CERPEN: Cintaku di Era Cutbrai

JAKARTA 1974. Saya saat itu duduk di semester tiga di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta. Saat itu merupakan era cutbrai. Apa itu cutbrai? Cutbrai yaitu model celana yang bagian bawahnya cukup lebar. Sepertinya cocok buat menyapu lantai. Hehehe…Ditambah lagi sepatunya memakai sol tebal antara lima hingga 10 cm. Ada lagi, ikat pinggang besar atau lebar. Gila. Oh, ya. Satu lagi, rambut gondrong. Hahaha…Betul-betul mirip wong edan. Masalahnya adalah, siapa yang tidak mengikuti mode cutbrai, akan dianggap ndeso atau katrok. Apa boleh buat, sayapun ikut-ikutan pakai celana cutbrai.

Di fakultas itu saya sedang melakukan pendekatan dengan seorang cewek yang bernama Narulita. Tidak cantik tetapi simpatik. Hidung mancung, buku mata lentik, langsing. kalau diajak bicara enak sekali. Selalu nyambung. Tampaknya dia mahasiswi cerdas. Kebetulan satu angkatan dengan saya. bahkan satu ruangan kuliah.

Tapi terus terang saja. Sulit melakukan pendekatan ke Narulita. Berkali-kali saya berusaha mendekati, tetapi selalu menghindar.

“Brengsek amat cewek ini. Nggak cantik jual mahal. Entar gue pelet,lu!” gerutu saya dalam hati. Tapi, lama-lama saya justru tertantang dengan cewek yang jual mahal seperti dia. Hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya bulan keempat saya baru berhasil menundukkan hatinya. Mak “plong” rasanya. Meskipun demikian, belm bisa dikatakan dia pacar saya. Lha wong saya belum pernah menyatakan cinta. Cuma, dia mau saja saya ajak ke mana saja. Ke resto, nonton bioskop, ke tempat rekreasi dam ke mana saja, deh. Pokoknya, di mana ada Narulita, di situ pasti ada saya. Begitulah.

“Jadi kita ikut rekreasi ke Karang Bolong?” Narulita memulai pembicaraannya saat saya dan dia makan siang di kantin.

“Ikut,dong! Kapan lagi. Selagi kita masih muda. Apalagi, kita belum pernah lihat, Karang Bolong Jawa Barat seperti apa,sih? Iya,kan?” saya mengungkapkan keinginan saya untuk ikut rekreasi yang diadakan senat mahasiswa.

“Kita nanti juga pakai cutbrai,ya?” ujar Narulita.

“Hahaha…Ya,iyalah. Wong sekarang eranya cutbrtai…” saya tertawa. Saat itu memang era cutbrai sedang melanda Indonesia. Korban mode. Apa boleh buat daripada dikatakan ndeso atau katrok. Saat itupun saya memakai celana cutbrai, sepatu sol tinggi, ikat pinggang besar dan rambut gondrong.Ha ha ha….! Saya Cuma bisa tertawa saja mengikuti era itu.

Begitulah, saat arekreasi, saya dan Narulitapun ikut. Total ada sepuluh buah bus Big Bird bus AC. Cuma ramai juga,ya? masa muda memang masa yang sangat menyenangkan.

Sesampai di Karang Bolong, saya manfaatkan untuk mengatakan cinta saya ke Narulita. Semula diam saja. Namun sesudah saya ulangi tiga kali, akhirnya secara diplomatis menyatakan kesediaannya menjadi pacar saya. Dibuktikan, dia mau saya cium bibirnya.

Oh, indahnya cinta saat itu. Alangkah indahnya hari itu. Alangkah gembiranya hati saya. Cinta memang indah dan saya benar-benar merasakan itu. Semua yang saya lihat, saya dengar, serba indah. Warna merah, warna biru, warna kuning, warna apa saja terasa indah. Lagu apapun yang saya dengar, semuanya indah.

Karena sudah satu tahun saya berkenalan, sayapun bermaksud memperkenalkan Narulita dengan ibu saya. Saat itu ayah saya sudah meninggal.

“Mau ke Yogya? Saya ingin memperkenalkan Narulita ke ibu saya,” begitulah ajakan saya suatu ketika. Lho, kenapa bukannya saya ingin berkenalan dengan orang tua Narulita? Oh, itu nanti. Sebab, kedua orang Narulita ada di Medan. Terlalu jauh ke kota itu. Dulu, kedua orang tua saya juga pernah tinggal di Medan. bahkan, sayapun lahir di Medan.

Ternyata, Narulita mau saya ajak ke Yogyakarta. Dengan naik kereta api, kami berdua menuju ke Kota Gudeg. Kebetulan sedang liburan semester. Dan tanpa banyak cingcong, kereta telah tiba di Yogyakarta. Dengan naik becak langsung menuju ke rumah ibu saya. Ibu tinggal sendiri.

Ibu sayapun menyambut kedatangan saya dan Narulita dengan wajah yang ceria. Sesudah mandi pagi, saat sarapanpun saya memperkenalkan Narulita ke ibu saya.

“Aslinya dari mana nak, Narulita?” ibuku ingin tahu.

“Dari Medan,Bu..” sahut Narulita.

“Lho, Medannya di mana?’ ibu masih ingin tahu sambil terus menyantap makanan di depannya. Selanjutnya ibu saya menanyakan nama kedua orang tua Narulita dan tanya segala hal yang berhubungan dengan Narulita.

Tiga hari Narulita menginap di rumah ibu saya. Tentu, tidurnya satu kamar dengan ibu saya. Itupun sudah sepengetahuan RT/RW setempat. Wah, rasa-rasanya senang sekali saya bisa memperkenalkan Narulita ke ibu saya. Memang sih, kalau saya bandingkan dengan pacar-pacar saya sebelumnya, Narulita kalah cantik. Namun Narulita punya kelebihan, yaitu enak diajak bicara, cerdas, gaul dan suka bercanda.

Suatu hari saat Narulita mandi, ibu memanggil saya di teras rumah.

“Harry. Ibu ingin bicara dengan kamu,” begitu ibu memulai bicara.

“Ada apa,Bu?”

“Kamu serius mencintai, Narulita?”

“Iya,Bu. Memangnya kena apa?”

Akhirnya ibupun bercerita. Semua tentang Narulita. Katanya, ibu terkejut mendengar alamat rumah Narulita di Medan. Lebih terkejut lagi mendengar nama kedua orangtuanya.

“Memang kenapa,Bu?”

“Ternyata, saya mengenal kedua orang tua, Narulita”

“Maksud ibu?”

“Itu bukan orang tua kandung, tetapi orang tua angkat”

“Maksud ibu? Ceritanya bagaimana?” saya penasaran.

“Waktu Narulita lahir, ibunya langsung meninggal.”

“Terus, ayahnya bagaimana?”

“Itulah persoalannya. Ayah kandungnya tidak jelas”

“Kok, bisa begitu?”

“Begini Harry. Kamu kan sudah dewasa.Semoga kamu bisa bersabar. Ibu akan bercerita, tapi jangan ceritakan ke Narulita,” kalimat ibu semakin membuat saya semakin penasaran.

Akhirnya, dengan setengah berbisik, ibu bercerita bahwa ibu kandung Narulita adalah seorang janda yang kemudian menjadi pelacur panggilan. Jadi, Narulita itu anak siapa, tentu tidak jelas sebab banyak laki-laki yang menggauli ibunya. Saat Narulita lahir, ibunya langsung meninggal. Tetangganya, lalu mengangkat Narulita sebagai anak angkatnya hingga sekarang.

“Oh Tuhan!” sayapun terkejut.

“Tolong, Harry. jangan teruskan hubunganmu. Tolong juga, jangan ceritakan hal ini ke Narulita. saya tahu, kedua orang tua angkatnya pasti merahasiakannya. Kedua orang tuanya dulu teman sekolah saya, jadi saya kenal betul kedua orang tua angkatnya” pesan ibu.

Betapa hancur hati saya mendengar cerita itu. Namun, sebagai anak tunggal, saya berjanji harus taat kepada ibu. Saya harus mencintai ibu. Akhirnya sayapun menjadi memahami petrsoalan yang saya hadapi. Ya, saya harus tabah. Saya harus sabar.

Puas di Yogyakarta, saya dan Narulitapun kembali ke jakarta. Dan sikap saya ke Narulita tetap biasa-biasa saja. dan saya benar-benar tetap memegang janji saya ke ibu untuk tidak menceritakan asal usul Narulita.

Tiga bulan kemudian, hubungan pacaran saya dengan Narulita putus. Putus secara baik-baik karena saya punya pacar baru : Dewi Ayodya, yang juga teman sekuliah.

Oh, cintaku di era cutbrai. Penuh misteri yang tak pernah terduga.

Selamat tinggal Narulita.

 

Hariyanto Imadha

Facebooker/Blogger

Semua komentar otomatis akan dihapus