darin mempersilahkan saya bertemu dengannya di rumah tantenya yang ada di Cijantung. Tentu, sebagai cowok yang belum punya pacar, sayapun merasa dapat angin segar.

Begitulah, akhirnya tiap Sabtu malam atau Minggu pagi saya bertemu Darin di Cijantung. Bahkan kalau Minggu mengajak Darin jalan-jalan. Kadang naik motor Honda 90 , kadang naik angkot, kadang naik taksi. Tanpa terasa, hubungan saya dengan Darin telah berlangsung satu bulan. Namun, rasa-rasanya saya sudah mengenal Darin puluhan tahun lamanya. Darin enak diajak bicara, selalu nyambung, wawasannya luas, cukup dewasa, suka humor dan tahu apa yang saya suka.

Hari Senin, saya ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi, yaitu Pak Firdaus Jamaluddin. Sayang, menurut bagian tata usaha, beiau hari itu tidak bisa datang karena mengantarkan ibunya ke rumah sakit.

“Kok, cepat?” tiba-tiba ada yang menyapa saya. Ternyata Tata Suhata yang juga sedang menunggu dosen pembimbingnya. Siang itu ada sekitar 10 teman-teman seangkatan saya sedang berkumpul. Sayapun duduk di samping Tata.

Ngobrol punya ngobrol, Tatapun tanya tentang Darin. Tentu, saya cerita apa adanya. Mulai kunjungan saya ke rumah Darin di Cirebon hingga kunjungan saya ke rumah tantenya Darin di Cijantung. Juga cerita tentang acara saya dengan Darin. Bahkan sayapun menunjukkan foto-foto saya bersama Darin.

“H e he he…,” Tata tertawa .

“Kok, tertawa?” tanya saya terheran-heran. Semula Tata cuma tertawa saja. Tidak mau membalas pertanyaan saya. Namun sesudah saya desak, akhirnya Tata yang juga berasal dari Cirebonpun mau bercerita. Sebuah cerita yang sangat mengejutkan.

Kata Tata, nama Darin Syahwati di Cirebon sudah cukup terkenal. Pernah terpilih sebagai Ratu Pariwisata Cirebon saat masih duduk di SMA. Pacarnya anak seorang pejabat di kota itu. Namun…kemudian dihamili hingga melahirkan anak. Dan anak pejabat itu tidak mau menikahi  Darin. Anak haramnya dititipkan di sebuah yayasan penampung bayi-bayi terlantar. Dan kata Tata, Darinpun menjadi cewek “begituan” dengan bayaran yang sangat tinggi.

Sayapun tertegun mendengar cerita Tata. Karena Tata adalah sahabat saya yang jujur, maka sayapun percaya. Hampir saya tidak mampu berkata-kata. Maksud hati saya membanggakan Darin di depan Tata, tetapi yang saya dapatkan justru sebaliknya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Darin yang montok dan semok itu.

CERPEN: Vitalia Sesat

Gambar

SIAPA sih yang tidak kenal Vitalia Ramona? Dia pernah jadi Ratu Kampus 1974 saat dia duduk di semester tiga di Fakultas Ekonomi, Universitas Kiyai Tapa, Jakarta Barat. Dia mahasiswi yang cantik, pandai dan cukup gaul. Tidak membedakan mana mahasiswa kaya dan mana mahasiswa miskin. Oleh karena itu, Vitalia sangat disukai teman-teman sekampus. Temannya banyak. Kebetulan saya waktu itu satu angkatan dan bahkan dia menjadi anggota kelompok belajar saya. Kebetulan lagi Vitalia dan saya sama-sama tinggal di Kebayoran Baru, tetangga lagi. Saya di Jl.Prof Djoko Sutono SH dekat STM Penerbangan, dia di Jl. Cikajang dekat Gudeg Bu Tjitro. Kalau saya pulang bawa mobil dan dia tidak bawa, pasti numpang di mobil saya. Begitu juga sebaliknya. Saya tahu benar, Vitalia cewek baik-baik dan rajin beribadah. Bahkan ada rencana akan umroh.

“Eh, ngalamun aja, Mas Harry ini!” tegur Vitalia mengejutkan saya ,yang saat itu sedang duduk santai sendirian di taman kampus.

“Ah, enggaklah!” singkat jawaban saya. Vitalia yang datang sendiripun duduk di sebelah saya, kemudian pesan es kacang ijo kesukaannya. Seperti biasa pesan dua gelas, satu buat saya. Vitalia memang suka traktir teman-temannya, termasuk saya tentunya. Maklum, dia punya usaha butik yang cukup besar di kawasan Mampang. Saat itu ada matakuliah kosong ,karena dosen saya, Pak Mintohardjo sedang dirawat di RS Pertamina, entah sakit apa.

Itulah Vitalia Ramona yang saya kenal pada semester pertama  hingga semester ketiga. Pada semester keempat, ada perubahan yang agak drastis pada diri Vitalia. Pergaulanpun mulai pilih-pilih. Hanya mau bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa yang tergolong mampu. Suka pesta. Kuliahnyapun sering ditinggalkan. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah belajar bersama di kelompok belajar saya. Sebetulnya saya tidak peduli. Tapi, karena Vitalia merupakansahabat baik, sayapun berusaha mencari tahu, ada apa dengan Vitalia yang cantik jelita itu?

Belakangan saya dapat informasi dari Donny, kabarnya usaha butik Vitalia bangkrut karena tempat usahanya kena gusur, bayar pajak mahal dan terakhir mobilnya hilang dicuri orang. O, kalau itu persoalannya, saya bisa memakluminya. Cuma sayangnya, Vitalia tidak pernah menceritakan semuanya itu kepada saya. Tapi, tak apalah. Itu masalah Vitalia. Lagipula sudah terlanjur terjadi. Sayapun tidak bisa membantu apa-apa.

“He! Harry! Kamu tahu nggak, bagaimana khabar Vitalia sekarang?” tanya Gaguk pada semester kelima di mana Vitalia sudah tak pernah kuliah lagi. Kabarnya ambil cuti satu tahun karena mau umroh dan sibuk dengan shooting film.

“Sibuk shooting? Betul, tapi Harry tahu nggak berita-berita dari mulut ke mulut tentang Vitalia?” tanya Gaguk yang saat itu kebetulan sedang makan siang bersama saya di kantin kampus.

“Kabar apa?” saya ingin tahu.

“Astaga! Harry teman baik Vitalia kok sampai tidak tahu, sih? Vitalia sekarang kan sering dipesan pejabat?”

“Maksudmu?”

“Biasalah! Cari duit! Jual tubuh!”

“Ah! Mudah amat Gaguk percaya? saya tahu Vitalia rajin beribadah. Apalagi mau umroh.Nggak mungkinlaaah,” bantah saya.

“Hidup di Jakarta ini segala kemungkinan bisa terjadi, Harry”

“Dari mana Gaguk tahu?”

“Namanya juga kabar burung. Ya dari mana-manalaaah…Gak penting. Tinggal Harry mau percaya atau tidak?”

Lagi-lagi, semula saya tidak peduli. Tapi, naluri keingintahuannya semakin lama semakin besar. Saya berusaha mencari informasi dari teman-teman dekat Vitalia. Ternyata, semua menjawab tidak tahu. Maklum, merekasudah lama tidak bertemu dengan Vitalia.

Nah, suatu hari secara tidak sengaja saya bertemu dengan teman lama. Teman se-SMA dulu. Saya tak sengaja bertemu di Wisma Nusantara, Jl.MH Thamrin. Saat dia turun dari lift dan saya akan naik lift. Saat itu saya akan menemui sahabat saya di salah satu kantor di gedung itu. Dan yang membuat saya terhenyak yaitu, teman saya, namanya Jeffry, turun bersama Vitalia. Ada apa ini? Akhirnya sayapun ngobrol-ngobrol sebentar. Ternyata, Jeffry punya kantor di gedung itu. Punya usaha sendiri. Siang itu dia mengajak Vitalia makan siang di salah satu resto di Jakarta Pusat. Saya tak sempat bicara dengan Vitalia. Jeffry langsung menuju ke mobl Mercy-nya bersama Vitalia. Untunglah, saya sempat minta kartu nama Jeffry.

Malam harinya saya telepon Jeffry. Maklum, jaman dulu belum ada HP atau ponsel. Saya di rumah dan Jeffrypun di rumah. Biasalah, ngobrol-ngobrol jamannya masih sekolah di SMA. Terus bicara soal perkuliahan dan pekerjaan. Jeffry tidak kuliah karena lulus SMA langsung mendirikan perusahaan di bidang ekspor-impor. Sudah jadi pengusaha sukses dan kaya raya.

Saat saya tanya tentang Vitalia, awalnya hanya mengaku Vitalia sebagai sahabat bisnis saja. Namun, sesudah saya pancing, akhirnya Jeffry berkata jujur bahwa dia saat itu memang punya acara kencan dengan Vitalia dengan tarif Rp 3 juta short time. Itu tarif tahun 1974. Cukup mahal.

“Astaga!” gumam saya tak percaya. Kenapa Vitalia melakukan itu? Apakah karena usaha butiknya bangkrut? Bukankah honor dari main filmnya cukup banyak? Lantas, apa motivasinya Vitalia seperti itu?

Esok harinyapun saya langsung bercerita ke teman-teman sekampus. Sebagian terperangah tidak percaya. Namunada satu dua yang percaya bahkan mengiyakan. Katanya, Vitalia beberapa bulan itu memang tersesat karena bangkrut dan terpengaruh ajakan Renny, teman kuliah yang sudah lama terkenal  sebagai “ayam kampus”. Sayapun mulai percaya bahwa Vitalia memang tersesat.

Tapi, lagi-lagi buat apa saya peduli dia? Pacar bukan. Saudara bukan. Hanya sahabat biasa saja. Kenapa saya mengurusi yang begituan? Bukankah fokus ke dunia perkuliahan itu lebih baik? Urusan Vitalia adalah urusan Vitalia. Tidak ada hubungannya dengan urusan saya. Sejak saat itu, teman-teman sekampus menjuluki Vitalia Ramona dengan sebutan Vitalia Sesat. Kabarnya, Vitalia telah keluar dari Universitas Kiyai Tapa dan kuliah di ASMI, Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia.

Tanpa terasa. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan.Tahun berganti tahun. Saya sudah lulus sebagai sarjana dan bekerja pada sebuah perusahaan konsultan manajemen di kawasan Jl.MH Thamrin. Tepatnya di Wisma Nusantara. Sama dengan kantor Jeffry. Bedanya, Jeffry di lantai 4 sedangkan saya di lantai 9.

Hari pertama kerja saya kerja, saya terkejut. Ternyata saya satu kantor dengan Vitalia.

“Vitalia?!” sapa saya hampir tak percaya. Vitaliapun berdiri dan menyalami saya.

“Kaget,ya? Saya membaca lamaran kerja Mas Harry dan saya usulkan ke pimpinan supaya Mas Harry bekerja di sini…” jawab Vitalia. Sayapun tertegun.

Sejak itulah, hubungan saya dengan Vitalia kembali akrab. Karena rumah saya dan rumah Vitalia di Kebayoran berdekatan, maka sayapun selalu bersama-sama berangkat dan pulang kantor. Maklum, sejak bangkrut, Vitalia tidak punya mobil lagi.

Entahlah. Mungkin tiap hari saya bertemu dengan Vitalia, sedikit demi sedikit, sayapun jatuh cinta kepada Vitalia. Apalagi Vitalia juga masih hidup sendiri. Tapi, saya punya konflik batin yang cukup berat. Apakah saya harus menikah dengan Vitalia yang dijuluki teman-teman sebagai Vitalia Sesat degan tarif Rp 3 juta short time?

Setahun saya bekerja di perusahaan itu. Akhirnya Vitaliapun mengaku bahwa dulu memang dia tersesat karena butuh uang banyak untuk biaya hidup sehari-hari. Diapun menyatakan telah bertaubat dan jika bersedia, Vitalia mengajak saya umroh bersama, bulan depan. Niat umroh Vitalia yang bertahun-tahun tertunda.

Begitulah, bulan berikutnya saya dan Vitalia menjalankan umroh. Dan di sana, kami berdua berjanji akan menjadi suami istri yang baik. Akan menjadi ayah dan ibu yang baik bagi anak-anak. Akan menjadi umat beragama yang taat. Dan memang benar. Beberapa bulan kemudian saya menikah dengan Vitalia. Dengan ikhlas, saya memaafkan masa lalu Vitalia yang kelam. Apalagi, Vitalia sudah bertaubat.

CERPEN: Meddy

FACEBOOK-CerpenMeddy

             HARINYA lupa,tanggalnya lupa,bulannya juga lupa.Namun,saya masih ingat kejadian itu berlangsung pada tahun 1980 yaitu sewaktu saya naik kereta api Senja Utama Jakarta-Solo.

“Mau ke mana?”,tanya saya ke seorang gadis cantik berambut pendek mirip Demi Moore yang duduk di sebelah saya.Waktu itu kereta baru saja berangkat dari stasiun Gambir sore hari.

“Yogya.Kalau,Mas..?”,ganti gadis itu bertanya.Kulihat gadis berambut pendek itu menatap mata saya. Bening sekali matanya.

“Sama.Saya kuliah di UGM”,saya menawarkan permen Mentos.Gadis itu menggeleng kecil. Sementara itu kereta api mulai meninggalkan Kota Jakarta.

“Di fakultas apa,Mas?”.dia ingin tahu.Saya lihat,matanya bening dan indah.Bulu matanya lentik.Sekilas mirip Meriam Belina.

Saya pun menjawab apa adanya.

“Di Fakultas Filsafat,tingkat sarjana muda”

“O,kalau begitu kita satu kampus.Saya di fakultas teknik”,tampak wajah gadis itu ceria.Ganti,dia menawarkan biskuit.Saya menggeleng kecil.

“Teknik? Kenal dong sama Roy”,saya ingin tahu.

“Roy? Roy yang dari Sukabumi,Jawa Barat?”

Saya mengangguk.

“Wow,kalau Roy itu sih nggak cuma kenal,bahkan kenal akrab.Roy kan sahabat se-study club.Mas,kok kenal,sih?”,gadis itu penasaran.Saya lihat dia mengenakan baju warna pink dan celana jean yang manis.

“Kalau saya baru kenal.Itupun dari Mita,pacarnya…”

“Mita? O,mungkin pacarnya yang dari Sukabumi juga ya? Mita yang kuliah di Akademi Bahasa Asing ‘Jakarta’,kan?”,gadis itu ingin tahu.

“Kok,tahu?”,sementara itu kereta terus melaju pesat. Suara rodanya sangat berirama.

“Iya,kan si Roy sering cerita kalau kita sedang kumpul-kumpul .Mas,kenal Mita di mana?”,gadis itu tampak penasaran.

“Mita juga teman sekampus saya di ABA Jakarta.Namun sekarang sudah alumni.Dia kerja di Jetro ,Japan External Trade Organisation,Wisma Nusantara Lantai 11,PO Box 2140,Jakarta Pusat”,jawab saya lengkap.

“O,..ya,ngomong-ngomong kita belum kenalan,nih!”,katanya sambil menyodorkan telapak tangannya yang mungil.Saya menyambutnya. Malu juga saya, kenapa bukan saya yang harus memperkenalkan terlebih dulu.

“Harry…Harry Imadha”,saya memperkenalkan diri.

“Di Kampus saya dipanggil Meddy.Lengkapnya Samedi.Samedi berasal dari kata Perancis yang artinya Sabtu.Saya dilahirkan hari Sabtu”,jelasnya cukup panjang lebar. Sesekali dia meneguk minuman Coca Cola kaleng.

“Namamu bagus..”,sebuah pujian saya ucapkan.Dia hanya terseyum.Oh,cantik sekali.

“O ya,enak ya Mas tinggal di Jakarta.Gadis-gadisnya cantik.O ya,ngomong-ngomong pacarnya Mas Harry tinggal di mana?Di Jakarta atau di Yogya? Boleh nggak Meddy kenalan? Lumayan kan untuk memperluas persahabatan”,tanyanya memancing.Namun saya menjawabnya secara jujur.

“Sejak tahun 1974 saya tidak pernah mencintai gadis dalam arti yang sesungguhnya.Tepatnya,sejak Erna Stella—pacar saya—meninggal karena kecelakaan di Jl.Malioboro”,saya mulai bercerita.

“Oh,Maaf ya,Mas jika Meddy mengungkit-ungkit masa lalu Mas Harry yang pahit”,kata Meddy.

“Tidak apa-apa.Justru saya mengucapkan terima kasih kalau Meddy mau mendengarkan sedikit cerita tentang saya.Entahlah,terhadap teman-teman sekampus di ABA “Jakarta” ataupun di UGM saya tak sempat cerita.Sibuk kuliah mondar-mandir Jakarta-Yogyakarta.

“Mungkin itu peristiwa yang terjadi pertama kali bagi Mas Harry.Sulit untuk dilupakan.Tapi,alangkah baiknya dan bijaksananya jika Mas Harry tidak hidup dalam kungkungan trauma psikologis.Lupakan saja masa lalu.Toh di UGM juga banyak gadis-gadis yang cantik.Tuhan tidak hanya menciptakan satu gadis.”,kata Meddy bernada menasehati.Kalau saya pikir-pikir,apa yang diucapkan Meddy memang ada benarnya juga.

“Meddy memang benar.Saya memang kadang-kadang sering lupa menengok masa depan.Maklum,saya cinta setengah terhadap almarhumah Erna Stella”,saya menghela nafas panjang-panjang. Sesekali saya meneguk kopi susu hangat yang ada di gelas .

“Maaf ya,Mas.Bukannya Meddy sok dewasa atau sok menggurui.Cuma,entah kenapa perkenalan kita yang singkat ini seolah-olah sudah berlangsung puluhan tahun dan Meddy langsung merasa akrab dengan Mas Harry.Mungkin Meddy teringat cerita dari saudara sepupu yang juga pernah mengalami nasib yang mirip dengan yang dialami Mas Harry.Cuma,karena dia  terikat pada masa lalunya,akhirnya dia tak menikah.Umurnya kini 51 tahun dan masih menjadi pria bujangan.Meddy berharap agar Mas Harry tak seperti saudara sepupu saya tersebut…”,ujarnya penuh harap.

“Meddy memang benar!Mungkin akan lebih menyedihkan bila hal itu dialami seorang wanita dan mereka akan mendapatkan julukan perawan kadaluwarsa.Sebutan yang menyakitkan hati,” kata saya sambil menawrkan permen Mentos.Kali ini Meddy mau menerimanya. Karena udara malam mulai dingin, sayapun menutup jendela kereta.

“Sudahlah,Mas…jangan terlalu idealis.Gadis yang 100% serupa dengan almarhum Erna Stella pasti tidak ada.Meddy percaya bahwa masih banyak gadis yang mau menggantikan almarhumah Erna Stella.O,ya,di fakultas filsafat kan ada gadis yang sedang ngetop.Namanya Corry Lumanauw”,Meddy bercerita.

“Bukan Corry Lumanauw,tapi Doris Lumanauw.Memang dia cantik.Tapi,saya bisa melarat kalau hidup dengannya.Untuk apa berpacaran dengan gadis tukang porot?Saya menyukai gadis yang bersikap biasa-biasa saja.Memang sih saya ini sedang sial.Saya memang pernah mencoba cari pacar lain,namanya Deasy.Sayang dia sakit asma.Meddy tentu tahu kalau penyakit itu bisa menurun ke anak cucu.”

Saya terus melanjutkan cerita.

“Kemudian,saya mencoba mendekati gadis lain.Namanya Meila Paulina van Fredrick.Gadis Indo.Ternyata,gadis yang tampaknya alim itu ternyata pelacur kelas kakap.Padahal,penampilannya seperti mahasiswi.Haruskah saya memacarinya untuk kemudian saya peristri?Tentu saja tidak!”

“Sabar saja,Mas.Anggap saja bahwa Tuhan sedang menguji mental,jiwa dan ketabahanb Mas Harry.Setiap orang di bumi ini apapun pangkatnya,apa pun kekayaannya,apa pun jabatannya,di mana pun tempatnya,apa pun agamanya,pasti diberi cobaan-cobaan oleh Tuhan.Kita harus berfikir yang realistis,yang nyata,bahwa kehidupan itu tak selamanya sedih dan tak selamanya menyenangkan.Apalagi Mas Harry adalah laki-laki.Tak perlu cengeng dengan masa lalu.Meddy percaya bahwa suatu saat Mas Harry akan menemukan seorang gadis yang justru melebihi almarhumah Erna Stella.Percayalah”,Meddy meyakinkan.Gaya bicaranya memang cukup dewasa.

Sementara itu kereta telah melesat jauh.Melaju kencang.Kutatap wajah Meddy.Kupandang dalam bola matanya.

“Kenapa,Mas?”,Meddy ingin tahu.

Sayapun menjawab jujur.

“Meddy,…Meddy mirip sekali dengan almarhumah Erna Stella.Gaya bicaranya,senyumnya,wajahnya…Saya seperti bermimpi…”

Hari semakin malam. Tak henti-hentinya kami saling bercerita. Dan akhirnya kami berduapun tertidur pulas.

CERPEN: Di Langit Kugapai Bintang

FACEBOOK-CerpenDiLangitKugapaiBintangOke

YOGYA,17 Juni 1985.Hari ini saya dan Ita atau Ade Rosita sedang duduk berdua di restoran Hellen,Jl.Malioboro.Kami berdua sedang minum ice juice kesukaan masing-masing.

-“Selamat hari ulang tahun 17 Juni 1985.Mudah-mudahan Mas Yanto cepat mendapatkan pekerjaan lagi”,kata Ita sambil menyalami saya.

-“Terima kasih. Saya juga mengucapkan ulang tahun untuk Ita.Bukankah ulang tahun kita sama? Mudah-mudahan Ita kelak menjadi sarjana yang berguna bagi nusa dan bangsa”,sayapun menyalami tangan Ita yang halus lembut itu.

Hari demikian cepat berlalu.Semua sahabat saya telah menikah.Ruddy Rayadi,Faizal Salmun,Armi Helena Nasution,Orizanita,Inggah Silanawati,Chatarina Pri Ernawati,yah..hampir semua.Tinggal saya yang belum.Sudah berkali-kali saya naksir cewek mulai dari Rikit Mulyasari,Nunie Hendrati,Sri Redjeki Cikatomas,Dewi Sayekti,Emiria Bhakti…semuanya menolak.Tapi,untunglah saya menemukan seorang gadis bernama Ita.

-“Ita,secepatnya saya akan melamarmu.Apalagi menurut Dokter Arifin Mahubay, telah menyatakan bahwa Ita dalam keadaan sehat dan bahkan sudah mengandung.Tentu,saya harus bertanggung jawab”,kata saya suatu ketika.Saya pandangi bulu mata Ita yang lentik serta alisnya yang tebal.Orang bilang,gadis yang demikian biasanya bisa memiliki keturunan yang cantik dan ganteng.Ita diam saja.Hari itu Ita telah hamil dua bulan.

MALAM harinya saya masih berada di rumah Ita di Jl.Cik Di Tiro.Di ruang tamu kami berbicara,ngobrol,melihat TV sambil membuka-buka album.Ibu Ita,yaitu ibu Sindoro turut menemani.Pak Sindoro telah meninggal sepuluh tahun yang lalu.Putera Bu Sindoro tujuh orang,Ita nomor tujuh.Hanya Ita dan Bu Sindoro yang menempati rumah di Jl.Cik Di Tiro,Yogyakarta itu.

Tiba-tiba saya terkejut ketika membuka album yang berikutnya. Di situ saya melihat foto rumah saya yang terletak di Jl.Trunojoyo No.4 Bojonegoro yang sudah terjual 15 tahun yang lalu.

“Ini foto rumah siapa,Bu?”,tanya saya memancing.Bu Sindoro melihat ke album yang kutunjukkan.Lalu katanya panjang lebar.

“Itu foto rumah Bu Sudjana,bekas tetangga Bu Sindoro sewaktu Pak Sindoro menjabat sebagai bupati waktu itu.Semua putera Bu Sudjana. Karena Bu Sudjana tak berhasil memiliki putera laki-laki,maka akhirnya putera ibu yang laki-laki dimintanya.Sebagai anak angkat”.Wajah Bu Sindoro menerawang,mengingat masa lalu.

Sayapun mengambil kesimpulan bahwa sayalah yang dimaksud putera laki-laki itu.Kalau begitu,saya ini anak angkat?Kalau begitu,Bu Sindoro adalah ibu kandung saya?Kalau begitu,Ita yang tengah mengandung dua bulan ini adalah…adik kandung saya?Ya Tuhan,terkutuklah saya ini…”.Saya berdesah,cemas dan ragu.

ESOK harinya Ita menangis deras.Lama dia menangis di Hotel Intan, tempat saya menginap.

“Tak mungkin kita menikah.Tak mungkin”,ucap saya lirih,setengah putus asa.Saya bingung,pikiran ruwet.Ita berkali-kali mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“Ita,satu-satunya jalan adalah …aborsi.Ita harus gugurkan kandungan itu.Sekarang juga kita ke Dokter Arifin.Saya bangkit,kutarik pelan tangan Ita.Ita pun bangkit dari tempat tidur.Sesudah menyeka air mata,Itapun mengikuti saya.

-“Apakah aborsi tidak dilarang hukum?”,Ita ingin tahu.Sementara itu Yogya mulai diguyur hujan yang deras.Becak yang kami naiki amat pelan jalannya.Maklum,tukang becaknya sudah tua.

“Sekitar tahun 1972 Indonesia memang menganggap bahwa bahwa aborsi adalah ilegal.Tidak sah.Tanpa kekecualian.Bahkan pasal 346 KUHP  bisa memidanakan seorang wanita yang menggugurkan kandungannya”,saya menjelaskan.

“Jadi?”,Ita ingin tahu.Wajahnya agak ketakutan.Memang serba salah.Alkan menikah,jelas agama tidak mungkin mengijinkan karena kami ternyata kakak beradik kandung.Melakukan aborsi berarti melanggar hukum.Sudahkan Indonesia menganut “legal conditionally” mengenai aborsi di mana aborsi bisa dibenarkan atas dasar pertimbangan ‘rape’ (perkosaan),’incest’ (sesaudara kandung),atau ‘deformed fetus’ atau pertimbangan medis?Entahlah.

Yang jelas,uang adalah segala-galanya.Setelah tawar-menawar akhirnya dr.Arifin Mahubay bersedia melakukan aborsi dengan imbalan uang Rp 15 juta.

Darimana saya mendapatkan uang sebanyak itu?Akhirnya saya nekat,rumah yang saya tempati di kawasan Cinere,Bogor,saya jual.Saya iklankan di Harian Sinar Harapan.Bunyinya:”Rumah:Dijual.Murah,mungil indah.Cinere Blok D-160 (Jl.Bukit Cinere,PT Kani).LT/LB 108/65,2 KT,BathTub.Dijual di bawah harga pasaran.Hub:Harry alamat tsb.TP”.

Untunglah rumah saya cepat laku.Terjual dengan harga Rp 61 juta,yang 15 juta untuk biaya aborsi.Sisanya saya belikan rumah di perumahan Pondok Mekarsari,Jl.Raya Bogor Km 30,sekitar enam kilometer sebelah Selatan terminal Cililitan.

Sikap saya ke Bu Sindoro (ibu kandung saya) biasa-biasa saja.Rahasia itu saya pendam rapat-rapat.Masalah aborsi hanya saya,Ita dan dr.Arifin yang mengetahuinya.Yang jelas,saya tetap menghargai Bu Sudjana yang telah memelihara saya,memmanjakan saya,dan mendewasakan saya hingga sekarang.Luar biasa,betapa tahan Bu Sudjana menyimpan rahasia ini sampai puluhan tahun.

Menjelang lebaran tahun ini,saya meminta ijin ke Bu Sindoro agar Ita boleh saya ajak ke Bali,berlibur dan berlebaran di sana.Ijin dikabulkan.Benarkah kami ke Bali? Tidak!Saya mengajak Ita ke kota Bojonegoro,kota di mana ‘ibu’ saya berada.Saya akana sungkem dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan ‘ibu’ Sudjana.

Ita tetap saya ajak ke Bojonegoro,Jawa Timur.Karena,meskipun Ita ternyata adalah adik kandung saya,namun kami belum bisa mengganti rasa cinta itu dengan rasa persaudaraan.Aneh memang.

“Saya tak mengira cinta pertama saya seburuk ini”,Ita mengeluh berkali-kali.Matanya masih basah.Badannya masih lemah akibat aborsi.Ita memang pantas bersedih, karena sesudah aborsi itu,dr.Arifin mengatakan bahwa Ita tak mungkin akan memiliki keturunan seumur hidup.

Betapa banyak cobaan yang saya hadapi pada tahun 1985 ini.Saya dipecat dari PT Sunan Ngampel akibat saya difitnah,mobil Honda Civic Wonder saya hancur akibat kecelakaan dekat restoran Situ Gintung,Ciputat.Saya ditolak untuk menjadi dosen di Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti,Jakarta karena lowongan telah diisi oleh teman saya Eva Hassan dan Heru Hardjanto dan sekarang mengalami mysibah mencintai seorang gadis yang ternyata adik kandung sendiri.

Malam harinya kami makan malam bersama.Bukan main hiruk-pikuknya.Semua saudara saya yang kebetulan semuanya perempuan datang bersama suami masing-masing,juga famili-famili,sahabat-sahabat se-SMA,lengkap dengan putera-puteranya.

Saya sengaja mengajak Ita supaya tidak diledek.Kalau ditanya, maka saya akan memperkenalkan Ita sebagai calon istri saya.Mereka pasti percaya,termasuk ‘ibu’ saya.Namun suasana lebaran malam itu menjadi lain ketika ‘ibu’ku memandang tajam ke arah Ita.’Ibu’ saya berhenti makan sejenak.Semua yang duduk di sekitar meja makan saling berpandangan tak mengerti.

“Nak Ita,boleh ibu pinjam sebentar kalung,nak Ita?”,pinta ‘ibu’.

Agak ragu dan heran, pelan Ita melepas kalung itu dan memberikannya ke ‘ibu’.’Ibu’ pun melihat dan membolak-baliknya.

“Nak Ita,ibumu namanya siapa?”,tanya ‘ibu’.

“Sindoro” jawab Ita jelas.

“Sindoro Soesmadji?” tanya ‘ibu’.Ita mengangguk.

‘Ibu’ku langsung bangkit dan memeluk Ita erat-erat.

“Ya Tuhan…kamu anak kandung saya…!

Saya semakin heran.Semua yang hadir terpaku.Ita merangkul ‘ibu’ setengah tak percaya.

Namun setelah ‘ibu’ bercerita,segalanya jadi jelas.Dulu,’ibu’ Sudjana berputera seluruhnya perempuan,satu di antaranya jadi anak angkat Bu Sindoro.Sebaliknya,seluruh putera Bu Sindoro adalah laki-laki,satu di antaranya adalah saya)menjadi anak angkatnya Bu Sudjana.Jadi,semacam barter begitu.Jadi,sebenarnya ternyata Ita bukan adik kandung saya!

SEWAKTU seluruh keluarga tidur, di pavilyun saya dan Ita sa;ling berpeluk.Air mata Ita menetes deras.Air mata suka,sedih,haru,kecewa,semuanya menjadi satu.

“Jadi,kita bukan kakak beradik sekandung…”,kata saya.

“Kalau begitu,kita boleh menikah ,bukan?”,ucap Ita.

“Benar.”,singkat jawab saya.

“Tapi,Mas…Kita sudah terlanjur melakukan aborsi.Dan saya tak mungkin memiliki keturunan lagiApakah Mas Yanto nanti tak menyesal jika tak punya anak?”,Ita bertanya penuh rasa kekhawatiran.

“Serahkan saja semuanya kepada Tuhan.Masalaha kita nanti punya keturunan atau tidak itu tidak masalah bagi saya.Hanya Tuhan yang Maha Tahu”,saya mencoba meyakinkan Ita.

Benar.Dua tahun sesudah kami menikah,saya dan Ita dikaruniai seorang putera sehat dan lucu.

CERPEN: Namaku Niken Bukan Claudia

Gambar

SAAT itu umur saya 40 tahun. Dua tahun saya cerai dengan Claudia. Tetap mengelola resto ayam goreng. Resto yang semula saya beri nama Claudia Fried Chicken saya ganti menjadi Resto New York Fried Chicken. Resto yang dua tahun lalu merupakan resto kecil telah berkembang. Tempatnyapun berpindah ke Jl.Dr.Saharjo. Lebih besar dan halaman parkirnya lebih luas. Karena reesto berkembang pesat, maka saya mengundurkan diri dari kantor saya yang kerja saya berdasarkan kontrak. Ada proyek saya bekerja dan tidak ada proyek saya tidak bekerja. Penghasilan saya mengelola resto lebih besar dibandingkan gaji yang pernah saya terima dari perusahaan. Bahkan saya mampu membeli rumah kredit di BSD Cluster Catelya, Tangerang Selatan, sebuah rumah minimalis dua lantai dan mampu kredit mobil. Ruelum saya tempati. Sementara masih tinggal di resto tempat saya bekerja.

Seperti biasa, tiap Minggu pagi saya mengontrol rumah saya di Cluster Catelya. Siang harinya, seperti biasa saya menuju ke ITC Mall untuk makan siang di Pizza Hut. namun sebelumnya saya menuju ke ATM Bank BRI dulu. Ternyata di dalamnya masih ada orang yang menggunakan ATM. Sayapun sabar menunggu.

Tak lama kemudian, orang yang di dalam ruang ATMpun keluar. Betapa terkejut saya melihat orang itu. Tanpa sengaja dan reflek, saya memanggilnya.

“Claudia…!” panggil saya. Wanita muda itupun terkejut. sayapun segera sadar bahwa wanita yang mirip Claudia pastilah bukan Claudia. Dia sempat berhenti memandangi saya. Mungkin, karena merasa tidak kenal atau mungkin itu bukan nama saya, wanita muda itupun meneruskan perjalanannya menuju ke tempat parkir mobil. Entah kenapa saya mengikutinya dari belakangnya.

“Maaf, kalau saya memanggil Anda Claudia…” saya mendekatinya. Wanita muda itu menengok ke arah saya sebentar dan terus berjalan menuju ke tempat parkir. Sepuluh langkah kemudian saya mengucapkan kata-kata yang sama, namun wanita muda itu tetap cuek.

Ketika dia akan membuka mobil, untuk ketiga kalinya saya meminta maaf. Dia tak jadi membuka pintu mobilnya. Dia menatap saya beberapa saat. Mungkin dia tahu tidak bermaksud jahat, diapun bersikap ramah.

“Ada apa dengan Anda?” dia ingin tahu.

“Maaf. Anda mirip sekali dengan mantan isteri saya,” sayapun mengambil dompet dan menunjukkan foto itu kepadanya. Dia menerima foto itu dan melihatnya. Tampa wajahnya berubah bersinar.

“Wow! Iya,ya? Mirip sekali. Kok, bisa sih…” berkali-kali dia melihat ke arah saya dan ke arah foto itu..Karena dia menuunjukkan sikap yang ramah, maka sayapun memberanikan diri untuk berkenalan. Ternyata dia menyambutnya.

“Harry,” saya menjabat tangannya.

“Niken. nama saya Niken. Bukan Claudia…” candanya. Diapun tertawa kecil. Tampaknya dia terburu-buru. Sebelum masuk ke mobil, saya meminta nomor HP-nya. Ternyata dia memberikan kartu nama. Sayapun memberikan kartu nama. Tak lama kemudian mobil mulai beranjak pergi.

“Main-main ke rumah Niken, Mas Harry,” sapanya hangat sambil melambaikan tangan lewat jendela mobil. Tak lama kemudian mobil Avanza hitam itupun tak tampak lagi di mata saya. Segera saya menuju ke Pizza Hut untuk makan siang.

Sambil makan siang, saya membayangkan kembali pertemuan yang aneh tadi. Kok ada ya, wanita yang segala-galanya mirip Claudia? Rambutnya, matanya, bibirnya, senyumnya, langsingnya. Segala-galanyalah.

Selama seminggu, saya dan Nikenpun saling kontak lewat HP. Dari ceritanya, sayapun mulai tahu siapa Niken. Seorang janda muda. Suaminya seorang pilot telah meninggal dalam kecelakaan penerbangan Surabaya-Manado. Suaminya dan semua penumpang kecebur laut dalam dan hingga sekarang semua jenasah penumpang pesawat itu tidak diketemukan. Niken punya seorang anak perempuan bernama Dieta. Masih sekolah di taman kanak-kanak. Niken cewek Bali. Dia mantan pamugari dari Bouraq Airways.

Karena saya sudah tahu Niken berstatus janda, maka hari Minggu itu dengan mengendarai mobil saya menuju ke rumahnya di Komplek Perumahan Banjar Wijaya, sekitar Cipondoh, Tangerang. Setelah tanya sana tanya sini, akhirnya ketemu juga rumahnya. Karena sudah janjian, maka Niken dan anaknyapun menyambut kedatangan saya.

“Selamat datang Mas Harry,” Niken mencium tangan saya dan disusul anak perempuannya yang juga mencium tangan saya. Kami berduapun ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Rumahnya ternyata juga dua lantai. Tertata rapi dan tampak indah. Terkesan Niken pandai memilih perabotan rumah. Pandai memilih warna. Pandai mengkombinasikan warna. Terkesan seleranya tinggi.

“Rumah yang indah dan nyaman,” komentar saya. Niken cuma tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sementara anak perempuannya sibuk bermain-main sendiri di lantai agak jauh dari kami berdua.

Enam bulan kemudian sayapun menikahi Niken. Terlalu cepat? Waktu bukan ukuran sebab kami berdua sudah merasa cocok. Menikah di Kota Singaraja, Bali, sebab kedua orang tuanya tinggal di kota itu. Berlangsung dua hari. Hari pertama berpakaian adat Bali dan hari kedua berpakaian adat Jawa. Kedua orang tua dan dua saudara sayapun hadir. Claudia tidak bisa hadir. Untunglah, Niken beragama Islam sehingga tidak ada masalah dalam pernikahan itu. Bulan madunya cuma jalan-jalan di Pantai Lovina yang tidak jauh dari Kota Singaraja. Seminggu kemudian kami kembali ke Jakarta dan Tangerang.

Seminggu saya tinggal di Jakarta dan seminggu tinggal di rumah Niken dan seminggu tinggal di rumah saya di BSD Catelya. Urusan Resto New York Fried Chicken saya serahkan ke salah seorang karyawan yang memiliki kemampuan manajerial yang baik sekaligus saya angkat sebagai pengelola reesto sepenuhnya. Saya tinggal memantau dan menerima laporan. Bahkan sayapun akhirnya membuka cabang reesto di ITC Mall dekat Carrefour. Inipun pengelolaannya saya serahkan ke manajer resto yang saya rekrut melalui seleksi. Saya tidak mau repot-repot mengurus reesto.

Niken ternyata sangat berbeda dengan Claudia. kalau Claudia boros, ternyata Niken hemat dan pandai mengelola uang. Kalau Claudia terlalu sering ke salon, Niken kadang-kadang saja. Kalau Claudia tidak suka memasak, Niken suka sekali memasak. Namun, kekurangan-kekurangan Claudia tak saya katakan ke Niken.

Karena usia Niken saat menikah sudah 35 tahun, maka Niken secara jujur mengatakan tidak mau punya anak dari saya. Takut ada apa-apa, katanya. saya memakluminya dan tidak keberatan.

“Saya menganggap Dieta sebagai anak kandung saya,” ucap saya ke Niken. Saat itu Dieta telah duduk di SD kelas satu. Karena sekolahnya agak jauh, Nikenlah yang rajin antar jemput. Namun karena saya membuka cabang resto lagi memakai modal Niken dan atas usul Niken, maka urusan antar jemput Dietapun diserahkan ke mobil antar jemput yang sudah terkenal baik pelayanannya. Niken membuka resto di kawasan Alam Sutera dan pengelolaannyapun diserahkan ke manajer resto melalui proses selsi yang ketat.

Boleh dikatakan saya sukses. Kredit rumah langsung saya lunasi. Demikian juga kredit mobil langsung saya lunasi sebelum waktunya. Supaya saya tidak mondar-mandir dari rumah saya di BSD Catelya ke rumah Niken di Banjar Wijaya, maka rumah di BSD Catelyapun saya kontrakkan. Dengan demikian saya menetap di rumah Niken. KTP sayapun KTP Banjar Wijaya.

Hari Minggu berikutnya, saya, Niken dan Dieta jalan-jalan e resto saya yang ada di Jl.Saharjo, Tebet. Namn, baru masuk pintu, saya terkejut karena di situ ada Claudia dan Bella. Claudia yang sedang makanpun terkejut. Akhirnya, sayapun memperkenalkan Niken ke Claudia dan Bella.

“Kok, tante mirip mama saya, sih?” celetuk Bella yang sejak dulu bicaranya memang ceplas ceplos. Claudiapun heran melihat Niken. Akhirnya kami berlima makan bersama di satu meja. Suasananya penuh kekeluargaan. Claudia meminta maaf karena tidak sempat menghadiri pernikahan saya dan Niken di Bali.

Begitulah ceritanya. Walaupun saya tak punya anak dari Niken, tapi saya merasa bahagia. Dan tanpa terasa sudah dua tahun saya menikah. Tanpa terasa telah resto saya telah berkembang sebanyak 10 resto di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.  Saya juga mendapat undangan pernikahan Claudia dan mendengar kabar, Claudia akan menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, seorang duda tampan tanpa anak. Syukurlah.

—ooOoo—

PUISI: Republik Kafir

FACEBOOK-PuisiRepublikKafir

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya ada jual-beli pasal

nyatanya penyidik bisa dibeli

nyatanya jaksa bisa dibeli

nyatanya hakim bisa dibeli

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya ada penjara mewah

nyatanya ada tv ada radio ada kulkas ada ac di penjara

nyatanya ada jual-beli narkoba di penjara

nyatanya siang di rumah malam di penjara

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya ada jual-beli remisi

nyatanya ada saksi palsu bayaran

nyatanya ada sumpah-sumpah palsu

nyatanya ada bap rekayasa

 

katanya negeri ini negeri hukum

nyatanya hukum bisa ditawar

nyatanya hukum buatan manusia

nyatanya hukum kafir

 

Sumber gambar: img.photobucket.com

 

Hariyanto Imadha

Penulis puisi

Sejak 1973

CERPEN : Namaku Bukan Imadha

FACEBOOK-CerpenNamakuBukanImadha

JAKARTA,Senin 11 Februari 1985.Baru saja peristiwa itu terjadi.Di kantorku,Pusat Pelayanan Manajemen PLN Pusat Jakarta.Hari itu mendadak saya emosi,saya membanting gelas.Geger!Lantas saya ditangkap satpam karena tangan saya sebelah kiri kebetulan sedang memagang pisau.Lantas kemudian saya dituduh mengancam akan membunuh salah seorang kepala dinas di situ.

Heran,padahal pisau kecil itu saya gunakan untuk memotong kertas akibat beberapa hari yang lalu beberapa “cutter” milik saya hilang entah ke mana.Saya membanting gelas karena kesal beberapa bulan kerja tapi tak ada “job descriptions” yang jelas.Lantas peristiwa kecil itu didramatisir.Saya akan di-PHK.Hari itu saya memang sedang apes.Terkena fitnah!

Agak sore saya pulang kantor,karena saya dibawa ke kantor satpam dan memberikan penjelasan panjang lebar tentang urut-urutan peristiwa kecil itu.Dari situlah saya tahu,ada seseorang menelpon satpam yang mengatakan dirinya akan saya bunuh.Fitnah memang selamanya lebih kejam daripada pembunuhan.

Hari sudah sore.Saya bersiap-siap untuk pulang.Ketika saya akan memasukkan “clock card” (kartu waktu) ke “time recorder” (mesin pencatat waktu) hati saya terasa tertusuk pisau dan tergores pecahan gelas.Kenapa? Karena di “clock card” itu namaku ditulis lengkap:”Hariyanto Imadha”.Sedih sekali rasanya.Tampaknya orang-orang sekantor belum mengerti asal-usul nama itu.Memang,antara kejadian hari itu tak ada hubungannya dengan nama saya.

BOJONEGORO,1 Januari 1970.Beberapa tahun yang lalu,saya aktif di PPSMA (Persatuan Pelajar SMA) atau OSIS SMA menurut istilah sekarang.Saya pada tahun 1970 masih duduk di kelas 1 SMA Negeri 1,Bojonegoro,Jawa Timur.

“Jangan lupa,nanti sore siaran!”,kata saya suatu saat sewaktu saya mengantarkan Rohandha pulang ke rumahnya di Jl.Diponegoro No.29A.Nama lengkapnya yaitu Yudha Rohandha,sahabat se SMA sekaligus sahabat seorganisasi.Juga,sama-sama penyiar radio amatir ARMADA-151 yang berlokasi di rumah saya di Jl.Netral No.151A (sekarang Jl.Ade Irma Suryani Nasution No.5A).

“Beres”,jawabnya sambil tersenyum.Tak lupa dia mencium pipiku seperti biasa.Seminggu kemudian,tepatnya tanggal 10 Januari 1970,saya merasa gelisah.Sudah sepuluh hari Yudha tidak masuk sekolah.Kabarnya dia sakit.Pembawaanku sejak kecil,jika dalam keadaan gelisah,pasti melampiaskan kegelisahan itu dengan cara membanting gelas!Rapat PPSMA yang waktu itu saya adakan pun bubar!Rapat saya tutup atau kutunda meninggu sampai Yudha sembuh.

Malam hari,pukul 23:00 giliran saya untuk siaran,mengisi acara “Parade Call & Song”,pesan dan lagu.

Kriiing…Telepon berdering.Diterima Erry Amanda yang pada waktu itu bertugas sebagai operator.

“Harry,ada telepon dari papanya Yudha”,kata Erry.Aneh saya pikir,selama ini papanya Yudha tidak pernah menelepon saya.Tapi,telepon saya terima juga.

Alangkah terkejutnya saya,setengah tak percaya,rasa sedih pun bangkit menggelegak.

“Kenapa Harry?”,Erry ingin tahu.Saya diam tak bisa menjawab.Gagang telepon saya taruh pelan.Saya diam.Mata saya berkaca.Air mata hampir jatuh.

“Erry,kau mau antarkan saya…? Ke rumah Yudha?”,tanya saya.Kemudian,pemancar radio saya matikan.

“Malam-malam begini? Memangnya ada apa?”,Erry penasaran.Dipandangi saya dengan penuh keheranan.

“Kamu tahu bukan selama ini Yudha mengidap penyakit leukemia?Lima menit yang lalu…Yudha telah pergi.Pergi untuk selama-lamanya..”,terbata-bata saya berkata.

Detak jantung berpacu.Sedih,perih,luka menganga.Saya terobos gelap malam.Pipi terasa dingin.Setetes air membasahi pipi.

Saya masih terlalu muda untuk menerima beban yang berat ini.Apalagi,hanya kepada Yudha lah pertama kali saya mengenal keakraban sejati.

Yudha Rohandha.Saya tak akan melupakan nama ini.Nama seorang gadis yang cantik,cerdas,suka berorganisasi,ramah,menyukai seni rupa seperti saya.

Hampir sebulan saya terbaring di rumah sakit.

————————————————————————————————————

SURABAYA 1971.Akhirnya,saya memutuskan untuk pindah sekolah ke Surabaya.Di kota ini saya melanjutkan di SMA Negeri 6,Jl.Pemuda.Di SMA ini saya tetap aktif di organisasi SMA seperti sebelumnya.Kali ini saya mengelola buletin ELKA atau LK (Lingkaran Kreasi).Saya aktif membuatvignet,cerpen,kritik sosial,menggambar,artikel-artikel ilmiah pop,dll.

Kesibukan-kesibukan di SMAN 6 menyebabkan saya sedikit demi sedikit bisa melupakan almarhumah Yudha Rohandha.

Suatu pagi cerah,langit biru muda,rombongan SMAN 6 mengadakan “study tour” ke Pulau Bali.Tak saya sangka,di Pantai Kuta saya saya berkenalan dengan gadis cantik siswi SMAN 5 Jl.Wijaya Kusuma Surabaya.

“Namaku Ika…”,jawabnya ketika saya menanyakan namanya.

“Lengkapnya?”,saya ingin tahu.

“Ika Asokawati Putri Pertiwi”,jawabnya sambil tersenyum.Saya lihat bulu matanya lentik indah.Kenangan indah itu terjadi tanggal 4 Juli 1971 hari Minggu.

Tahun 1973 saya ke Bali lagi.Cuma bedanya,kali ini saya sudah berstatus mahasiswa dari Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti,Jakarta angkatan 08.Ika yang waktu itu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga turut bergabung dengan saya ke Bali.

Memang,saya tak pernah menyangka bahwa hubungan saya dengan Ika telah berlangsung selama tiga tahun (1971-1973) telah menumbuhkan benih-benih kasih cinta yang ceria.

Kemudian di pantai Kuta kami bergamit tangan sepanjanga pantai yang indah itu.Persis seperti kami bertemu tiga tahun yang lalu.

Kelelahan menyusuri pantai menyebabkan saya merebahkan diri di bawah pohon,sementara itu Ika bermain air menantang ombak.

Tiba-tiba saya dikejutkan suara Ika berteriak meminta tolong.Saya gugup.Saya pun berteriak meminta tolong ke orang-orang yang ada di sekitar pantai itu.Puluhan orang segera mencebur ke laut,tetapi kemudian kembali lagi.Tak berani meneruskan lebih jauh .Laut terlalu ganas.Lantas laut sepi.Pantai ribut.Saya panik.Bahkan tim SAR dari Universitas Udayana tak berhasil menemukan Ika.

Hari kedua saya baru menerima kabar bahwa Ika diketemukan di Pantai Kuta jauh ke Selatan.Ika telah tiada.Saya menggigit bibir.Saya berteriak histeris.Enam gelas saya banting.Pecah.Hati saya pun pecah.Saya masih ingat,hari itu hari Minggu,13 Juli 1973.Tidak mungkin saya akan melupakan tanggal tersebut.

————————————————————————————————————

YOGYAKARTA 1973-1975.Untuk melupakan kepergian Ika,maka saya sering mondar-mandir Jakarta-Yogyakarta.Di Yogya ini saya punya teman baik,seorang pemuda berbakat seni,namanya Erry Amanda.Kepadanyalah saya sering berdiskusi tentang hidup,penghidupan dan kehidupan.Kepadanyalah saya sering saya sering mengemukakan masalaha-masalah pribadi.

“Kamu tak usah putus asa.Lupakan saja Yudha dan Ika.Mereka tak mungkin kembali.Memang pahit,tetapi itu kenyataan.”,Erry menasehati sambil tangannya coret-coret di kanvas.Dia sedang mencoba melukis dengan aliran kubisme.

Saya hanya bisa diam.

“Saya juga pernah mengalami peristiwa serupa.Nungkie dan Rensalitawati juga tiada.Kita ini punya nasib sama.Cuma bedanya,saya mencoba melupakannya peristiwa itu dengan cara menumpahkan kepedihan ke atas kanvas.Kamu?”,tanyanya.

“Saya mengadakan sublimasi dalam bentuk cerita pendek,kartun,vignet,puisi,dan lain-lain”,jawab saya sambil meminum teh celup Sariwangi.

Sore harinya saya pamit pulang.Erry mengantarkan saya sampai di setasiun kereta api.Ternyata saya hampir terlambat,kereta telah merangkak berangkat.Saya bergegas.Setengah berlari saya mengejar kereta.Tanpa sengaja seorang gadis yang mengantarkan temannya naik kereta tersenggol.Dia hampir terjatuh.Entah kenapa,bukan saya yang meminta maaf,tetapi malahan tanya alamat rumah saya.

“Kamu tinggal di mana”,justru saya balik bertanya.Lantas gadis itu menyebutkan alamatnya dengan lengkap.Alamatnya mudah dihafal.Entah kenapa,gadis itupun menyebutkan namanya.

“Saya Erna.Mas siapa…?”,pertanyaannya tak sempat saya balas.Saya sudah berada di atas kereta yang terus melaju semakin cepat.

“Saya akan berkirim surat untukmu…!”,saya setengah berteriak.Saya lambaikan tangan kearahnya.Dia membalasnya.

Aneh.Perkenalan saya dengan Erna memang aneh.Perkenalan yang tidak sengaja.Tapi,begitulah kenyataannya.

Sesampai di Jakarta sayapun memenuhi janji.Saya kirimkan surat untuk Erna di Yogya.Isinya biasa-biasa saja.Dari balasan suratnya saya baru tahu kalau Erna merupakan primadona di Fakultas Psikologi UGM.Katanya,di kampus dia sering dipanggil Maya.Ternya Erna punya nama yang cukup panjang,yaitu Umariyah Fransiska Erna Purnamasari.Namanya unik.Maklum,dia memeluk dua agama sekaligus,Islam dan Kristen.Setiap hari shalat lima waktu,sedangkan kalau Minggu ke gereja.Dulu,sewaktu masih sekolah di SMA,dia sering dipanggil Erna Stella.Soalnya,dulu Erna merupakan gadis paling cantik di asrama putri Stella Duce.

“Kenapa Mas Harry mencintai Erna? Saya orang miskin,tidak punya apa-apa”,tanya Erna atau Maya pada suatu hari saya menjemputnya di Kampus Bulaksumur.

“Cinta tak pernah membedakan kaya atau miskin.Kalau saya dari keluarga mampu,itu kebetulan saja”,saya meyakinkan.

Sayang,keindahan demi keindahan yang kureguk bersama Maya hanya berlangsung beberapa saat saja.Mendung gelap segera menyelimuti kota Yogya dan hati saya.Sore itu Nia,salah seorang sahabat Maya yang jadi pramugari Garuda datang ke Hotel Maerakaca tempat saya menginap.Dia membawa kabar buruk.Katanya,Maya mengalami kecelakaan berat.Meninggal langsung di Jl.Malioboro di depan restoran Hellen.Hari itu Selasa 11 Maret 1975.

Dengan demikian,saya telah mengalami tiga kali tragedi menyedihkan,yaitu meninggalnya Ika,Maya dan Yudha.Tiga nama itu : (I)ka,(Ma)ya dan Yu(dha) dan saya singkat menjadi Imadha.Nama ini sering saya pakai setiap saya membuat cerpen,dll.Akhirnya saya gabung dengan nama asli saya menjadi: Hariyanto Imadha.

CERPEN: Ksatria Gemblung dari Desa Cikampret

PAK Kades sebenarnya punya nama asli, yaitu Pak Keboyono. Dia terpilih sebagai kades  pertamakali karena ada kongkalikong dengan salah seorang oknum panitia pemilihan. Caranya yaitu, memanipulasi data perolehan suara. Dan sebagai imbalannya, oknum panitia pemilihan tersebut diangkat sebagai sekdes atau sekretaris desa.

“Pak Keboyono itu borosnya bukan main. Masak untuk proyek pembangunan desa, sudah dapat bantuan dari pemerintah, masih juga berhutang ke bank. Kekayaan desa dijadikan jaminan. Celakanya warga desa Cikampret yang harus membayar utang-utang itu beserta bunganya…,” begitu gerutu salah seorang warga Desa Cikampret bernama Pak Singodimejo.

“Betul. Lagipula warga juga curiga. Jangan-jangan sebagian uang pinjaman dari bank itu dikorupsi. Soalnya. hidup Pak Keboyono mewah sekali. Uang kas desa juga dibelikan mobil mewah. Masak sih, mobil kades harganya milyaran rupiah? Sementara kehidupan warga desa masih banyak yang miskin,” sahut Mbok Marginem.

Begitulah selentingan omongan warga yang sedang makan di warung Mbok Tulkiyem. Kebetulan saat itu saya juga sedang makan siang di warung itu. Saya termasuk warga baru di desa tersebut. Pindahan dari Desa Sumbang, Kecamatan Mbegudul, Jawa Tengah. Saya agak kagum melihat pembangunan didesa itu. Banyak berdiri rumah-rumah mewah, tetapi kabarnya kebanyakan milik orang kota. Pegawai-pegawai kantor Pak Kades juga hidupnya mewah. Semua pegawainya punya mobil.

“Iya, sih. Hidupnya mewah. Tetapi warga dibebani utang bank yang sangat besar. Mungkin sampai tujuh turunan juga tidak akan lunas,” kata Bu Mintuk kepada saya yang saat itu juga sedang makan siang di warung Mbok Tulkiyem. Saya hanya bisa manggut-manggut prihatin.

“Kabarnya banyak tanah desa yang dijual ke orang-orang kota, ya Bu,” tanya saya ke Bu Mintuk.

“Oh, iya,Pak Harry. Tanah-tanah desa dijual itu saat Pak Keboyono mau menghadapi pemilihan kades yang kedua. Uangnya dibagi-bagikan ke rakyat sebagai money politic. Juga, kabarnya dia juga menyuap oknum panitia pemilihan untuk memanipulasi data perolehan suara. Hasilnya, dia menang lagi. Dan sebagai imbalannya oknum tersebut diangkat sebagai bendahara desa…” jawab Bu Mintuk. Lagi-lagi saya hanya bisa manggut-manggut.

“Tapi, kenapa Pak Keboyono diolok-olok sebagai Ksatria Gemblung?” saya ingin tahu.

“Ha ha ha…! Ceritanya, Pak Keboyono dapat penghargaan dari Pak Gubernur karena dianggap telah berhasil memajukan desanya. Gelar aslinya sih Ksatria Padesan. Karena banyak warga di sini tidak suka, maka warga di sini menjulukinya sebagai Ksatria Gemblung. Karena perut pak kades gendut seperti orang terkena penyakit kembung. Ha ha ha…” cerita Bu Mintuk.

“Ha ha ha…!” sayapun ikut tertawa terpingkal-pingkal.

“Warga curiga, jangan-jangan Ksatria Gemblung ini korupsi besar-besaran, tetapi warga mengalami kesulitan untuk membuktikannya. Soalnya kalau ada warga yang bernada menuduh, pasti akan dipukul babinsa, aparatnya Pak Kades. Bahkan Pak Kades juga didukung preman-preman bayaran. Jadi, warga berada di pihak yang tidak bisa berbuat banyak…” Bu Mintuk menjelaskan.

“Wah, korupsi ada di mana-mana, ya? Bukan hanya di jakarta, tetapi sudah melanda Desa Cikampret.”

“Betul! Ada sih warga yang membentuk komunitas anti korupsi. Tetapi tidak bisa berbuat banyak karena terus dapat intimidasi dari preman-preman bayaran itu. Atau ada oknum komunitas anti korupsi yang disuap. Warga dalam posisi yang lemah…”. Tak henti-hentinya Bu Mintuk bercerita tentang kebusukan-kebusukan Pak Keboyono alias Ksatria Gemblung.

Walaupun saya tinggal di Desa Cikampret, namun dari masukan-masukan warga desa, saya tahu watak-watak Pak Keboyono. Antara lain pesolek seperti hombreng. Suka curhat kemana-mana. Tidak tegas alias peragu. Bahkan penakut. Kabarnya, pernah mau berkunjung ke desa sebelah, Desa Cikesah, karena akan didemo, akhirnya Pak Keboyono membatalkan rencananya berkunjung.

Pak Keboyono termasuk kades yang sangat boros. Suka melakukan perjalanan ke berbagai kota, terutama kota-kota besar. Alasannya macam-macam. Menghadiri rapat inilah rapat itulah. Bahkan senang sekali mengumpulkan penghargaan dan pujian-pujian dari para bupati dari berbagai kota yang dikunjungi.

Di samping boros, praktek-praktek korupsi di kantor desa juga bukan main. Uang apa saja yang dibayarkan warga, pasti dikorupsi. Besarnya korupsi sekitar 30%, begitu hasil audit dari pihak kabupaten. Namun sayangnya tidak ada tindakan lebih lanjut. Rupa-rupanya korupsi memang sudah berjamaah. Jangan-jangan yang mengaudit juga sudah disuap.

“Semua proyek ditangani antek-anteknya Pak Keboyono…” sambung Bu Mintuk. Lagi-lagi saya cuma bisa manggut-manggut. Berbeda sekali dengan desa saya sebelumnya, bersih, jujur, aman dan tidak ada korupsi. Toh desa saya sebelumnya juga bisa maju pesat.

Memberantas korupsi memang sulit. Apalagi kalau sudah berjamaah. Apalagi melibatkan oknum aparat penegak hukum, melibatkan oknum tentara, melibatkan orang-orang politik. Hampir tidak mungkin memberantasnya. Semuanya sudah gila harta. Ingin hidup mewah. Agama hanya merupakan simbol saja. Ibadahnya hanya basa-basi saja, hanya untuk memberi kesan mereka itu orang suci. Padhal moralnya sudah bejat. Semua warga Desa Cikampret tahu semua itu, tetapi tetap tidak berdaya.

“Lantas, bagaimana mengatasi masalah ini?” tanya saya.

“Ya, kita hanya berharap bahwa pemilihan kades mendatang akan menghasilkan kades yang bersih, jujur dan tegas. Untuk itu warga harus mengamati dengan cerdas siapa saja yang akan duduk di panitia pemilihan. Juga harus cerdas melihat kualitas para calon kades. Maklum, kades dipilih langsung oleh warga”. Cukup panjang Bu Mintuk menjelaskan.

“Ya, semoga warga akan mendapatkan calon kades yang amanah, fatonah, shidiq dan tabliq…Jangan sampai dapat kades seperti Ksatria Gemblung lagi…,” ujar saya. Sesudah membayar makanan, sayapun meninggalkan warung Bu Tulkiyem. Segera menuju ke motor dan mengendarainya berputar-putar ke pelosok desa. Melihat kehidupan nyata warga desa yang kebanyakan masih hidup miskin, sementara pak kades dan para aparatnya hidup bermewah-mewah.

Di zaman edan ini memang sulit mencari pemimpin yang jujur, bersih, cerdas, berwibawa, nisa dipercaya dan merakyat. Zaman yang penuh kepalsuan, penuh penipuan, penuh kecurangan, penuh kedholiman. Orang menjadikan agama hanya sebagai aksesori kehidupan. Ibadahnya hanya basa-basi saja. Di mana ada kesempatan korupsi, maka korupsilah mereka. Mereka lebih mengikuti bisikan-bisikan setan daripada bisikan-bisikan malaikat.

Di negeri ini cukup banyak pemimpin-pemimpin yang layak mendapat predikat sebagai “Ksatria Gemblung”. Gemblung bisa berarti tidak waras atau gila atau sinting. Kelihatannya waras, tetapi jiwanya sudah sakit parah. Moralnya bejat. Mereka tidak takut lagi hukuman yang akan dijatuhkan Tuhan. Mereka tak percaya dan tidak peduli neraka. Yang penting korupsi, hidup mewah, bersenang-senang, urusan belakangan. Kalau diadili, mereka kan menyuap atau mengintimidasi para penegak hukum. Andaikata dipenjara, mereka bisa membeli remisi. Bisa keluar masuk penjara kapan saja asal membayar. Zaman edan memang masih berlangsung lama.

“Dasar gemblung…,” gerutu saya sambil mengendarai motor menuju ke kota karena ada urusan bisnis dengan rekan bisnis saya. Bisnis modif motor.

—ooOoo—